K. Ghozali adalah salah seorang Kyai yang pertama kali merintis pondok pesantren Sarang. Beliau adalah putra dari Mbah Lanah yang berketurunan Madura. Dilahirkan pada tahun 1184 H, dengan nama kecilnya Saliyo. Pada masa remajanya beliau menuntut ilmu di suatu pesantren yang berada di Belitung Kalipang di bawah asuhan K. Mursyidin.
Pada suatu ketika ada seorang santri dari Makam Agung Tuban, murid kyai Ma’ruf yang hendak kembali ke pondoknya setelah beberapa hari tinggal di kampung halamannya (Leran Rembang). Di tengah perjalanannya, dia sempat singgah di pondok Belitung, di situlah ia bertemu dengan Saliyo (K. Ghozali) hingga ia menginap di kamar Saliyo. Pada saat itulah mereka berdiskusi tentang ilmu fiqih dan nahwu.
Menurut tarikh yang ada, di dalam diskusi tersebut Saliyo unggul dalam fan Nahwu, sedang santri dari Makam Agung (K. jawahir) unggul dalam fan Fiqih dan K. Jawahir kalah dalam fan Nahwu. Sebelum diskusi mereka telah mengadakan perjanjian yaitu ”Siapa yang kalah harus ikut nyantri bersama sang pemenang”. Namun dalam diskusi tersebut mereka sama-sama unggul dalam bidangnya masing-masing. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk bertukar tempat dalam menuntut ilmu. Saliyo mondok di Makam Agung sedangkan Jawahir di Belitung.
Suatu ketika setelah sekian lama Saliyo bermukim di Makam Agung, K. Ma’ruf mengadakan tamrin (evaluasi) pada para santrinya. Namun tidak ada seorang pun yang mampu menjawab. Pada saat itu, tiba-tiba salah seorang santri ada yang berkata ” Maaf di antara kita tidak ada yang mampu menjawab kecuali Saliyo yang berlaqob kalam tumpul.” Di antara pertanyaanya adalah Idza (اذا ). Sebelum mengutarakan pertanyaannya, K. Ma’ruf telah berjanji: ”Siapa yang dapat menjawab pertanyaanku akan kujadikan ipar”. Akhirnya santri yang berlaqob kalam tumpul dan berdarah Madura itu dapat menjawab pertanyaan tadi berkat keahlian beliau dalam bidang ilmu Nahwu. Kemudian K. Ma’ruf menepati janjinya, yaitu dengan menjodohkan Saliyo (saat itu berusia 42 tahun) dengan adik istrinya bernama Pinang binti K. Muhdlor, Sidoarjo Jawa Timur.
Setelah menikah, beliau pulang ke Sarang. Dengan demikian beliau mendapatkan tambahan ilmu fiqih setelah sekian lama nyantri di Makam Agung. Setelah beberapa saat beliau di Sarang, beliau mendapatkan tanah Wakaf dari hartawan yang terkenal bernama H. Saman, ayah K. Muhsin untuk dibuat masjid dan pondok pesantren yang sampai sekarang dikenal dengan pondok MIS, yang juga untuk tempat tinggal beliau. Setelah sekian lama berumah tangga dan mempunyai santri yang lumayan, beliau pergi ke tanah suci Makkah dengan menumpang perahu layar tepatnya pada pertengahan abad ke XII H. Dalam mengarungi lautan yang luas dengan penuh gelombang yang ganas, maka sampailah beliau di pelabuhan Jeddah, setelah menempuh perjalanan selama 7 bulan lebih. Pada saat itu jama’ah haji sudah selesai menjalankan wuquf di Arafah, maka dengan terpaksa beliau mukim di tanah suci Makkah selama satu tahun sambil belajar ilmu-ilmu yang diajarkan ulama-ulama Makkah. Dalam kesempatan itu, beliau sempat menulis kitab tafsir Jalalain mulai dari awal sampai akhir .
Sepulang dari tanah suci, nama beliau diganti dengan nama Ghozali tafa’ulan terhadap Imam Ghozali. Menurut sejarah yang ada, beliau mempunyai keistimewaan yang menakjubkan, antara lain : Pada suatu hari, tatkala Camat Sarang habis mengadakan lawatan ke desa-desa wilayah Sarang, ia menaiki kuda ke arah barat untuk pulang, sedang enak-enaknya mengendarai kuda, tiba-tiba pandangannya menjadi gelap gulita tak dapat digunakan untuk melihat jalan akibat pancaran sinar terang yang menerpa wajahnya, seketika itu juga Sang Camat turun dari kudanya dan mendekati asal sinar tersebut. Ternyata bukan sinar lampu yang ditemui, namun pancaran sinar tadi berasal dari wajah K. Ghozali yang sedang duduk di tepi jalan sambil membuat tambang. Di lain hari, Camat Sarang tersebut sowan pada beliau, pada saat itulah ia berjanji akan menjalankan ibadah dengan sebaik-baiknya dan hendak mewakafkan sebuah musholla di Sarang.
Pada tahun 1859, beliau wafat. Selanjutnya pondok pesantren Sarang dipegang oleh keponakannya yang menjadi santri dan juga menantunya. Beliau adalah K. Umar bin Harun (1855-1910 M) yang terkenal sebagai salah seorang ulama Nahwu pada saat itu. Pada saat itulah pesantren Sarang semakin pesat perkembangannya hingga terkenal di bumi Indonesia ini.
Putra-Putri K. Ghozali.
- Ibu Nyai. Sa’idah (Istri K. Syuaib)
- Ibu Nyai. Samsirah (Istri K, Umar)
- Ibu Nyai. Syari’ah (Istri K. Tayyib)
- Ibu Nyai. Shobirah (Istri K. Syamsuri)
- K. Abdurrauf
- K. Fathurrahman
Sebelum wafat, beliau berwasiat, di antaranya yang dinukil dari K. Ahmad Syu’aib ialah :
- Anak cucu kami jangan ada yang menjadi anggota terbang (samrah / alat malahi)
- Anak cucu kami janganlah sekali-kali meninggalkan rumah bilamana ada kejadian yang mengejutkan.
catatan; tulisan ini dikutip dari buku Syaikhuna wa Usratuhu.