Hari Jum’at pagi, kewajiban para santri adalah muhafadloh, menghapalkan diluar kepala pelajaran yang mereka tekuni. Seperti biasanya, mereka berkumpul di aula atau di Musholla untuk mengucapkan bersama-sama. Bisa tiga ratusan bait, seperti nadzam Maqsud bisa juga seribu bait, seperti Alfiyyah.
Celakanya adalah bagi santri yang hapalannya tertinggal dengan teman sekelasnya. Mereka tentu saja didera rasa kikuk mati-matian. Mau diam saja, kanan kirinya pada semangat bersuara. Mau ikut buka suara tapi tidak hapal nadzamnya. Padahal seksi Pendidikan, Ma’arif, dan para Ustadz mengawasi ketat pada mereka yang "plegak-pleguk" tidak hapal. Bisa-bisa ditegur didepan umum atau malah dihukum.
Malu juga, kan?
Namun, santri kita ini tidak pendek akal. Sebut saja dia Dul Kendo. Walau tidak hapal, dia tetap saja semangat mengikuti muhafadloh. Dan anehnya selalu selamat dari sensor Ma’arif dan Ustadz.
Didorong penasaran, saya bertanya.
"Dul, kamu kan jelas ndak apal. Tapi kok ya selamat terus"
"Aha.. itu gampang, Kang. Lha wong aku punya nadzam tolak balak, kok", jawabnya meyakinkan.
"Ojo ngawur, Dul. Mosok ada nadzam tolak balak itu.?!
"Yo jelas ada. Wong buktinya aku selamet terus".
Bener juga, ya. Dia temen satu kamar. Aku tahu persis kalau dia memang ndak apal. Tapi kok selamet terus, ya..! Minimal, ya selamet dari pelototan Ma’arif lah.
"Boleh aku tahu, Dul..?!
"Eeeee… kok nggenah. Kamu boleh tahu asal aku ditraktir dulu".
"Walaah, Dul. Mosok ngono ae usah nyogok, kayak dukun aja", sanggahku dikejar penasaran.
"Kamu ini piye, tho..! Ilmu itu mahal harganya. Opo maneh ilmu selamet".
Dengan berat hati aku menyanggupi untuk makan di Warung Jiron, warung yang terbilang elit untuk kantong santri sepertiku. Sialan. Habis makan, aku kembali memburunya.
"Dul, wis mangan, lho..! Saiki opo nadzame..?
Sontak wajah Dul Kendo berubah serius. Mukanya dipasang tegang campur wibawa.
"Ngene, lho..", suaranya diwibawa-wibawakan. "Jika teman-temanmu mengucapkan Alfiyah bareng-bareng. Kalau kamu ndak hapal pasti bakal mingkem terus. Iya, tho?
"Yo, iyo..", selaku, "Lha terus nadzam tolak balaknya bagaimana?
"Kamu harus berteriak seperti orang yang hapal banget".
"Tapi aku kan ndak hapal, Dul".
"Itu masalah kecil", lanjutnya. "Kamu harus baca kalimat Wolak-walik berkali-kali sambil gelang-geleng meniru gayanya yang hapal-hapal".
"Lho…! Itu kan mbuju’i, Dul". Sergahku. Tapi si Dul menjawab mantap.
"Lha awakmu golek selamet opo pengin dedel dhowel..??!!
"Iya juga, ya".
Ha ha ha…. Bener juga Dul yang satu ini. Untuk selamet dari tanggungan, memang banyak cara yang bisa dilakukan. Tapi…. Sialan, aku ditipunya mentah-mentah. Masak makan habis dua belas ribu cuma untuk mengucap wolak-walik belaka.