A. MUKADIMAH

Shalat adalah rukun Islam terpenting setelah Syahadatain, dan merupakan amal Ibadah badaniyah yang paling utama dibandingkan Ibadah badaniyah lainnya semisal puasa, zakat ataupun haji. Sebagai ibadah, shalat memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi demi keabsahan shalat itu sendiri, dalam bahasa fuqaha disebut dengan syarat dan rukun. Di antara syarat-syarat tersebut adalah menghadap kiblat, yang mana oleh Fuqaha telah disepakati sebagai syarat keabsahan sholat kecuali dalam 2 permasalahan, yaitu sholat dalam keadaan syiddatul khauf dan sholat sunnah ketika di atas kendaraan

Berkenaan dengan konsep menghadap kiblat dalam shalat, perbedaan pendapat di kalangan Ulama tentang hal ini bukan hal baru lagi. Perbedaan tersebut mestinya bukanlah sumber dari perpecahan di kalangan umat Islam. Sebaliknya pendapat-pendapat Ulama salaf sesuai ijtihad mereka masing-masing tersebut pada hakikatnya adalah solusi yang arif bagi kita dalam menyikapi perbedaan dalam masyarakat kita. Rasulullah SAW telah mengisyaratkan hal tersebut dalam Sabdanya: اختلاف أمتي رحمة

"Perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat"

Sebagaimana kita ketahui, akhir-akhir ini di Indonesia kontroversi seputar arah kiblat kembali mencuat ke permukaan. Beberapa kalangan menyatakan, bahwa banyak arah kiblat masjid yang sudah ada tidak tepat mengarah ke bangunan Ka’bah di Makkah, dan perlu dilakukan penyesuaian.Ini sebenarnya bukan yang pertama terjadi di Indonesia, tapi juga sudah pernah terjadi pada sekitar tahun 1897 M di Yogyakarta yang dimotori oleh KH Ahmad Dahlan . Tidak terkecuali masjid paling bersejarah di tanah Jawa, masjid Agung Demak. Pro dan kontra di antara masyarakat muslim pun tak terhindarkan lagi, sehingga dibutuhkan solusi bijak untuk menjaga iklim yang kondusif dan persatuan umat Islam.

B. DASAR HUKUM KEWAJIBAN MENGHADAP KIBLAT DALAM SHOLAT

Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat keabsahan Shalat. Dan para ulama’ telah sepakat bahwa Ka’bah adalah kiblat bagi seluruh umat islam dalam melaksanakan ibadah shalat. Hal ini dengan berdasarkan firman Allah dan sabda Rasululullah SAW.

Allah SWT berfirman:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام [البقرة : 144]

Artinya :"Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. "(QS. Al-Baqoroh :144)

Artikulasi ditetapkannya Ka’bah sebagai kiblat bukan dimaksudkan sebagai bentuk penyucian (pen-taqlidan) dan pensakralan satu arah tertentu, akan tetapi eksistensinya dalam pelaksanaan ritual ibadah hanya dimaksudkan sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (البقرة : 142)

Artinya:"Bahwa "orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata:apakah yang memalingkan mereka (umat islam) dari kiblatnya (baitul maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?, katakanlah: kepunyaan Allah timur dan barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus" (Q.S. al Baqarah : 142)

Ayat ini menepis anggapan orang-orang yang kurang pikirannya sehingga tidak dapat memahami maksud pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Kita ketahui bahwa ketika Rasulullah SAW berada di Makkah ditengah-tengah kaum musyrikin beliau berkiblat ke Baitul Maqdis. Tetapi setelah 16 atau 17 bulan Nabi berada di Madinah di tengah-tengah orang Yahudi dan Nasrani, Beliau diperintah oleh Allah Ta’ala untuk menjadikan Ka’bah sebagai kiblat. Hal ini untuk memberi pengertian bahwa arah Baitul Maqdis atau Ka’bah bukanlah menjadi tujuan dalam shalat, tetapi Allah menjadikan Ka’bah sebagai kiblat untuk persatuan umat islam.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

إذا قمت إلى الصلاة فأسبغ الوضوء ثم استقبل القبلة

"ketika kamu akan mendirikan Sholat, maka sempurnakanlah wudlu kemudian menghadaplah ke kiblat "

عن أنس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي نحو بيت المقدس فنزلت ( قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك قبلة ترضاها فول وجهك شطر المسجد الحرام) فمر رجل من بني سلمة وهم ركوع في صلاة الفجر وقد صلوا ركعة فنادى ألا إن القبلة قد حولت فمالوا كما هم نحو القبلة

Artinya: "Bahwa sesunggunya Rasulullah SAW (pada suatu hari) sedang shalat dengan menghadap Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat "Sesungguhnya Aku melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami palingkan mukamu ke kiblat yang kamu kehendaki. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram". Kemudian ada seseorang dari Bani Salamah bepergian, menjumpai sekelompok sahabat sedang ruku’ pada shalat fajar. Lalu ia menyeru "Sesungguhnya kiblat telah berubah". Lalu mereka berpaling seperti kelompok Nabi, yakni kearah kiblat"

C. TAFSIR AYAT فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام

Lafadz syathr menurut para ‘ulama maknanya adalah jihah, nahwu, qiblat sebagaimana pendapat imam Nawawi, ibnu Qudamah, imam ‘Ali bin abi Thalib, ibnu al’ Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Qatadah dan yang lainnya.

Lain halnya dengan Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj, beliau menafsiri ayat tersebut dengan ‘ainul ka’bah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan mengarahkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi terkhusus pada penduduk madinah dan yang searah dengan Madinah.

Dari sini bisa diketahui bahwa penafsiran Ibnu Hajar berbeda dengan penafsiran mayoritas Ulama’. Adapun Penafsiran Beliau tentang lafadl "masjidil haram" dengan ka’bah maka sesuai dengan penafsiran Ulama’ lain karena makna masjidil haram dalam al-Quran itu berputar terhadap tiga arti :

  • Masjidil haram yang artinya ka’bah yaitu pada ayat:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام ِ[ البقرة : 144/ 149 / 150]

"Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam".

  • Masjidil haram yang artinya ka’bah dan sekitarnya

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى [الإسراء : 1]

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil haram ke Masjid al aqsa" (Q.S. al Isra’: 1).

  • Masjidil haram yang artinya Makkah Mukarromah

إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ [التوبة : 28]

"Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam" (Q.S. al Taubah: 28).

Bisa disimpulkan bahwa qaul yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat jumhurul Ulama’ karena ibnu Hajar menafsiri syathra al-masjidil haram dengan ‘ainul ka’bah’ berbeda dengan mayoritas Ulama’. Adapun dalil yang beliau gunakan bisa diarahkan kepada orang yang bisa melihat ka’bah sebagaimana pendapat mayoritas ulama’.

D. KONSEP MENGHADAP KIBLAT DALAM PANDANGAN ULAMA

Semua Ulama sepakat bahwa setiap orang yang bisa melihat Ka’bah secara langsung maka yang menjadi kewajibannya adalah harus menghadap ke bangunan fisik Ka’bah secara langsung. Adapun orang yang tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung maka Ulama berbeda-beda pendapat sebagai berikut.

1. Madzhab Hanafi

Mayoritas ulama’ Hanafiyyah berpendapat bahwa orang yang tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung maka ia menghadap ke arah ka’bah Hal ini karena kewajiban seseorang adalah sebatas perkara yang mampu untuk dikerjakan, sedangkan menghadap bangunan fisik ka’bah merupakan hal yang tidak mampu untuk dikerjakan sehingga hukumnya tidak wajib. Pendapat ini berbeda dengan sebagian kecil dari mereka yang mengharuskan menghadap fisik ka’bah.

2. Madzhab Maliki

Mayoritas ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa orang yang bisa melihat Ka’bah secara langsung maka wajib menghadap fisik Ka’bah. Sementara bagi mereka yang tidak bisa melihat ka’bah maka cukup dengan menghadap arah ka’bah, karena andaikan kita diwajibkan menghadap bangunan fisik ka’bah niscaya kita akan mengalami kesulitan, padahal Allah SWT telah berfirman

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [الحج : 78 ]

Artinya: "dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan"(QS.Al-Hajj:78)

Pendapat ini adalah pendapat yang shohih karena beberapa alasan :

  1. Menghadap arah Ka’bah adalah perkara yang dalam jangkauan kemampuan orang mukallaf,
  2. Menghadap arah Ka’bah adalah hal yang diperintah Allah dalam ayatnya فول وجهك……الأية
  3. Para ulama berhujjah dengan keabsahan sholat jamaah yang panjang barisannya melebihi lebar ka’bah, padahal sudah dipastikan ada sebagian ma’mum yang tidak menghadap fisik ka’bah

3. Madzhab Syafi’i

Dalam Madzhab Syafi’i terdapat 2 qoul tentang ketentuan menghadap qiblat bagi orang yang tidak bisa melihat ka’bah secara langsung :

1. Qaul pertama, wajib menghadap fisik ka’bah berdasarkan Hadits:

لما دخل النبي صلى الله عليه وسلم البيت دعا في نواحيه كلها ولم يصل حتى خرج منه فلما خرج ركع ركعتين في قبل الكعبة وقال هذه القبلة (صحيح البخاري -2 / 157)

Artinya: "Ketika Rasulullah SAW masuk ke dalam ka’bah beliau berdo’a dan tidak melakukan shalat di dalam, kemudian ketika beliau keluar dari Ka’bah barulah melakukan sholat dua rakaat dan berkata "inilah qiblat"

2. Qaul kedua sebagaimana yang dinuqil oleh Imam al-Muzanni, wajib menghadap arah ka’bah berdasarkan Hadits:

ما بين المشرق و المغرب قبلة

Artinya: "Antara timur dan barat adalah kiblat".

Qaul kedua ini adalah pendapat dipilih dan dikuatkan oleh Imam Ghozali serta al Mahalli. Bahkan al Adzri’i berkata: "Sebagian pengikut madzhab Syafi’i menyatakan bahwa pendapat ini adalah qoul jadid dan pendapat yang dipilih, karena Ka’bah bentuknya kecil dan mustahil bagi seluruh umat di dunia untuk bisa menghadap tepat pada fisik ka’bah, sehingga Shalat cukup dengan menghadap arah ka’bah. Oleh karena itu, sholat jamaah barisan yang panjang ketika mereka jauh dari ka’bah hukumnya sah semua, padahal sudah dipastikan bahwa di antara mereka ada yang tidak menghadap tepat ke fisik ka’bah

BACA JUGA :  Ghirah Cendekiawan Muslim dalam Menulis

4. Madzhab Ahmad bin Hanbal

Ulama’ hanabilah berpendapat bahwa orang shalat yang jauh dari Makkah cukup dengan menghadap arah Ka’bah. Adapun dalil yang dikemukakan oleh Ulama’ hanabilah (sebagaimana dalam kitab mughni) adalah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan al-Tirmidzi yang berbunyi, "Antara Timur dan Barat adalah Kiblat"

ULAMA KONTEMPORER

Pada bulan Maret 2010, Prof. Dr. Wahbah Zuhaili berkunjung ke Indonesia. Beliau mendapatkan pertanyaan tentang tanggapan mengenai fatwa MUI – fatwa no.03 tahun 2010 – yang menyatakan bahwa letak georafis Indonesia yang berada di bagian Timur Ka’bah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat. Beliau menjawab: "Pendapat MUI tepat, ini adalah qoul rojih yang sesuai pendapat mayoritas Ulama dan tidak merepotkan umat Islam. Seandainya MUI memfatwakan kewajiban menghadap fisik Ka’bah maka umat Islam akan dibuat repot, karena efeknya mereka akan membongkar masjid-masjid yang sudah ada untuk meluruskan arah kiblat.Dalam Al Fiqh al Islami beliau menyatakan, hadits ما بين المشرق والمغرب القبلة secara zahir memberikan pemahaman bahwa arah di antara timur dan barat secara keseluruhan adalah kiblat.

TARJIH

Setelah kita menyimak perbedaan pendapat Ulama dalam kewajiban menghadap kiblat bagi orang yang tidak bisa melihat ka’bah secara langsung, kita dapat menyimpulkannya bahwa Perbedaan ini berakar pada dua hadits yang berbeda. Pertama Hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan Bukhori:

لما دخل النبي صلى الله عليه وسلم البيت دعا في نواحيه كلها ولم يصل حتى خرج منه فلما خرج ركع ركعتين في قبل الكعبة وقال هذه القبلة

Artinya: "Ketika Rasulullah SAW masuk ke dalam ka’bah beliau berdo’a dan tidak melakukan shalat di dalam, kemudian ketika beliau keluar dari Ka’bah barulah melakukan sholat dua rakaat dan berkata "inilah qiblat"

Hadits di atas menunjukkan bahwa yang dinamakan qiblat adalah bangunan fisik Ka’bah. Yang kedua adalah Hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Baihaqi dan Imam Tirmidzi:

ما بين المشرق و المغرب قبلة

Artinya: "Antara timur dan barat adalah Kiblat"

Hadis ini menunjukkan bahwa ka’bah tidak hanya bangunan fisik akan tetapi Arah (jihah) Ka’bah.

Dalam disiplin ilmu hadits apabila ada dua hadits yang berbeda dan sama shahihnya maka wajib di jami’kan/kompromikan selama bisa, dengan menempatkan hadist-hadist tersebut pada kondisi yang berbeda. Maka hadist Ibnu Abbas konteksnya adalah orang-orang yang dapat melihat bangunan ka’bah secara langsung sedangkan hadits Abu Hurairah diarahkan pada orang-orang yang tidak dapat melihatnya secara langsung.

Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa argumen,

a. Penafsiran ulama dalam firman Allah:

فول وجهك شطر المسجد الحرام وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره

"Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya."

Lafadz syathr menurut para ‘ulama maknanya adalah jihah, nahwu, qiblat sebagaimana pendapat imam Nawawi, ibnu Qudamah, imam ‘Ali bin abi Thalib, ibnu al’ Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Qatadah dan yang lainnya.

Lain halnya dengan Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj, beliau menafsiri ayat tersebut dengan ‘ainul ka’bah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan mengarahkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi terkhusus pada penduduk Madinah dan yang searah dengan Madinah.

Dari sini bisa diketahui bahwa penafsiran ibnu Hajar berbeda dengan penafsiran mayoritas Ulama’.

b. Lafadz "ما" adalah lafadz yang menunjukkan ma’na umum. Sehingga dalam menanggapi hadits di atas Imam Ibnu Qudamah mengatakan antara timur dan barat secara keseluruhan adalah kiblat.

c. Selain itu para Ulama’ telah sepakat bahwa barisan jamaah shalat yang panjangnya melebihi ukuran ka’bah ketika mereka sholat dan jaraknya jauh dari ka’bah sehingga tidak bisa melihat fisiknya maka sholat semuanya sah.

d. Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan shalat dengan tidak menghadap ke fisik Ka’bah. Hal ini terbukti dengan arah kiblat Masjid Nabawi dan Kuba’ Madinah yang menurut falak melenceng sangat jauh, dimana Masjid Nabawi melenceng 4,5 derajad kearah barat dari Ka’bah sepanjang 26 km, sedangkan masjid Kuba’ 8,5 derajad sepanjang 50 km kearah yang sama.

KEDUDUKAN ILMU FALAK DAN SAINS DALAM ISLAM

Perlukah merubah arah kiblat masjid yang sudah ada?

Dengan mengetahui perkhilafan para Ulama’ tentang ketentuan menghadap kiblat maka kita tahu bahwa keberadaan masjid di Indonesia khususnya masjid-masjid yang didirikan para wali dan Ulama’ terdahulu sudah sesuai dengan Syariat, walaupun jika diukur dengan ilmu falak posisinya tidak lurus bertepatan dengan ka’bah. Maka dari itu merubah mihrab masjid – masjid yang sudah ada hukumnya haram dengan beberapa alasan :

1. Pendirian Masjid-masjid yang terdapat di Indonesia sudah sesuai dengan pendapat mayoritas Ulama’ yang berdasar al Qur’an dan Hadis. Maka dengan merubah mihrab yang sudah ada dengan mengikuti petunjuk alat seperti kompas, Google maps dan yang lainnya berarti mendahulukan alat yang bersifat materi daripada al Qur’an dan Hadits.

2. Status mihrab menduduki kedudukan Mukhbir ‘an ‘ilmin (orang yang memberi kabar melihat ka’bah secara langsung) yang derajatnya lebih didahulukan dari ijtihad. Maka dari itu haram merubah mihrab yang telah ada dengan dasar ijtihad yang berpegangan pada ilmu falak.

3. Bertentangan dengan Qaidah :

لا ينكر المختلف فيه و إنما ينكر المجمع عليه

"Suatu kemungkaran yang wajib diingkari adalah perkara yang sudah disepakati para ulama’ atas keharamannya".

Adapun masalah yang masih menjadi perkhilafan di antara para ulama’ maka tidak wajib untuk diingkari. Akan tetapi diperbolehkan mengingkarinya jika memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

  • Tidak masuk dalam perkhilafan yang lain,
  • Tidak bertentangan dengan Hadits,
  • Tidak menimbulkan fitnah.

Menyalahkan atau bahkan merubah arah kiblat yang telah ada Indonesia berarti termasuk ingkar yang hukumnnya haram karena menimbulkan fitnah (perpecahan umat islam), bahkan menimbulkan keraguan pada masyarakat atas kebenaran kiblat para wali & para ulama’-ulama’ terdahulu yang berpegang teguh dengan dalil syar’i,menyalahi pendapat ulama’ yang memperbolehkan menghadap arah ka’bah, menentang hukum yang telah ditetapkan Nabi, sementara mereka yang merubah mihrab hanya berdasarkan Google Map yang tidak bisa dikategorikan sebagai dalil syar’i.

KESIMPULAN

Para ulama sepakat bahwa orang yang bisa melihat ka’bah wajib menghadap fisik ka’bah (‘ain al-ka’bah). Sementara itu, mereka yang tidak bisa melihat ka’bah maka para ulama berbeda pendapat.

Pertama, Jumhur ulama dan termasuk qaul kedua dalam madzhab Syafi’i berpendapat cukup dengan menghadap arah ka’bah (jihah al-ka’bah). Adapun dalil yang dikemukakan oleh Jumhur adalah sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan al-Tirmidzi yang berbunyi, "antara Timur dan Barat adalah Kiblat". Secara lahiriah hadis itu menunjukkan bahwa semua yang berada di antara keduanya termasuk kiblat. Sebab, bila diwajibkan menghadap fisik ka’bah, maka tidak sah salatnya orang-orang yang berada jauh dari ka’bah karena tidak bisa memastikan shalatnya menghadap fisik ka’bah.

Kedua, qaul awal dalam madzhab Syafi’i berpendapat bahwa wajib bagi orang yang jauh dari Makkah untuk menghadap ‘ain al-ka’bah. Adapun dalil yang digunakan adalah ayat 144 surat al-Baqarah dan Hadis riwayat Ibnu Abbas.

Apabila pendapat kedua ini kita gunakan, maka umat akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan shalat yang merupakan induk segala peribadatan dalam Islam. Sebab, umat akan mengalami kesulitan dalam memastikan akurasi arah kiblatnya karena berbagai keterbatasan terutama ilmu pengetahuan. Akibatnya, umat Islam tidak dapat melaksanakan ibadah shalat sesuai ketentuan tersebut karena tidak dapat memenuhi salah satu syarat sahnya salat yaitu menghadap kiblat.

 

Referensi

  1. Muslim, Shahih muslim.
  2. Al-Majmu’, al-Imam al-Nawawi,
  3. al-Mughni, ibnu al-Qadamah,
  4. Tafsir ibnu Katsir,
  5. Tuhfatu al-Muhtaj, ibnu Hajar,
  6. Prof. Dr. Wahbah al Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adillatuh
  7. al Imam al Kasani, Badai’u al-Shonai’ fi Tartibi al Syarai’,
  8. Bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtasid, ibnu ar-Rusyd,
  9. al Imam al Qurthubi, al Jami’ li Ahkamil Qur’an,
  10. Muhammad bin Ismail al Bukhori, Sahih al-bukhori,
  11. Sunan al-Baihaqi al-Kubra, baihaqi,
  12. al Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba’alawi, Bughyatu al-Mustarsyidin al Muhadzab,
  13. Imam al Syairozi, Al Mughni,
  14. Ibnu al Qadamah,
  15. Prof. Dr. Musthofa Ya’qub, al Qiblat
  16. Al-Majmu’, al-Imam al-Nawawi
  17. Umdatul Mufti walmustafti ,Umar bin Abdul Aziz al Hanafi
  18. Hasyiyatul Bujairimi ‘ala al Manhaj Sulaiman bin Muhammad Al Bujairimi,
  19. al Asybah wa an Nadloir, Imam Al Suyuthi
  20. Raudlatut Thalibin, Imam Al Nawawi
  21. al Fawaidul Janiyyah, Syaikh Yasin bin Isa al Fadani
Artikulli paraprakMengabaikan Persatuan Umat
Artikulli tjetërAda Apa dengan Akhlaq?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini