Dengan penuh kesabaran, Izzah menyimak bacaan ayat-ayat suci Al-Quran yang dibaca oleh anak-anak TPQ Al-Husna. Ada yang mudah melafalkan ayat perayat dengan disertai lengkak-lengkuk tajwidnya. Juga ada yang merasa kesulitan akan hal itu. Atika dengan lancarnya membaca Al-Quran. Ia berbeda dengan Nurul Hidayah yang sering salah bacaannya. Padahal umur Nurul Hidayah itu lebih tua bila dibandingkan dengan Atika yang baru enam tahun.
Ketika sedang mengajar anak-anak TPQ, tiba-tiba Izzah dipangggil oleh Ummi Khadijah. Ia kaget dengan kedatangan umminya yang biasanya kalau ada keperluan dengannya, maka ia akan menunggu sampai jam mengajarnya di TPQ selesai.
“Ada apa Ummi?” tanyanya dengan menghampiri umminya.
“Abahmu menyuruhmu pulang sebentar Zah? Katanya ada keperluan yang penting.”
“Baik Ummi? Tapi biarlah aku memberikan tugas terlebih dahulu kepada anak-anak supaya mereka tidak bermain ketika aku tinggalkan.”
“Cepat ya Zah?”
“Insya Allah Ummi?”
Karena tidak ingin anak didiknya bermain-main saat kepergiannya, Izzah menyuruh mereka untuk membaca surat-surat pendek dari Al-Quran mulai surat Ad-Dhuha hingga surat An-Nas.
“Anak-anak, jangan ramai ya selama ustadzah pergi sebentar. Soalnya ustadzah ada keperluan penting. Insya Allah akan segera kembali. Selama ustadzah pergi, kalian harus membaca surat Ad-Dhuha sampai An-Nas. Jika ada yang ramai dan keluar kelas kelas, nanti akan ustadzah hukum. Mengerti kan anak-anak?” pesannya kepada anak-anak TPQ.
“Mengerti Ustadzah?” jawabnya dengan serempak.
“Pintar? Ustadzah tinggal dulu ya?”
“Iya ustadzah.”
Izzah meninggalkan TPQ Al-Husna. Ia menstart motor Beat-nya yang berwarna daun pisang menuju rumahnya. Jarak antara rumahnya dengan TPQ sekitar seratus meter. Sebenarnya Izzah ingin menitipkan anak didiknya kepada ustadzah yang lain yang mengajar di Al-Husna untuk dipantau. Namun, karena mereka juga sibuk, ia mengurungkan niatnya. Terlebih hari itu merupakan hari-hari untuk persiapan Olimpiade Tartilul Quran tingkat se Eks Krasidenan Pati yang akan diselenggarakan di Kajen Pati. Jadi, mereka juga sibuk untuk mempersiapkan bekal untuk semua itu.
Saat tiba di depan pintu gerbang rumahnya, Izzah kaget ternyata ada mobil Avanza yang sudah terparkir di depan rumahnya. Gerangan apa ini semuanya? Mungkinkah seperti satu tahun yang lalu? Ada pemuda yang lamarannya pernah ia tolak? Kedatangan seorang pemuda yang ingin melamarnya, namun ditolaknya sebab ia paham betul gelagatnya si Rozak ketika mondok di Kudus di Pesantren Nurul Quran. Ia terkenal dengan sifat buayanya yang suka merayu santri putri Nurul Quran. Dengan kata-katanya yang romantis, ia dapat menaklukkan Ukhti Halimah. Sehingga suatu saat mereka berdua pernah terpegoki oleh pengurus pesantren saat berpacaran. Kemudian keduanya dikeluarkan dari pesantren. Ketika sama-sama dikeluarkan, Rozak dengan teganya meninggalkan Halimah.
“Itu Izzah, dia sudah pulang Pak Karman?” kata Abah Fanani saat melihat Izzah.
Izzah langsung mengucapkan salam kepada penghuni rumah tanpa memperhatikan wajah tamunya dengan begitu teliti. Ketika menoleh ke arah tamunya, ternyata yang terlihat adalah sosok orang yang pernah masuk dalam memori otaknya. Bukan atsar yang baik, namun kenangan yang penuh dengan kebencian. Lelaki itu tidak lain adalah Hakam dan keluarganya. Hakam ini merupakan pemuda yang suka ugal-ugalan. Izzah sering melihatnya mabuk-mabukan di perempatan jalan ketika hendak pulang dari mengajar. Memang ia adalah anak orang kaya. Bahkan boleh jadi Pak Karman adalah orang yang paling kaya di desanya.
Abah Fanani megetahui akan apa yang terjadi dengan Hakam. Namun kerena melihat umur Izzah yang sudah tidak semuda lagi seperti ketika baru usai menghafal Al-Quran di Pesantren Nurul Quran, ia terpaksa melakukan itu. Saat itu umurnya masih dua puluh dua tahun, sedangkan sekarang Izzah usianya sudah dua puluh delapan. Abah Fanani merasa gusar memiliki anak dengan sematan perawan tua meskipun rupanya menawan.
“Izzah, kedatangan Pak Karman di sini adalah ingin melamarmu. Apa kamu bersedia Nak?” kata Abah Fanani.
Izzah tersentak dengan ucapan abahnya. Kepalanya tiba-tiba menjadi pusing. Dengan memutar fikirannya secepat halilintar, ia berusaha untuk mencari alasan agar bisa terhindar dari perjodohan ini.
“Maaf Bah, kepala Izzah pusing banget. Izzah ingin masuk kamar sebentar,” alasan Izzah karena muak dengan sosok Hakam.
“Izzah, gima tho Zah, ada tamu kok dicuekin?” Abah Fanani berusaha untuk menahan Izzah yang dirasanya sedang berpura-pura.
“Biarkan Izzah istiharat duhulu Ustadz? Mungkin dia lagi capai dari mengajarnya,” kata Pak Karman pura-pura membela Izzah.
“Iya Ustadz? Biarkan Izzah istirahat dahulu dan berfikir-fikir atas perjodohan ini,” sahutnya Bu Karman.
Akhirnya, Abah Fanani hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan oleh keluarga Pak Karman meskipun sebenarnya mereka telah menunjukan raut muka yang kecewa.
“Nanti kami akan datang seminggu lagi untuk menerima jawaban Izzah atas perjodohan ini Ustadz?” kata Pak Karman ketika hendak berpamitan.
“Terima kasih banyak Pak, atas pengertiannya. Nanti akan aku bujuk Izzah agar mau menerima lamaran Hakam,” timpalnya Abah Fanani. “Sama-sama Ustadz?”
Selama di kamar, Izzah memencet-mencet ponselnya. Ia mengirim via sms kepada Ustadzah Nafisah untuk izin absent dalam mengajar persiapan untuk Olimpiade Tartilul Quran yang diselenggarakan usai palajaran TPQ. Ia juga meminta Ustadzah Nafisah agar anak didiknya ikut dipantau sebab kemungkinan besar ia hari ini tidak bisa kembali ke TPQ karena kepalanya pusing sebab kedatangan Hakam.
Atas sikap yang diperbuat Izzah kepada Pak Karman, Abah Fanani merasa kecewa. Namun, dengan cepat fikirannya itu dihinggapi sikapnya yang penuh dengan kasih sayang kepada Izzah sebelum Pak Karman hadir di tengah-tengah keluarganya. Ia teringat ketika Izzah masih di pesantren, ada pemuda saleh yang melamarnya. Namun, karena Abah Fanani tidak ingin mengganggu Izzah dalam konsentrasinya menghafal Al-Quran, pemuda itu ia tolak dengan sebaik-baiknya. Sekarang pemuda itu sudah menikah dan dikaruniai anak satu. Masalah ini ia sembunyikan bersama Ummi Khadijah agar jangan sampai Izzah mengetahuinya hingga ada si Rozak yang melamarnnya yang ditolak oleh Izzah sendiri.
“Aku tidak boleh memaksa Izzah untuk menikah dengan Hakam. Kasihan dia kalau sampai terpaksa dalam membangun mahligai rumah tangga,” gemingnya dengan penuh kesadaran.
Ketika Izzah sudah keluar dari kamarnya, abah dan umminya menemuinya untuk menanyai atas kesediaannya untuk menikah dengan Hakam dengan rona penuh kasih sayang dan tanpa paksaan.
“Ummi, Abah? kita sedikit banyak sudah mengetahui siapa itu Hakam. Dia bukanlah pemuda yang saleh. Dia suka ugal-ugalan dan mabuk-mabukan. Izzah tidak akan mau menjadi istrinya sampai kapanpun Ummi, Abah?” jawabnya Izzah atas pertanyaan kedua orang tuanya.
“Abah minta maaf Zah? jika sudah memaksamu untuk menikah dengan Hakam. Nanti abah akan mendatangi keluarga Pak Karman untuk memberitahu atas ketidak kesediaanmu untuk menikah dengan Hakam. Abah yakin suatu saat Allah akan memberikan jodoh yang terbaik untukmu.”
“At-thayyibaatu lith-thayyibiina wath-thayyibuuna lith-thayyibaati,” Ummi Khadijah menyahut dengan membaca surat An-Nur ayat 26.
“Iya, benar kata Ummi. Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik,” Abah Fanani membenarkan apa yang dibaca Ummi Khadijah seraya menerjemahkannya.
Dari ketidak sediaan Izzah untuk menikah dengan Hakam ini, akhirnya Abah Fanani dengan penuh hormat datang ke rumah Pak Karman untuk meminta maaf. Pak Karman hampir marah dengan keputusan ini. Namun, karena keduanya adalah sama-sama orang yang berpengaruh di desanya, Pak Karman mengurungkan niatnya untuk membuat perhitungan dengan Abah Fanani. Lalu ia meminta Hakam untuk mencari wanita selain Izzah. Karena baginya masih banyak wanita dengan paras yang cantik yang melebihi Izzah bahkan usianya lebih mudah dari pada Izzah. Dengan harta yang ia miliki niscaya hal itu akan mudah baginya.
Acara Olimpiade Tartilul Quran yang ditunggu-tunggu akhirnya telah tiba. Anak yang diikut sertakan dalam kompetisi adalah Atika, Nadia, Salsabila, Dina Kholisah dan Ummi Kulsum. Kelima anak ini adalah andalan TPQ Al-Husna yang sering menggondol piala tingkat kabupaten. Kebetulan yang disuruh untuk mendampinginya adalah Izzah dan Ustadzah Nafisah.
Sungguh kompetisi yang memuaskan bagi Izzah. Sebab, dengan cerdas dan tangkas, anak didiknya dapat menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh Dewan Juri saat meminta untuk menyebutkan surat dan ayat Al-Quran dengan bacaan yang tartil serta dapat menjawab pertanyaan tajwid yang ada gharibul qurannya. Juara pertama Olimpiade Tartilul Quran kali ini dimenangkan oleh TPQ Al-Husna. Bahagianya hati Izzah dan Ustadzah Nafisah mendengarkan semua itu.
Usai acara kompetisi dilanjutkan dengan ceramah agama yang akan diisi oleh Kiai Nawawi yang merupakan pengasuh Pesantren Nurul Quran Kudus. Namun, karena Kiai Nawawi sedang dalam keadaan sakit, akhirnya diwakili oleh putranya yang baru menyelesaikan studi belajarnya di Mekah Al-Mukarramah.
Saat ceramah dimulai, Izzah dan Ustadzah Nafisah berada di depan bersama para ustadzah yang lain. Ketika melihat sosok Gus Yusuf sedang berceramah menggantikan Kiai Nawawi, seketika itu terselinap memori indah bagi Izzah saat masih proses menghafal Al-Quran di Pesantren Nurul Quran. Kejadian itu terjadi sebelum Gus Yusuf belajar di Mekah. Ketika itu, Izzah ingin ngaji setoran Al-Quran bil ghaib kepada Kiai Nawawi. Namun saat dalam perjalanan, Al-Quran yang disandangnya disenggol orang yang sedang lari sehingga terjatuh di tempat yang becek. Gus Yusuf yang kebetulan melihat kejadian itu langsung mengambil Al-Quran milik Izzah dan menggantinya dengan Al-Quran miliknya. Al-Quran pemberian Gus Yusuf ini masih disimpan rapi oleh Izzah. Ia sering membacanya, bahkan ia menjadi hafidzah itu menggunakan Al-Quran pemberian Gus Yusuf yang dinilainya mengandung banyak kenangan meskipun ia juga membeli Al-Quran yang baru.
Melihat Izzah duduk di depan, Gus Yusuf juga terbawa arus memori yang lalu seperti yang dialami Izzah. Namun, rona itu ia sembunyikan karena takut kalau akan mengganggu konsentrasinya saat berceramah.
Kenangannya dengan Izzah di masa yang lalu membuat Gus Yusuf mengadu kepada Kiai Nanawi ketika ia sudah sembuh dari sakitnya. Namun, sebelumnya, ia meminta bantuan kepada sahabatnya yang bernama Iqbal yang rumahnya ada di sebelah desanya Izzah untuk mengecek status Izzah. Apakah sudah bersuami atau belum? Sebab, secara penampilan Izzah seperti gadis yang belum menikah.
“Izzah masih berstatus single Gus?” kata Iqbal kepada Gus Yusuf.
Sunguh berita dari Iqbal membuat Gus Yusuf bahagia sebab ia merasa masih mempunyai harapan untuk melamar gadis yang salekah yang menjadi buah bibir ketika masih di Pesantren Nurul Quran.
Dengan penuh keberanian, Gus Yusuf mengadukan keinginannya untuk menyunting Izzah kepada Kiai Nawawi. Kiai Nawawi dengan senang hati menyetujui apa yang diinginkan oleh Gus Yusuf. Akhirnya, rombongan keluarga Kiai Nawawi datang ke rumah Izzah untuk melamarnya. Sungguh menjadi kebahagiaan yang luar biasa bagi Izzah dan keluarganya dapat menjalin hubungan ke-keluarga-an dengan Kiai Nawawi yang merupakan keturunan orang yang saleh dan salekah.
Seketika itu, di benak fikiran Abah Fanani terselinap kata-kata, “Ini merupakan buah kesabaran Izzah dan keyakinannya bahwa ia akan mendapatkan jodoh yang saleh. At-thayyibaatu lith-thayyibiina wath-thayyibuuna lith-thayyibaati.”