pondok pesantren di Indonesia lahir sebab adanya para kiai yang mendirikannya. Para kiai ini kebanyakan di waktu itu adalah pernah mengeyam pendidikan ilmu agama di tanah suci Makkah al-Mukarramah. Seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Fakih Maskumambang, Kiai Asnawi Kudus dan para kiai lain yang tersebar di Indonesia kususnya yang ada di pulau Jawa.
Kiai-kiai alumni Makkah ini sangat berpengaruh terhadap penyebaran agama Islam lewat media yang dinamakan pesantren. Setelah belajar dari Makkah, ada yang langsung menyebarkan Islam dan mengabdikan diri untuknya. Ada juga yang masih merasa haus dengan ilmu, sehingga masih saja ingin menuntut ilmu meskipun di bumi pertiwi, tanah kelahirannya. Seperti Kiai Ahmad bin Syuaib. Setelah belajar dari tanah suci Makkah, beliau masih haus dengan ilmu, sehingga beliau meneruskan belajar lagi kepada Kiai Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng Jombang.
Ketika belajar kepada Kiai Hasyim, Kiai Ahmad mendapatkan perhatian kusus darinya. Beliau pernah diberi kitab-kitab milik Kiai Hasyim yang sudah ada sah-sahannya (makna gandulnya). Karena kitabnya Kiai Hasyim itu ada dua jenis. Ada yang tidak ada maknanya dan ada yang bermakna. Yang ada maknanya diberikan kepada Kiai Ahmad bin Syuaib. Sungguh banyak sekali koleksi kitab yang dimiliki oleh Kiai Hasyim. Kitab-kitab yang sebanyak ini didapatkan karena saking lamanya Kiai Hasyim mondok dan menuntut ilmu kepada para ulama. Karena saking lamanya mondok, ada yang mengatakan beliau pernah membeli amat (Budak Perempuan).
Kiai Hasyim ini adalah murid dari Syaikh Mahfud at-Turmusi, salah satu ulama asal Jawa yang menjadi guru besar di Masjidil Haram. Selain Kiai Hasyim, yang menjadi murid Syaikh Mahfud, ada juga Kiai Fakih Maskumambang. Dari kedua ulama yang alim ini, sanad keilmuan Syaikhina Maimoen Zubair bersambung sampai Rasulullah Saw. Syaikhina Maimoen adalah murid dari Kiai Ahmad bin Syuaib yang merupakan murid dari Kiai Hasyim Asy’ari. Dan juga, beliau adalah murid dari Kiai Zubair yang merupakan murid dari Kiai Fakih Maskumambang.
Kedua ulama ini adalah sosok yang dituakan dalam organisasi ke-kiai-an, Nahdlatul Ulama. Organisasi ini lahir pada 31 Januari 1926. Organisasi ini lahir karena adanya reflek dari kiai-kiai Aswaja terhadap kemelut yang terjadi di Masjidil Haram. Di waktu itu, Masjidil Haram sudah dikusai oleh kelompok Wahhabi yang sudah mengulingkan pemerintahan Syarief Husein sebagai raja Asyraf yang terakhir.
Karena adanya perbedaan aliran dengan raja yang sebelumnya, yakni aliran Sunni dan Wahhabi, para kiai Aswaja merasa perlu mengirimkan delegasi ke Makkah untuk mengurus beberapa permasalahan. Delegasi ulama yang dikirim adalah atas nama organisasi Nahdlatul Wathan. Utusan itu disuruh untuk mengahdap raja Abdul Aziz yang merupakan raja pertama dari golongan Wahhabi. Di antara tuntutan dari ulama Aswaja ini adalah;
1. Meminta kepada raja Abdul Aziz agar memperkenankan kiai-kiai mengajar kembali di Masjidil Haram sebagaimana yang dahulu telah berlaku.
2. Meminta kepada raja Abdul Aziz agar membebaskan Kiai Muhib (menantu Kiai Nawawi Banten)
3. Difungsikannya kembali ajaran Madzhab Empat.
Delegasi dari Nahdlatul Wathan yang mengahdap raja Abdul Aziz ini dipanggilnya dengan kata-kata, “Ayyuhal ulamaau min nahdlah.” Dengan menghilangkan kata wathan. Akhirnya, dengan kecerdasan sang delegasi, kata-kata dari raja Abdul Aziz dirangkainya menjadi Nahdlatul Ulama. Karena kata wathannya hilang, maka utusan tadi tidak dinamakan delegasi. Akan tetapi, dinamakan Komite Hijaz yang akhirnya menjadi Komite Muktamar yang membuahkan lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama.
Setiap organisasi membutuhkan lambang. Adapun lambang Nahdlatul Ulama telah dibuat dan didesain langsung oleh Kiai Ridwan. Namun lambang buatan Kiai Ridwan ini tidak ada dadungnya (tali) yang mengikat. Akhirnya, oleh Kiai Hasyim Asy’ari dibuatkanlah dadung untuk mengikatnya. Akan tetapi, dadung yang dibuat Kiai Hasyim ini tidaklah singset (kencang dan erat). Dadung itu agak ngelokor (longgar). Tujuan dari ngelokornya dadung ini sebagai simbol agar Nahdlatul Ulama banyak pengaruhnya. Berbeda dengan singset yang membuat orang cepat mati.
Berkat jasa Kiai Hasyim membuat dadung ini, akhirnya beliau dipilih menjadi Rois Akbar Nahdlatul Ulama dengan diwakili oleh Kiai Fakih Maskumambang.
Dalam masalah Nahdlatul Ulama, Kiai Asnawi Kudus juga banyak jasanya. Jasa-jasanya tidak kalah pentingnya dengan kiai-kiai lainnya yang ikut berkecimpung dalam mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama. Kiai Asnawi ini alumni Makkah yang menikah dengan janda Kiai Nawawi Banten. Nyai Hamdanah namanya. Sebelum menikah dengan Kiai Asnawi, nyai Hamdanah telah dikarunia seorang putri. Namanya adalah Zahra. Sedangkan setelah menikah dengan Kiai Asnawi, nyai Hamdanah dikarunia putra yang diberi nama Zuhri.
Karena saking senangnya Kiai Zubair kepada Kiai Nawawi, salah satu putri Kiai Zubair Dahlan ada yang diberi nama Zahra untuk tafaulan dengan Zahra putrinya Kiai Nawawi Banten dengan Nyai Hamdanah.
Kiai Zubair juga akrab dengan Kiai Asnawi. Hal ini dibuktikan dengan kedua ulama ini sama-sama ikut dalam sebuah organisasi Jamiyyatun Nashihin. Kiai Zubair adalah anggota yang paling muda, sedangkan Kiai Asnawi adalah anggota yang paling tua. Ada juga Kiai Khalil Lasem Rembang. Jamiyyah Nasehat ini adalah sebuah organisasi yang ada kaitannya dengan masalah pengajian. Dahulu namanya nasehat. Kalau sekarang namanya diganti menjadi pengajian.
Sarang, 3 Januari 2013
Catatan : Artikel ini disarikan dari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair ketika ada acara HIMMA (Himpunan Mutakharrijin Mutakharrijat Al-Anwar) tahun 2009.