“Cara Tuhan untuk mengenalkan diri-Nya adalah mencipta. Manusia juga untuk mengekpresikan dirinya juga (harus) “mencipta”. Mengapa kata Tuhan harus dianggap sebagai kata benda? Mengapa bukan sebagai kata kerja yang paling aktif dan dinamis dari semua kata kerja?” kata Mari Daly, seorang Teolog.
Manusia dan Tuhan adalah dua kata benda yang berbeda. Tuhan mempunyai sifat yang berbeda dengan makhluk-Nya dalam segala hal. Namun, bukan berarti manusia tidak boleh mengikuti apa yang telah dikerjakan oleh tuhan dengan batasan-batasan yang diperbolehkan. Bukan secara mutlaq. Sehingga, mempunyai dampak negative. Yaitu, ada mahluk yang mengaku sebagai tuhan atau dianggap sebagi tuhan, karena overnya dalam memahami makna tuhan.
Dengan kekuasaan-Nya, Allah mampu menciptakan sesuatu tanpa perantara. Atau juga dengan melalui hukum kausalitas, sebab-akibat yang berada di bawah kekuasaan-Nya. Seperti, lahirnya bayi yang disebabkan adanya pembuahan terlebih dahulu dari sel sperma dan ovum.
Dalam menciptakan sesuatu, Allah tidak membutuhkan contoh, atau belajar terlebih dahulu. Ciptaan-Nya yang agung belum pernah ditemukan sebelumnya. Kadang ada satu ciptaan dengan jenis yang sama, akan tetapi macamnya berbeda-beda. Sehingga, manusia dapat memilih sesuai dengan selera yang disukainya.
Di dalam Islam kita kenal buku-buku Fikih. Kitab ini adalah hasil ijtihad dari para mujtahid seperti imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dari kreativitasnya mereka dapat membuat satu permasalah fikih dengan beberapa pendapat satu dengan yang lainnya berbeda. Sehingga dampak positifnya umat bisa memilih sesuai dengan yang dicocokinya dengan melalui prosedur yang telah ditentukan, sebab manusia itu mempunyai watak yang berbeda-beda.
Allah adalah dzat yang mempunyai ilmu. Dia memberikan ilmu kepada makhluk-Nya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Ilmu yang diberikan kepada manusia sungguh sangat sedikit bila dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki-Nya. Ibarat setetes air yang jatuh dari jarum yang dicelupkan di dalam air laut. Tapi, dengan modal ilmu yang sedikit tadi, manusia sudah dapat mengubah dunia.
Kreativiatas manusia itu lazimnya didahului dengan belajar. Entah belajar dengan seorang guru atau belajar dari kejadian yang ada di alam dengan membandingkan suatu permasalahan dengan permasalahan yang lain. Sehingga, buahnya dapat menimbulkan ilmu yang baru. Mumazziq Zion berkata,”Pada dasarnya Allah menganugrahi manusia talenta untuk berkreasi di bidang apapun. Hanya, sejauh mana ia menggunakan potensi-potensi ini. Semuanya ini tergantung manusianya.”
Dengan potensi-potensi yang telah diberikan, manusia dapat berkarya sesuai dengan skill yang dimilikinya. Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin untuk dicapai, bila hal tersebut dikerjakan dengan sungguh-sungguh, dan bukan merupakan sesuatu yang mustahil bagi Allah. Batu saja dapat menjadi cekung sebab selalu terkena air hujan. Apalagi otak manusia, yang tentunya lebih empuk dari pada batu. Dari falsafah batu ini, Imam Ibnu Hajar al-Haitami hatinya terbuka. Sehingga, beliau menjadi salah satu ulama besar yang karyanya menjadi rujukan dunia muslim.
Sejarah mencatat, bahwa kreativitas cendikiawan muslim dalam masalah ilmu pengetahuan dan sains lebih berkembang pesat bila dibandingkan dengan apa yang diraih orang Barat. Orang Barat maju sebab mereka mengadopsi sesuatu yang dimiliki umat Islam. Dengan bukti, banyak putra-putri orang Barat yang dikirim untuk belajar kepada cendikiawan muslim yang ada pada masa Daulah Bani Umayyah dan Abbasiyyah. Sehingga, tidak asing bila kita sering menemukan nama-nama cendikiawan muslim dalam hasanah keilmuwan mereka. Seperti, Ibnu Sina, Abu Bakar ar-Razi, dan Umar Hayyan.
Kamajuan-kemajuan umat Islam tadi, sangat digantungkan dengan kesemangatannya dalam berkreativitas. Dari kreativitasnya, banyak inovasi-inovasi dengan ide-ide baru yang tidak dimiliki orang selain Islam. Mereka sangat peduli dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Mereka selalu belajar dan berkarya dengan harapan karya mereka dapat menjadi sinar penerang bagi umat manusia.
Agama Islam datang dengan misi membawa kemajuan dalam segala aspek. Bangsa Arab terangkat derajatnya dari sifat jahiliyahnya, sebab sinar ilmu yang dibawa Rasulullah Saw. Islam tidak menyuruh umatnya untuk mundur. Al-Quran dan al-Hadist selalu mendorong umat Islam untuk selalu bersemangat dalam mengembangkan hasanah keilmuwan. Masih banyak ayat-ayat al-Quran yang perlu dikaji dan diterapkan sesuai dengan kemajuan zaman. Jangan berkata, Islam itu kolot dan konservatif. Sebab, orang yang semacam ini, hanya memandang Islam dengan sebelah mata. Bukalah mata selebar-lebarnya. Niscaya, kebenaran dan ketinggian Islam akan ditemukan.
Sejak awal dekade, cendikiawan muslim selalu bersemangat dalam mengembangkan hasanah intelektual. Banyak hasanah yang lahir dari tangan mereka. Mulanya, Islam hanya mempunyai al-Quran dan al-Hadist. Dengan modal ini, cendikiawan muslim dapat menelurkan beberapa ilmu. Seperti, ilmu Fikih, Usul Fikih, Muthalahul Hadist, Nahwu-Sharap, Balaghah, Mantiq, ‘Arud (ilmu untuk membuat syair-syair Arab) dan Sirah. Semuanya ini lahir sebab dari kedalaman mereka dalam memahami al-Quran dan al-Hadist.
Tentunya, kita sebagai generasi muslim yang hidup di zaman sekarang yang tidak menemui zaman keemasan tersebut harus selalu berkaca. Kita tidak boleh larut dengan merasa bangga dari apa yang telah ditorehkan cendikiawan muslim terdahulu. Tapi, kita harus meniru kreativitas mereka dalam menelurkan ide-ide hasanah keilmuwannya. Jadikan karya mereka sebagai rujukan untuk menuju kemajuan selanjutnya. Sehingga, kita dapat melahirkan karya yang baru. Jika tidak bisa sebaik dengan mereka, minimal kita dapat berkarya, meskipun mutunya tidak sama.
Jangan katakan bahwa kita tidak bisa menuangkan ide-ide berkarya seperti mereka kerjakan dengan alasan bahwa bakat menulis itu sudah bawaan sebelum cendikiawan muslim dilahirkan. Bakat menulis bukanlah tumbuh sebelum dilahirkan, akan tetapi dia lahir sebab kerja keras dan banting tulang. Banyak ulama-ulama yang mencontohkan akan hal itu. Imam nawawi menjadi penulis besar sebab beliau jarang sekali tidur malam. Hampir semua waktunya terkuras untuk belajar, membaca dan menulis. Begitu juga Imam Bukhari dan Imam Muslim. Abdul Hadi WM berkata, “Bakat menulis itu hanya 5 %, lalu keberuntungan 5%. Sedangkan yang 90 % adalah kesungguhan dan kerja keras.”
Dengan karya yang dihasilkan, seseorang telah ikut menyumbangkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk menyinari dunia. Baik untuk generasi sekarang atau yang akan datang. Dr. Sa’id Romdlon al-Buthi berkata,”Sudah berapa banyak jasa yang engkau tinggalkan untuk generasi yang akan datang.”
<p>Nb; Tulisan ini pernah dikirim oleh penulis di situs Pesantren Penulis Yogyakarta pada 26 November 2012.