أَرِح نفسك من التدبير فما قام به غيرُك عنك لا تقم به لنفسك
“Janganlah hatimu mengatur karena kamu tidak akan bisa mengurus urusan yang sudah diatur oleh Allah SWT.”
Sebagian pembaca pasti menyangka bahwa hikmah di atas bertentangan dengan salah satu hikmah yang pernah dikemukakan oleh Ibnu ‘Athaillah sebelumnya yaitu "Kamu ingin maqam tajrid padahal Allah menempatkanmu di maqam asbab maka hal itu termasuk syahwat yang samar, sedang yang kamu inginkan maqam asbab padahal Allah menempatkanmu di maqam tajrid itu adalah penurunan dari kemauan yang tinggi". Tetapi pada hakikatnya antara kedua hikmah tersebut tidak ada kontradiksi, bahkan keduanya adalah dua hal yang selaras dan saling melengkapi.
Bila dipandang dari pengertian dan sumbernya, maka antara melakukan asbab dan mengatur urusan dengan hati (shadar) terdapat perbedaan yang mencolok. Perbedaan itu adalah:
1) Melakukan asbab adalah suatu usaha yang dilakukan oleh anggota badan dengan sungguh-sungguh, seperti halnya orang mencari nafkah dengan cara pergi ke pasar untuk berdagang, orang mencari ilmu dengan cara belajar, orang mendatangi dokter atau pergi ke rumah sakit untuk berobat, orang manjauhi hal-hal yang bisa menimbulkan bahaya, dan lain-lain.
Sedangkan tadbir adalah suatu pekerjaan berfikir dan keadaan akal seperti seseorang merencanakan keuntungan dari dagangannya, merencanakan kesuksesannya, merencanakan kesembuhannya penyekitnya, merncanakan keselamatannya, dan lain-lain. Di dalam hal ini asbab berada pada pengawasan dan pengaturan, dan akalnya adalah kunci dari kesuksesan dan sumber pengaturannya.
2) Melakukan asbab sumbernya adalah anggota badan dan hal ini sangat dianjurkan dan disenangi oleh syara’.
Sedangkan tadabbur, sumbernya adalah hati dan akal. Hal ini sangat dilarang dan dibenci oleh syara’.
Kedua hal ini bila dikendalikan dengan selaras maka akan mewujudkan metode kehidupan yang Islami pada pribadi seorang muslim. Dia akan pergi ke pasar untuk melakukan asbab dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Apabila ada orang mendatanginya dan bertanya; "Apa yang engkau harapkan dari pekerjaan dan kesungguhanmu ini?". Maka dia akan menjawab dengan mantap: "Ini adalah kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepadaku, aku melakukannya sesuai dengan cara yang telah ditentukan syari’at". Dan bila orang tersebut bertanya lagi: "Apa yang akan diberikan oleh Allah atas imbalan dari pekerjaanmu ini?", maka dia akan menjawab dengan tenang : "Itu semuanya sudah diatur oleh Allah SWT dan aku pasrah atas qadla’-Nya sera ridla atas semua keputusan-Nya". Ini adalah metode kehidupan Islam yang diingatkan oleh Ibnu ‘Atha’illah di dalam sebuah kalam hikmah lain yang bermakna : "Melakukan asbab-asbab sesuai dengan syari’at dan pasrah terhadap keputusan dan pengaturan Allah SWT."
Metode ini sebenarnya pernah diamalkan oleh panutan kita Nabi Muhammad SAW. Kita bisa mempelajarinya dari perjalanan beliau saat hijrah dari Makkah Al-Mukarramah menuju ke Madinah Al-Munawwarah yang ditemani oleh sahabat beliau yang sangat setia yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Pada waktu hijrah, beliau melakukan asbab-asbab sehingga seolah-olah diyakini bahwa hal ini adalah sebuah syarat yang harus dilakukan untuk mencapai kesuksesan dan keselamatannya.
Nabi Muhammad SAW di dalam permulaan hijrahnya keluar dari rumah dengan sembunyi-sembunyi. Beliau meninggalkan Ali bin Abi Thalib ra. dalam keadaan tidur di ranjangnya, sampai-sampai orang-orang musyrik menyangka bahwa yang tidur di ranjang adalah Rasulullah SAW, dan akhirnya mereka tidak bisa mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW, karena Abu Bakar Ash-Shiddiq menyuruh pembantunya yang bernama Amir bin Fuhairah untuk membuntuti jejak mereka berdua agar bisa menghapus bekas-bekas langkah kaki mereka berdua terutama saat melewati padang pasir.
Kemudian mereka berdua sampai di gua Tsur dan bermukim di sana sampai tiga hari. Pada waktu itu beliau mengadakan akad ijarah (menyewa) tenaga dengan seorang musyrik yang bisa dipercaya. Orang tersebut bernama Abdullah bin Arkqath. Dia di sana untuk menunjukkan jalan yang aman agar beliau Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq sampai di kota Madinah Al-Munawwarah dengan selamat. Ini semua adalah contoh-contoh melakukan asbab yang sempurna.
Di tengah-tengah persembunyian beliau di gua Tsur, tiba-tiba ada segerombolan orang-orang musyrik yang sampai di depan gua. Lubang gua pun mereka awasi dan perhatikan. Namun, saat mereka lihat di mulut gua tersebut terdapat laba-laba dengan jaringnya dan burung yang bersemayam disitu, sehingga seolah- seolah mereka berkeyakinan tidak mungkin ada sesorang yang masuk ke dalam gua. Pada waktu itu Abu Bakar Ash-Shiddiq sangat khawatir dan beliau membisikkan di telinga Nabi Muhammad SAW sembari berkata "Seandainya salah satu dari mereka melihat ke bawah telapak kaki Anda maka mereka akan melihat kita", lalu Rasulullah SAW menjawabnya dengan tenang "Yang kamu sangka dua orang, maka Allah adalah yang ketiga". Ini adalah bentuk tawakkal dan pasrah atas qadla’ dan pengaturan Allah SWT. Peristiwa ini telah di nash di dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 40 :
إِلاَّ تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (التوبة : 40)
Artinya : Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (Musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang keduanya berada dalam gua (Tsur), di waktu dia berkata kepadanya "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita". Maka Allah menurunkan ketenangannya kepada Muhammad dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimah Allah-lah yang tinggi. Dan Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana. (QS. At-Taubah ; 40)
Ketika Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra keluar dari gua Tsur dan meneruskan perjalanannya, saat itu Abu Bakar ra terus menoleh ke belakang dan mengkhawatirkan keadaan Rasulullah SAW yang terus melanjutkan perjalanan dengan tenang tanpa menoleh sedikitpun. Kemudian beliau membaca Al-Qur’an dengan tenang dan yakin atas perlindungan Allah SWT. Ini adalah contoh meninggalkan sifat mengatur (Tadabbur) dan berpegang pada pengaturan Allah SWT.
Beliau melakukan asbab-asbab dengan tenang dan sesuai dengan syari’at, karena mematuhi perintah-perintah Allah SWT, kemudian beliau melupakannya dan menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT dan juga disertai kepercayaan yang sempurna atas kebijaksanaan, rahmat dan taufiq dari-Nya. Jadi, ini semua bisa menjadi dalil kenabian (dari Nabi Muhammad SAW) yang menjelaskan makna hikmah yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Atha’illah yaitu: "Janganlah hatimu mengatur urusan yang sudah diatur oleh Allah SWT". Dan juga menjelaskan keselarasan hikmah ini dengan hikmah lain yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah sebelumnya yang bermakna "Keinginanmu pada makam asbab adalah merupakan menuruti hawa nafsu yang samar".
Contoh lain yang menjelaskan hikmah ini adalah sebuah hikayah (cerita) mengenai Ali bin Hasan bin Ali ra. Diceritakan bahwa beliau adalah seorang pedagang di pasar. Beliau memiliki dagangan yang sangat banyak. Bila waktu shalat tiba maka beliau meninggalkan dagangannya dan menuju ke masjid untuk mengerjakan shalat. Pada suatu hari ketika beliau sedang shalat di masjid tiba-tiba datang seseorang yang mengabarinya bahwa api sedang berkobar di pasar dan mulai membakar barang dagangannya, tetapi beliau tidak memperdulikan berita tersebut dan beliau terus menjalankan shalatnya dengan menghadap Allah SWT, lalu dzikir-dzikir seprti hari-hari biasa. Kemudian beliau baru menuju ke pasar dengan hati tenang dan tentram.
Lihatlah bagaimana Ali bin Hasan bin Ali ra melakukan asbab, beliau bersungguh-sungguh dalam mencari nafaqah dengan cara berdagang di pasar karena hal ini termasuk salah satu tugas yang di bebankan Allah kepada hamba-hambanya. Kemudian lihatlah bagaimana beliau menghilangkan sifat tadbir dan menyerahkan semua pengeturan kepada Allah SWT. Tatkala beliau selesai melakukan tugas yang dibebankan padanya maka beliau menghadap pada tugas yang lebih mulia yang menjadi tujuan utama Allah menciptakan manusia yaitu beribadah kepada-Nya. Beliau tidak menoleh dan memperdulikan asbab ketika telah berpindah pada ruang lingkup makam tajrid. Bahkan beliau bertawakkal dan menyerahkan semua pengaturan dan hasil-hasil asbab (usaha) kepada Allah SWT.