Deskripsi Masalah
Seperti yang kita ketahui bahwa setiap orang yang berkendara, baik menggunakan mobil, motor, atau kendaraan lainya harus mempunyai SIM (Surat Ijin Mengemudi) sebagai bukti bahwa Ia memang legal dalam menggunakan kendaraan tersebut. SIM yang dimiliki oleh seorang pengendara, seakan menjadi bukti yang kuat bahwa dia memang tau cara mengemudi yang benar dan tertib.
Untuk mendapatkan SIM seorang pengendara harus melalui beberapa tes yang sangat ketat, sampai banyak diantara kita yang harus mengulang tes beberapa kali. Hal ini menjadi peluang bisnis dari para oknum untuk memanfaatkan jasa pembuatan SIM tanpa melalui tes bagi orang-orang yang seharusnya tidak layak berkendara agar dapat memiliki SIM, ironisnya jasa pembuatan SIM tanpa melalui tes seakan menjadi rahasia umum bahwa hal itu diperbolehkan.
Pertanyaan:
Bagaimana hukum membuat SIM?
Uraian jawaban:
Sudah bukan rahasia lagi dalam sistem perundang-undangan di Indonesia bahwa terdapat undang-undang yang mewajibkan setiap pengendara untuk memiliki SIM (Surat Ijin Mengemudi). Peraturan ini semakin diketahui secara luas oleh masyarakat umum seiring dengan rutinnya operasi dan sidak yang dilakukan oleh satuan lalu lintas kepolisian.
Dengan segala polemik yang terjadi dalam proses pembuatannya, pernahkah anda kemudian bertanya: “sebenarnya menurut kaca mata Islam, bagaimana hukum pembuatan SIM? Apakah kewajiban memiliki tersebut juga diwajibkan agar melalui serangkaian prosedur yang ditetapkan dalam aturan hukum? Lantas, bagaimana dengan oknum-oknum yang kemudian menyulitkan pelaksanaan prosedurnya guna mendapatkan sejumlah uang?
Sejatinya, memiliki SIM merupakan aturan yang diberlakukan oleh pemerintah yang kemudian wajib ditaati oleh seluruh umat muslim karena peraturan ini berdasarkan pada kemaslahatan. Selain berkewajiban untuk memiliki SIM kaum muslimin juga berkewajiban untuk mengikuti prosedur yang telah diatur oleh pemerintah.
Namun, jika dalam realitanya terdapat oknum-oknum yang mempersulit proses pembuatan SIM tersebut secara sewenang-wenang padahal seharusnya si pembuat SIM bisa lolos menurut standart uji kelayakan pengendara motor maka membayar sejumlah uang tidak dinyatakan sebagai risywah berdasar keterpaksaan yang sangat mendesak (darurat). Dalam kasus ini si pembuat SIM dikategorikan sebagai korban pemerasan. Namun tetap saja oknum yang dzalim tersebut Haram, dan berstatus sebagai tersangka pemerasan dan kewajiban oknum tersebut adalah bertaubat dan memberlakukan prosedur yang telah ditetapkan pemerintah sesuai yang telah dirumuskan.
Berikut uraian detail jawaban tersebut:
1. Wajib mematuhi aturan pemerintah dalam kepemilikan SIM
• Aturan negara yang wajib dipatuhi.
Adalah kewajiban setiap umat muslim untuk patuh kepada aturan yang diberlakukan oleh pemerintah yang sah di negara ataupun wilayahnya selama aturan itu tidak melanggar batasan-batasan yang dirumuskan Syari’at dan berdasar pada kemaslahatan umum.
Hal ini sejalan dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ( النساء: 59 )
“Wahai orang-orang yang beriman, patuhilah Allah. Dan Patuhilah Rasul dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.”
Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin juga menjelaskan lebih detail mengenai kewajiban taat terhadap pemimpin:
وتردد فيه في التحفة ، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرما لكن ظاهرا فقط ، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهرا وباطنا وإلا فظاهرا فقط أيضا ( بغية المسترشدين ص : 189 )
“Imam Nawawi condong untung menghukumi taat pada pemerintah sebagai satu kewajiban meskipun yang diperintahkan olehnya adalah satu hal yang Haram, namum wajib di sini artinya adalah wajib secara Dzahir saja. Dan jika aturan tersebut tidak diharamkan syariat maka wajib untuk mematuhinya Dzahir Bathin selama terdapat kemaslahatan.
• Konsepsi Maslahah
Perlu diketahui bersama terlebih dahulu bahwa fungsi dan peranan kartu SIM seperti yang dijelaskan dalam aturan pemerintah adalah sebagai Sarana identifikasi.
Menurut imam Izzuddin ibnu Abdissalam maslahah adalah kesenangan dan kebahagiaan yang diukur melalui kacamata Syar’I dan kultur lokal (‘adah). Hukum Syari’at menjadikan patokan utama dalam menetukan maslahah-maslahah yang kaitannya dengan kehidupan akhirat. Dan nilai budaya lokal adalah penentu maslahah yang kaitannya dengan kehidupan dunia.
فأما لذات الدنيا وأسبابها وأفراحها وآلامها وأسبابها، وغمومها وأسبابها، فمعلومة بالعادات ( قواعد الأحكام في مصالح الأنام ج : 1 ص : 10 )
“Kenikmatan, kebahagiaan, sakit dan kesusahan duniawi beserta seluruh sebab-sebabnya dapat diketahui dengan kebiasaan”
وأما لذات الآخرة وأسبابها وأفراحها وأسبابها، وآلامها وأسبابها وغمومها وأسبابها، فقد دل عليه الوعيد، والزجر والتهديد. ( قواعد الأحكام في مصالح الأنام ج : 1 ص : 10 )
“Kenikmatan, kebahagiaan, sakit dan kesusahan akhirat beserta seluruh sebabnya diketahui dengan ancaman, gertakan (dari Syari’at)”
Menurut kajian bersama yang kita lakukan, fungsi dan peranan kartu SIM yang disebutkan di atas merupakan kemaslahatan duniawi yang didasarkan pada nilai budaya lokal (‘adah). Kalaupun tidak disebut sebagai maslahah murni namun tidak salah jika menyebut fungsi dan peranan tersebut dikategorikan sebagai wasilah (asbabul farah) dari banyak kemaslahatan di belakangnya.
Selain itu, sepanjang yang kami ketahui, maslahah-maslahah tersebut belum terlihat berbenturan dengan aturan hukum Syari’at sehingga tidak tergolong pada kemaslahatan yang diharamkan. Maka dari itu, –berdasar pada apa yang diutarakah Syaikh ibn Abdissalam- fungsi dan peranan kartu SIM yang disebutkan itu adalah maslahah yang diakui dalam Syari’at Islam sehingga aturan yang diberlakukan tersebut secara otomatis juga menjadi sah dan diakui oleh Syari’at Islam sehingga wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin.
Kami percaya bahwa perumusan hukum ini telah melalui tahap-tahap yang panjang sehingga kemaslahatannya telah diuji dan dianalisa secara matang oleh banyak ahli.
2. Wajib mematuhi prosedur pembuatan SIM secara resmi
Sebelum menjalani uji kelayakan berkendara, warga negara yang ingin memiliki kartu SIM wajib memiliki beberapa surat keterangan (seperti fotokopi KTP, KK, serta surat keterangan sehat jasmani dan rohani). Setelah semua persyaratan administrasi terpenuhi barulah ia menjalani dua tes. Pertama tes teori yang menguji kemampuan seorang pengemudi dalam memahami aturan-aturan yang berada di jalan dan yang kedua adalah tes praktek yang menguji kemampuan mengemudi seseorang dalam mengendarai kendaraan bermotor. Jika dinyatakan lulus, maka ia tinggal menunggu proses pembuatan kartu SIM dan bisa mengambilnya kembali jika sudah selesai. Demikian rangkuman prosedur yang ditetapkan agar seseorang bisa secara legal memiliki kartu SIM.
Serangkaian prosedur yang dirangkum di atas juga merupakan kemaslahatan duniawi yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan ukhrawi. Maka dapat dijadikan acuan hukum dan wajib dipatuhi oleh kaum muslimin.
• Larangan untuk ‘menerobos’ proses legal.
Adapun strategi “orang dalam” ataupun suap yang kabarnya kerap dilakukan beberapa kalangan demi mempermudah mendapatkan SIM dikategorikan sebagai suap yang diharamkan dalam Syari’at Islam. Tindakan ini tentu sangat ditentang oleh Syari’at Islam yang sangat menjunjung tinggi kejujuran. Selain pihak masyarakat yang mendapatkan hukum haram karena melakukan penyuapan dengan alasan demikian, aparat yang menerimanya juga berdosa karena telah dengan sadar menerima suap.
Nabi berfirman:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ (رواه احمد و الترمذي)
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam masalah hukum. (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Menanggapi jika terdapat oknum yang melanggar aturan.
Kami menyayangkan apabila terdapat oknum-oknum yang bermain dibelakang peraturan ini dengan tidak menjalankan prosedur yang telah dirumuskan. Jika memang hal tersebut terjadi maka banyak keharaman yang diterjang dalam permaslahan tersebut.
Perlu diketahui bahwa dalam istilah fiqh aparat yang bertugas dalam proses pembuatan SIM ini berstatus sebagai wazir tanfidz.
وزارة التنفيذ(4 ) : هي أقل مرتبة من وزارة التفويض؛ لأن الوزير فيها ينفذ رأي الإمام وتدبيره، وهو وسط بينه وبين الرعايا والولاة، يؤدي عنه أوامره ( الفقه الإسلامي وأدلته ج : 8 ص 341 )
“Aparat pelaksana: memeiliki wewenang lebih rendah dari pada aparat legislatif karena tugas mereka adalah merealisasikan perintah dan aturan Imam. Dia adalah perantara antara rakyat dengan para pemimpinnya. Mereka melaksanakan perintah imam atasnama imam”
Dan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi seorang wazir tanfidz adalah amanah. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Wahbah Zuhaili dalam penjelasan lanjutannya.
شروطه: الشروط المطلوبة في وزير التنفيذ سبعة فقط تتعلق بالأخلاق الفاضلة والتجربة السياسية: 1 – الأمانة: حتى لا يخون فيما قد اؤتمن عليه، ولا يغش فيما استنصح فيه. ( الفقه الإسلامي وأدلته ج : 8 ص : 342 )
“Syarat wajir tanfidzi ada tujuh dan kesemuanya bergantung karakter baik serta kecakapan siasata mereka: syarat pertama adalah amanah agar di kemudian hari ia tidak melakukan penghianatan atas apa yang diamanahkan, dan tidak memanipulasi apa yang diarahkan”
Maka sangat disayangkan apabila benar terdapat oknum jahat dalam lingkup petugas pembuat SIM yang secara melanggar hukum menjadikan proses ini sebagai ajang memeras orang lain. Jelas tindakan ini merupakan sebuah pengkhianatan terhadap amanah negara.
Dalam kondisi yang terdesak seperti ini, maka seorang muslim dengan kualitas berkendara baik yang sejatinya layak dan pantas untuk mendapatkan SIM menurut standarisasi yang berlaku, namun dipersulit oleh oknum-oknum di dalamnya boleh menyerahkan sejumlah uang. Namun sang aparat tetap haram untuk menerimanya.
Dan kewajiban yang harus dilakukannya adalah bertaubat dan kembali menjalankan prosedur sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa melakukan pemungutan-pemungutan liar yang sangat dilarang baik oleh syariat maupun oleh aturan negara.
ما حرم أخذه حرم إعطاؤه كالربا ومهر البغي وحلوان الكاهن والرشوة وأجرة النائحة والزامر ويستثنى صور منها الرشوة للحاكم ليصل إلى حقه وفك الأسير (الأشباه والنظائر ص : 150 )
“Sesuatu yang haram diambil haram untuk diberikan seperti riba, mahar pemberontak, sesajen dukun, suap, upah pemain musik. Namun beberapa permasalahan menjadi pengecualian, diantaranya: suap kepada hakim untuk mendapatkan haknya atau untuk menyelamatkan tawanan”.
Dalam ranah madzhab hambali juga demikian. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab “al-Iqna’:
ويحرم قبول رشوة – وهي ما يعطى بعد طلبه – ويحرم بذلها من الراشي ليحكم بباطل أو يدفع عنه حقا وإن رشاه ليدفع ظلمه ويجريه على واجبه فلا باس به في حقه (الإقناع في فقه الإمام أحمد بن حنبل ج : 4 ص : 380 )
“Haram menerima suap (yang diberikan setelah diminta) serta haram pula menyerahkannya jika dengan tujuan agar melahirkan keputusan yang bathil atau menolah yang haq. Apabila suap tersebut ditujukan untuk menolak kedzaliman atau menjalankan kewajiban maka hukum memberinya tidaklah berdosa”
Semoga bermanfaat, amin.
HASIL BIM (Badan Intelektual Muhadloroh) III Muhadloroh PP. Al-Anwar