Sebenarnya tujuan utama sowan saya ke Mbah Moen pada 28 Juli 2008 adalah untuk menanyakan kapan tanggal lahir beliau. Tetapi seperti biasa, setiap sowan saya selalu mendapatkan banyak hal berkaitan dengan wejangan, pandangan dan sikap beliau berkaitan dengan berbagai hal. Salah satu yang saya dapatkan adalah pandangan beliau tentang pengajian Ihya’ Ulumuddin.
Di beberapa pesantren, khataman pengajian Ihya’ dimeriahkan dengan berbagai acara, seperti pengajian umum, tahlil dan sebagainya. Mengomentari fenomena ini Mbah Moen berpandangan bahwa khataman Ihya kalau dimeriahkan, biasanya tidak sampai lima kali Kiainya sudah meninggal. Beliau menyebut beberapa contoh diantaranya, Kyai Ihsan Jampes Kediri, Kyai Jazuli Jember, Kyai pesantren Mayang Ponorogo, dan seorang kyai dari Palembang yang diceritakan panjang lebar.
Ketika saya tanyakan, mengapa demikian, Beliau menjawab, “yo ngono iku”. Setelah jeda beberapa saat Beliau melanjutkan, “Ihya iku zuhud”. Saya mengartikan dawuh beliau bahwa karena Ihya bersifat zuhud, maka ia tidak cocok dengan hiruk-pikuk kemeriahan yang diadakan dalam rangka memungkasi pengajian Ihya tersebut.
Oleh karena itu Mbah Moen berpantang memeriahkan khataman Ihya. Pernah suatu kali para santri berencana, bahkan sudah mengumpulkan dana, untuk memeriahkan khataman Ihya. Ketika mengetahui hal tersebut beliau melarangnya. Dan alhamdulillah sejak pertama kali mengampu pengajian Ihya di tahun enam puluhan hingga kini, Beliau sudah lebih dari lima kali khataman Ihya. Semoga Allah memanjangkan dan memberkati umur Beliau.
Menurut Mbah Moen, beberapa kyai terdahulu juga mengambil sikap kehati-hatian serupa. Mbah Dlowi Lasem, misalnya, kalau ngaji Ihya tidak pernah dikhatamkan. Demikian pula Mbah Ber (Sapaan KH. Zubair Dahlan). Mbah Moen sendiri selalu mengkhatamkan Ihya, tetapi disertai dengan dua langkah antisipasi: Pertama, tidak memeriahkan khataman; kedua, membuat jeda antara akhir pengajian dengan awal pengajian berikutnya.
Meski demikian Mbah Moen merasa bahwa cara yang ditempuhnya masih ada yang kurang tepat. Beliau menuturkan, setiap kali beliau sampai pada kitab dzikr al-maut ada santri yang meninggal.
Disamping keunikan di atas, Mbah Moen juga menuturkan, “Moco Ihya iso nyebabno tentrem lan rame”. Saya menangkap pengertian ‘rame‘ di sini adalah ‘rame santrine‘.
Tentang ‘tentrem’ ini saya teringat dengan dawuh Beliau ketika pengajian di Dasin Tambakboyo Tuban, “Nduwe duit ora bungah, ora nduwe duit ora susah“. Ini sikap hidup yang bisa mendatangkan ketentraman, tetapi tidak mudah diterapkan. Bisa jadi dengan mengaji Ihya seseorang secara perlahan bisa menerapkan sikap hidup semacam itu yang pada gilirannya bisa mendatangkan ketentraman.
Dan tentang ‘rame santrine’, saya melihatnya sebagai berkah yang dialami Mbah Moen. Umumnya pesantren besar didirikan oleh pengasuh generasi pertama. Setelah diwariskan ke pengasuh generasi kedua atau ketiga barulah pesantren tersebut mengalami peningkatan jumlah santri yang pesat. Tetapi pesantren Al-Anwar yang didirikan Mbah Moen memiliki fenomena yang berbeda. Mbah Moen adalah perintis berdirinya Pesantren Al-Anwar, dan di tangan beliau pula peningkatan jumlah santri mengalami perkembangan pesat. Hingga kini trend pertumbuhan jumlah santri masih berada pada grafik naik. Semoga Allah memanjangkan dan memberkati usia Beliau.