Perkembangan suatu bangsa tidak akan bisa dilepaskan dengan yang namanya “tulisan”. Dari tulisan, peradaban dan kebudayaan bangsa bisa hidup dan bersemi. Sebab, dengan tulisan, sejarah dapat menceritakan bagaimana negara tersebut dapat berdiri tegak di bawah horizon. Juga, dengan tulisan dapat mengenang dan mengetahui bagaimana pahit getir sang founding father dengan taruhan jiwa dan raganya membangun negara.
Dengan adanya tulisan, menjadikan perkembangan ilmu pengetahuan sangat bergantung olehnya. Karena tidak ada kamajuan yang dicapai oleh suatu bangsa kecuali ilmu pengetahuannya telah maju. Dan, ilmu pengetahuan itu bisa maju apabila negara mempunyai banyak ilmuwan dan cendikiawan yang bisa diajak kerja sama untuk membangun bangsa dan negara. Sedangkan, lahirnya seorang ilmuwan dan cendikiawan ini tidak akan terwujud kecuali ditopang dengan budaya membaca dan menulis.
Kalau dilihat dari data statistik, budaya membaca bangsa Indonesia masih sangatlah minim sekali bila dibandingkan dengan Singapura dan Jepang. Data statistik menunjukkan minat baca bangsa kita masih 0,01 persen, sedangkan Jepang mencapai 45 persen, dan Singapura minat bacanya sampai 55 persen (Tribunnews 17/5/ 2013). Hal ini sangat ironis sekali, sebab dari jumlah 10000 orang yang berminat untuk membaca hanya satu orang. Padahal buku, majalah, koran dan buletin tiap hari selalu terbit dengan jumlah yang begitu besar.
Minat membaca ini sangat mempengarui karakter seorang penulis. Bahkan gemar membaca ini merupakan organ vital yang tidak bisa dilepaskan dari seorang penulis. Kedua elemen ini satu dengan yang lainnya saling bersimbiosis mutualisme. Habiburrahman al-Shirazy berkata, “Orang yang banyak membaca tapi tak pernah menulis, itu adalah orang yang sakit. Seperti orang yang banyak makan, tapi tak buang air besar.”
Dengan adanya pembacaan yang kental, maka karya tulis yang dihasilkan akan berdampak memuaskan. Meskipun dalam hal ini tidak menafikan peran penting obyek lain, seperti riset, observasi, wawancara dan yang lainnya.
Ketika budaya gemar membaca dan menulis sudah mendarah daging ke dalam diri seorang penulis, terkadang ia masih dihinggapi rasa pesimis dan tidak percaya diri dengan hasil karya tulisannya. Apakah karya tersebut layak terbit dan publikasi hingga bisa diterima masyarakat? Atau juga sebaliknya? Sehingga, ketika penulis terkena ujian tidak terbit karyanya dan juga tidak diterima oleh konsumen, maka sebagian dari mereka ada yang frustrasi dan mengalihkan diri dari profesinya yang gemar membaca dan menulis karena tidak tahan dengan ujian yang menerpanya.
Tumbuhnya seorang penulis itu disebabkan beberapa motif, seperti faktor ingin mencari uang dan ingin mencari kepopularan. Tidak sedikit kita sering menjumpai mahasiswa yang karena kantongnya kosong, dengan giat mereka menulis, meskipun awal-awalnya tulisannya ditolak satu hingga puluhan kali. Sehingga, dengan kerja kerasnya yang disertai kesemangatan, akhirnya mereka dapat mencapai cita-citanya untuk mendapatkan uang dari hasil jerih payahnya dalam menulis. Dengan tulisan, sebagian ekonomi penulis digantungkannya. Jika tidak menulis, maka mereka harus siap untuk berpuasa.
Untuk penulis yang mencari kepopularan, biasanya mereka itu adalah orang-orang yang ekonominya sudah mapan tanpa mengantungkan dengan honor tulisannya. Mereka menulis karena ingin mencari nama besar serta pengaruh, sehingga mereka bisa tersegani di mata masyarakat dan dipuji banyak orang.
Ada juga orang yang menulis, bukan karena ingin mencari harta dan juga bukan karena ingin mencari kepopularan. Akan tetapi, mereka menulis sebab adanya dorongan hati yang begitu beningnya. Mereka menulis karena ingin mencari rida Tuhan dan tidak ingi mengharapkan sesuatu imbalan dari manusia. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh banyak ulama yang menulis karena jihad ingin membela agama Tuhan. Dr. Sa’id Romdlon al-Buthy berkata, “Saya bertanya pada diri saya sendiri. Apa yang membuat saya tetap menulis dan menulis? Kalau untuk kemashuran, saya telah mendapatkan lebih dari pada yang saya harapkan. Kalau untuk kesejahteraan dan kekayaan, Allah telah menganugerahi saya lebih dari pada yang saya butuhkan. Dan kalau ingin dihormati orang, saya sudah memperoleh lebih dari pada yang layak saya terima. Pada akhirnya, saya menyadari bahwa keinginan yang saya sebut tadi sia-sia dan hampa kecuali seuntai doa yang dihadiahkan kepada saya dari seorang muslim yang tidak saya kenal.”
Dari adanya motif-motif pengerak lahirnya penulis ini, hendaknya seseorang yang bercita-cita ingin menjadi seorang penulis agar tetap menulis meskipun itu tujuannya adalah ingin mencari harta dan kepopularan. Yang penting tidak membuat tulisan yang dapat menimbulkan fitnah antar sesama. Sebab, jalan menuju penulis yang ikhlas itu tidak bisa dicapai dengan sekejap mata. Butuh tahapan-tahapan untuk mencapai hal tersebut. Imam al-Ghazali sendiri pernah mengalami fase yang amalnya karena dunia. Kemudian suatu ketika baru mencapai tahap yang sempurna, yaitu ikhlas yang hanya mencari rida tuhannya.
Jika kita sudah ikhlas dalam berkarya, insya Allah tulisan yang kita goreskan akan menjadi amal jariyah yang pahalanya akan selalu kita unduh meskipun jasad telah terbujur di liang lahad. Semoga.