“Tinta yang digoreskan oleh para ulama itu lebih baik dari pada darahnya para syuhada’ yang mengalir,” Dr. Muzammil, ulama Sunni asal Suria.

Setiap muslim itu wajib berjihad untuk memperjuangkan Islam. Mulai jihad yang besar hingga yang paling kecil. Jihad yang dimaksud di sini adalah jihad dengan makna yang luas, bukan hanya sekedar memerangi orang kafir. Sebab kalau hanya diartikan dengan perang niscaya jihad melawan hawa nafsu itu lebih utama darinya.

Teori yang diterapkan untuk mengimplementasikan makna jihad itu berbeda-beda disesuaikan dengan situasi dan kondisi subyeknya. Jika ia adalah orang yang kaya, maka jihadnya dengan hartanya. Jika ia adalah orang yang kuat, maka jihadnya dengan tenaganya. Jika ia adalah orang berilmu, maka jihadnya menggunakan ilmunya. Jika ia adalah orang yang tua yang sudah tidak bisa diharapkan harta, tenaga dan ilmunya, maka jihadnya dengan sebuah untaian doa.

Dari aneka ragam jihad ini, ada satu jihad yang hendaknya ada sebagian kaum muslimin untuk menerjuninya. Yaitu, bertafaqquh fiddin, belajar untuk memperdalami ilmu agama Islam dan menularkannya. Masalah tafaqquh fiddin ini, merupakan perintah Allah sebagaimana dalam firman-Nya, “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah : 122).

Dari adanya anjuran untuk bertafaqquh fiddin ini, hal ini menunjukan adanya suatu keharusan agar seorang muslim tidak terjun ke laga perang semua. Sebab, kalau sampai terjun semua, niscaya dikawatirkan tidak ada seorang ulama yang nantinya akan memberi irsyad kepada ummat dan membimbing manusia untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan melarang atas sesuatu yang dilarang-Nya.

Tentunya, untuk bertafaqquh fiddin, selain sarana prasarannaya adalah seorang ulama spesealis yang menjadi guru, ada juga obyek vital yang tidak bisa dilepaskan. Yaitu, buku atau kitab yang dijadikan standar pelajaran.

Memang benar, di zaman dahulu daya ingatan seorang ulama sangatlah kuat, seperti para sahabat yang hafal ribuan hadist di luar kepala tanpa harus ditulis, sebab di waktu itu yang disuruh oleh Rasulullah Saw untuk ditulis adalah al-Quran. Sebab, beliau kawatir kalau sampai terjadi campuran antara al-Quran dan al-Hadist. Namun, ada juga sahabat nabi yang tetap menulis hadist, seperti Ibnu Umar, sebab ia bisa menjaga dengan baik antara al-Quran dan Hadist agar tidak tercampur. Sehingga, dari tulisan hadist Ibnu Umar ini, ia menjadi salah satu sahabat yang banyak menghafal hadist nabawi.

BACA JUGA :  Hermeneutika dan Infiltrasi Kristen

Tradisi menulis ini merupakan suatu sikap yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalilnya, di dalam al-Quran ada kata Qolam yang mempunyai arti pena. Begitu juga Rasulullah yang telah memerintahkan sebagian sahabatnya untuk menulis wahyu atau menulis surat yang akan dikirimkan kepada raja-raja agar mereka mau menganut ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw.

Ulama salafus shaleh juga memberikan teladan yang baik bagaimana pentingnya menulis, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Muslim yang hafal ribuan hadist yang kemudian kontékstualisasikan ke dalam sebuah teks, sehingga manfaatnya dapat kita rasakan sampai sekarang. Karena banyak ulama yang ahli ijtihad menggali hukum-hukum Islam dari sumber Islam yang kedua ini. Sehingga, lahirlah cabang-cabang ilmu Islam yang tersebar di mana-mana.

Seandainya ulama di zaman dahulu tidak menulis al-Quran, hadist serta ilmu-ilmu yang menjadi kajian Islam dengan penuh keikhlasan dan menjaga keaslian, niscaya kita yang hidup zaman sekarang akan hidup dalam kesuraman ilmu pengetahuan, sebab kita tidak menemukan media untuk sampai kepada hal yang benar-benar bisa dipertanggung jawabkan benar dan tidaknya.

Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan, bagaimana pentingnya sebuah tulisan. Selain berfungsi menjaga kemurnian ilmu, tulisan juga dapat memperkaya Khazanah Intelektual Islam yang buahnya dapat dimanfaatkan oleh banyak orang. Dengan menulis, berarti kita telah melakukan amal jariyah yang pahalanya dapat kita unduh meskipun jasad sudah terbujur di liang lahad jika hal tersebut kita lakukan dengan penuh keikhlasan dan hanya ingin mencari rida Allah.

Artikulli paraprakKelahiran Organisasi Nahdlatul Ulama
Artikulli tjetërMemori Cinta di Balik Mushaf Al-Quran (Cerpen)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini