Mauritania atau Syinqith adalah sebuah negara yang terletak di bagian barat laut Afrika. Pesisirnya menghadap ke Samudra Atlantik, di antara Sahara Barat di sebelah utara dan Senegal di selatan. Mauritania dan Madagaskar merupakan kedua negara yang tidak menggunakan sistem baku angka desimal. Ibu kota sekaligus kota terbesarnya ialah Nouakchott yang terletak di pesisir Atlantik.
Dari sisi ekonomi mungkin bisa dibilang bahwa Mauritania adalah Negara miskin karena Sebagian besar orang berpendapatan satu atau dua dolar per hari. Negara ini sangat bergantung pada bantuan asing. Mauritania juga harus mengimpor banyak makanan. Ekonominya secara tradisional didasarkan pada ternak dan sedikit tanaman pangan, contohnya kurma, millet, sorgum, beras, dan jagung. Ikan dan produk ikan juga penting sebagai sumber pendapatan ekspor. Kekeringan panjang di tahun 1970-an menyapu bersih banyak ternak sapi, sebuah bencana ekonomi Mauritania yang belum pulih sampai sekarang. Di selatan, ancaman penghancuran tanaman berasal dari banjir dan belalang.
Pemasukan dari sektor jasa, beserta hasil usaha pemerintah, menyumbang sekitar 45 persen dari perekonomian. Mineral Mauritania yang paling penting adalah bijih besi. Bijih besi menyumbang sekitar 40 persen dari seluruh ekspor. Negara ini juga memiliki cadangan gypsum, tembaga, fosfat, berlian, emas, dan minyak.
Namun lepas dari itu semua, Mauritania adalah sebuah negara yang sangat disegani oleh masyayikh (tokoh agama) dari negara islam manapun bahkan mungkin ummat islam seluruh dunia. karena kekayaan ilmu yang dimilikinya beserta sistem pendidikannya yang luar biasa sehingga bisa mencetak para ulama yang dikenal dengan Syanaqithah (ulama-ulama Syinqithi) atau Mauritania. kebiasaan mereka dalam menuntut ‘ilmu memang sangat luar biasa yang diterapkan mulai sejak lahir dari kandungan seorang ibu. Jika ada seorang anak kecil disana berumur 7 tahun belum hafal Al- Qur’an itu akan sangat memalukan bagi kedua orangtuanya. Bahkan 7 dari 13 doktor di Mediu berasal dari Mauritaniyyah. Mereka itu mendapatkan pendidikan Al- Qur’an bukan hanya sejak kecil, tapi sejak bayi.
Ketika ada seorang ibu hamil, dia tidak akan menghabiskan waktu hanya tidur di kasur. ibu tersebut akan menyibukkan diri untuk muroja’ah (mengulang) hafalannya hingga ibu itu terasa letih karenanya.
Setelah bayi itu lahir, keluarga yang akan muroja’ah. Misalkan seorang anak akan muroja’ah kepada bapak atau ibunya, maka diwajibkan untuk dia muroja’ah (mengulang) di depan adiknya yang masih bayi pula. Jadi ketika ibunya sedang menggendong bayi tersebut, kakaknya muroja’ah hafalan kepada ibunya supaya disimak. Kalaupun suara tangis bayi mengganggu kakaknya itu akan menjadi tantangan bagi anak tersebut.
ketika mereka berusia 7 tahun ke atas, mereka akan pergi kepada seorang syaikh atau guru untuk belajar agama. Mereka tidak belajar di dalam kelas. Para syaikkh setempat membuat tenda di tengah gurun, dan di dalam tenda itulah proses belajar mengajar dilakukan. Mungkin dalam fikiran kita menyakitkan karena pancaran panasnya terik matahari. namun rasa itu terkalahkan oleh semangat mereka dalam mencari ilmu dan rasa ingin tau yang tinggi.
Ketika syaikh tersebut berkata, “istami’ (dengarkan)!”, maka semuanya menatap syaikh tersebut dan menyimak dengan seksama. Tidak ada yang berani menulis bahkan bermain pulpen, karena akan dimarahi. Setelah syaikh menerangkan panjang lebar barulah mereka menulis dari apa yang yang telah disampaikan syaikh dari awal sampai akhir. Mereka menulispun juga bukan di selembar kertas karena itu larangan. Mereka menulis di batu, daun, kulit pohon atau sejenisnya yang mereka bawa dari rumah. Kemudian tulisan tersebut akan diserahkan kepada syaikh untuk dikoreksi. Dari sinilah daya ingatan mereka diuji. Ketika ada kesalahan maka akan dikembalikan untuk dibetulkan hingga semua santrinya menuliskan semua yang diucapkan syaikh. Selain menguji daya ingat sang murid hal ini juga menunjukkan bahwa syaikh tersebut hafal semua apa yang telah diucapkan.
Ketika semua murid telah menuliskan dengan benar mereka diperintah untuk menghapus tulisan tersebut. ketika semuanya sudah benar berarti itu menunjukkan pelajaran yang disampaikan sudah hafal di luar kepala. Jadi sekarang catatan mereka bukanlah terletak dalam batu atau kulit sebagai media mereka untuk menulis namun catatan mereka adalah apa yang ada dalam ingatan. Setelah semuanya benar dan telah dihapus, maka syaikh baru melanjutkan pelajaran berikutnya. Begitu seterusnya sampai pelajaran di hari itu habis. Setelah mereka pulang ke rumah, barulah apa yang mereka ingat mereka tulis ulang dalam buku-buku mereka.
Dan tidak hanya itu saja, di Mauritania tersimpan manuskrip Islam yang sebagian bersifat unik dan tidak ada copy-nya ditempat lain di negara manapun di seluruh dunia. Lebih dari 40 ribu naskah/manuskrip Islam klasik yang disimpan di lebih dari 300 perpustakaan umum maupun pribadi. Karena kekayaannya ini, orang Timur Tengah menyebutnya dengan negeri naskah.
Jadi kita sebagai sesama muslim sudah seharusnya meniru system pembelajaran yang diterapkan oleh suku Mauritania. Bukan hanya segan, mengagumi, dan takjub akan hafalan mereka, daya ingat mereka, atau hasil dari sistem pembelajaran yang mereka terapkan.
Dari: Berbagai sumber