Deskripsi Soal:
Aksi pembegalan yang menewaskan warga Jember, Jawa Timur, berinisial R, membuat geger warga. Bagaimana tidak, R tewas di tangan para pelaku begal dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Bahkan Ususnya sampai terburai!
Akibat dari peristiwa inilah, Kapolres Lumajang, AKBP Arsal Shahban yang wilayahnya berdekatan dengan Jember, akhirnya mengambil tindakan tegas. Dirinya meminta personelnya untuk menembak mati para begal. Dalam kirimannya yang ia bagikan melalui sosial media Facebook, dirinya juga memperbolehkan warga untuk mengambil tindakan untuk menumpas para pelaku begal yang keji ini.
Lebih lanjut, Arsal mengungkapkan bahwa dirinya telah memerintahkan personelnya untuk segera menangkap pelakunya dengan segera. Bahkan jika perlu, tembak di tempat para pelaku begal. Tidak hanya sampai di situ, Arsal juga menyampaikan menghalalkan darah para pelaku begal. Masyarakat diminta jangan ragu atau takut dengan mereka. Arsal menghimbau masyarakat untuk tidak membeli kendaraan yang tidak memiliki kelengkapan surat-surat. Sebab, hal itu bisa menyuburkan aksi pembegalan.
Perintah tegas dari sang Kapolres mendapat banyak tanggapan positif dari para warganet. Banyak di antara mereka yang merasa bahwa masalah begal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab kepolisian saja, melainkan juga menjadi tanggung jawab masyarakat.
Dengan perintah tegas tersebut, semoga bisa terjadi kerja sama yang bersinergi antara pihak kepolisian dan masyarakat dalam membasmi kejahatan begal. Sehingga, masyarakat pun merasa nyaman dan aman lantaran tidak ada aksi pembegalan ke depannya.
Sumber : (https://id.opr.news Sep 23, 2019 2:50)
Pertanyaan :
Bagaimana pandangan syari’at tentang masalah di atas?
▪︎ Uraian Jawaban
Sebelum kita mengkaji pernyataan yang dipublikasikan oleh bapak AKBP DR. M. Arsyal Syahban, SH, SIK, MM, MH, selaku kapolres Kabupaten Lumajang, penting kiranya mengupas terlebih dahulu mengenai siapa begal menurut Syari’at? Bagaimana sanksi yang ditetapkan oleh syari’at kepada begal? Serta bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi fenomena tindakan kriminal yang satu ini.
Begal secara harfiyah adalah perampasan di jalanan. Melalui definisi dasar tersebut serta berdasar fakta-fakta yang dikaji maka dapat difahami bahwa tindakan utama yang ingin dilakukan oleh begal adalah perampasan terhadap harta seseorang. Dalam beberapa kasus, perampasan ini kemudian “menuntut” begal melakukan tindak kriminal lain guna melancarkan niatnya mulai dari melukai hingga membunuh korban dengan sadis.
Mengenai hukum tindakan begal, tentu tidak ada alasan untuk memperbolehkannya. Tindakan begal sangat bertentangan dengan sendi-sendi utama dalam Islam yang mengedepankan kenyamanan dan kemaslahatan bersama.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ [النساء: 29]
Artinya: “hai orang-orang yang beriman janganlah engkau saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil,kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antara kamu.”
Baginda Nabi ﷺ bersabda:
أَلَا إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا
Artinya: “ingatlah! Allah memuliakan atas kalian darah dan harta kalian sebagaimana Allah memuliakan hari kalian ini (hari Arafah), di tanah kalian ini (tanah Mekkah), di bulan kalian ini (Bulan dzul Hijjah)”
▪︎ Status dan aturan sanksi untuk begal
Jika dirunut dalam kajian-kajian fiqhiyah, maka begal bisa dikategorikan dalam dua status kriminal. Pertama adalah Shoil dimana dalam aksinya begal kerap melakukan penyerangan baik pada fisiik korban maupun hartanya. Kedua adalah Qothi’ut Thariq dimana begal yang sering melakukan aksinya di jalanan ini kerap mengganggu kenyamanan pengguna jalan baik dengan meresahkkan, merampas harta hingga –yang paling parah– melakukan tindak pembunuhan.
Kedua status kriminal tersebut memiliki aturan dan konsekuensi hukumya masing-masing. Pelaku tindakan begal disebut Shoil ketika ia sedang melakukan aksinya. Dan konsekuensi dari status tersebut adalah mekanisme daf’us shoil (bisa disebut dengan bela diri). Apabila pelaku begal telah selesai melancarkan aksinya, maka sanksi yang boleh ditempuh adalah sanksi qothi’ut thariq yang kewajiban dan wewenangnya berada ditangan Imam beserta instrumen dalam pemerintahannya.
Berikut kami kutip secara singkat mengenai ketentuan sanksi dan siapa yang berwenang melakukan pananganan terhadap shoil dan qothi’ut thariq.
1. Shoil
Ketika begal melakukan tindakan penyeranga kepada seorang muslim, maka ketika itu ia berstatus sebagai shoil. Sebagai bentuk bela diri kita boleh melakukan tindakan antisipatif meski pada akhirnya terpaksa harus membunuh si begal.
Baginda Nabi ﷺ bersabda:
عن أبى هريرة قال جاء رجل إلى رسول الله ﷺ فقال يا رسول الله ! أرأيت إن جاء يريد أخذ مالى ؟ قال ﷺ : (فلا تعطه مالك) قال أرأيت إن قتلني ؟ قال ﷺ: (فأنت شهيد) قال أرأت إن قتلته ؟ قال ﷺ:(هو في النار)
الديباج على المسلم لجلال الدين السيوطي (1/ 154)
Artinya: Diriwayatkan oleh Abi Hurairah Ra bahwa seorang laki-laki datang kepada baginda Nabi ﷺ dan bertanya: “ya Rasulullah! Bagaimana pendapat anda jika seseorang datang hendak merampas hartaku?”. Baginda Nabi ﷺ menjawab: “jangan berikan hartamu!”. Sang pemuda balik bertanya: “lalu bagaimana jika ia sampai membunuhku?”. Baginda Nabi ﷺ menjawab: “berarti engkau telah mati syahid”. Kembali pemuda itu bertanya: “lalu bagaimana jika aku (malah) membunuhnya?”. Nabi ﷺ menjawab: “ia akan masuk neraka”.
Seseorang yang melihat muslim lain sedang diserang juga berkewajiban untuk membantu menyelamatkan. Karena menjaga nyawa orang lain sama wajibnya dengan menjaga nyawa diri sendiri. Maka jika nyawa orang lain sedang terancam oleh kejahatan begal, haram hukumnya bagi warga yang menyaksikan untuk diam saja dan membiarkan saudara seimannya berada dalam kondisi terancam.
Baginda Nabi ﷺ besabda:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ أُذِلَّ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ فَلَمْ يَنْصُرْهُ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَنْصُرَهُ أَذَلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مسند أحمد (25/ 361)
Artinya: “Diriwayat oleh Abi Umamah bin Sahl bin Hunaif dari ayahnya bahwa bagin Nabi ﷺ bersabda: “barang siapa yang melihat seorang mukmin dihinakan kemudian ia tidak menolongnya padahal sebenarnya ia mampu untuk menolong maka Allah akan menghinakannya pula di hadapan seluruh makhluk kelak di hari kiamat.”
Namun, catatan besar yang perlu kami ingatkan adalah bahwa Shoil tetaplah seorang manusia yang juga tidak diperkenankan untuk didzalimi tanpa legalitas Syari’at. Memandang bahwa prinsip yang menjadi dasar Daf’us Shoil adalah al-akhaf fal akhaf (mendahulukan penanganan yang paling ringan), maka sangat disayangkan jika terjadi pengamukan massa secara anarkis padahal kejahatan begal telah teratasi dan pelaku begal sudah tidak berdaya. Membunuh shoil hanya bisa dilakukan jika membunuh merupakan satu-satunya jalan untuk menghentikan kejhatannya.
Salah satu Ulama’ yang memberi penjelasan demikian adalah imam al-Syarbini dalam karya monumentalnya; al-Iqna’ :
ويدفع الصائل بالأخف فالأخف فإن أمكن دفعه بكلام أو استغاثة حرم الدفع بالضرب أو بضرب بيد حرم بسوط أو بسوط حرم بعصا أو بعصا حرم بقطع عضو أو بقطع عضو حرم قتل لأن ذلك جوّز للضرورة، ولا ضرورة في الأثقل مع إمكان تحصيل المقصود بالأسهل وفائدة هذا الترتيب أنه متى خالف وعدل إلى رتبة مع إمكان الاكتفاء بما دونها ضمن الإقناع للشربيني (2/ 545)
Seseorang yang melakukan penyerangan dicegah dengan cara yang paling ringan kemudian yang lebih ringan. Jika penanganannya cukup dengan ucapan atau meminta bantuan, maka haram hukumnya untuk memukul. Atau (jika sudah cukup) dengan pukulan tangan kosong, maka haram hukumnya memukul menggunakan tongkat.
Jika sudah cukup dengan memukul menggunakan tongkat maka haram memotong anggota tubuhnya. Begitu juga jika tindakan shoil sudah teratasi dengan melukainya maka haram membunuhnya. Hal ini dikarenakan praktek-praktek di atas diperbolehkan berdasar darurat dan tidak ada kata darurat dalam melakukan tidakan yang parah padahal tujuan bisa tercapai dengan cara yang lebih ringan. Konsekuensinya, jika seseorang melakukan tindakan tidak sesuai runtutan tersebut, ia harus bertanggung jawab (diproses secara hukum).
2. Qoti’ut Thariq
Begal distatuskan sebagai Qathi’ut Thariq ketika sedang atau sudah melakukan aksinya. Maka orang yang pernah melakukan tindak kejahatan begal wajib diproses hukum untuk diberi hukuman yang setimpal atas kejahatan yang telah ia lakukan.
Sanksi yang ditetapkan oleh Syari’at kepada begal juga beragam tergantung kejahatan apa yang pernah ia lakukan. Begal yang hanya meresahkan masyarakat berbeda dengan begal yang pernah merampas harta. Begitu juga begal yang pernah merampas harta berbeda hukumannya dengan begal yang sampai membunuh korbannya.
Sanksi yang diberlakukan kepada Qathi’ut Thariq dijelaskan dalam al-Qur’an:
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ [المائدة: 33]
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negri (tempat kediamannya).
Secara lebih mendetail dijabarkan oleh imam al-Malibari dalam kitabnya yang masyhur dikalangan pesantren: Fath al-Mu’in
لو علم الامام قوما يخيفون الطريق ولم يأخذوا مالا ولا قتلوا نفسا عزرهم وجوبا بحبس وغيره وإن أخذ القاطع المال ولم يقتل قطعت يده اليمنى ورجله اليسرى، فإن عاد فرجله اليمنى ويده اليسرى، وإن قتل قتل حتما – وإن عفا مستحق القود – وإن قتل وأخذ نصابا قتل ثم صلب بعد غسله وتكفينه والصلاة عليه ثلاثة أيام حتما ثم ينزل فتح المعين المليباري (4/ 186)
Artinya: jika imam mengetahui bahwa terdapat kelompok yang meresahkan masyarakat tanpa merampas harta ataupun membunuh nyawa, maka wajib untuk ditindak (sesuai kebijakan) baik dengan menahan atau cara lain. Jika mereka sampai menjarah harta tanpa membunuh maka (wajib) dipotong tangan kanan dan kaki kirinya. Jika masih mengulanginya, maka dipotong tangan kiri dan kaki kanannya. Apabila mereka sampai membunuh korbannya maka ia juga wajib dihukum mati (meskipun telah mendapat ampunan dari ahliwaris korban). Apabila mereka membunuh sekaligus menjarah harta maka ia dihukum mati kemudian disalib selama tiga hari (dalam keadaan mati) setelah dimandikan, dikafani dan disholati, lalu diturunkan.
Catatan dari konsep sanksi terhadap Qhoti’ut Thoriq adalah bahwa wewenang pelaksana eksekusi berada ditangan imam (dalam hal ini presiden) atau orang yang diberi mandat untuk merealisasikannya (dalam hal ini pihak kepolisian). Maka tidak dibenarkan jika warga secara pribadi merealisasikan sanksi tersebut memandang kekacauan yang bisa saja ditimbulkan setelahnya. Namun warga juga berkewajiban membantu kepolisian dalam melaksanakan tugas seperti meembantu menangkap atau memberi informasi yang akan membantu penanganan.
▪︎ Status Pak kapolres
Pertama-tama, kami mengapresisasi itikad baik dari bapak kapolres AKBP DR. M. Arsyal Syahban, SH, SIK, MM, MH, dalam usahanya meminimalisir keresahan di tengah masyarakat dengan mengeluarkan pernyataan tegas untuk membasmi kejahatan begal yang sangat mengganggu kenyamanan masyarakat. Bapak kapolres, melalui pernyataannya ini, telah menunaikan tugasnya sebagai badan pemerintahan yang bertugas menjamin keamanan masyarakat. Dalam dunia pesantren, kewajiban ini sering disebut dengan hifdzul aman sebagaimana telah disebutkan oleh Syaikh Wahbah Zauhailiy dalam Fiqh Islaminya.
Kami selalu percaya bahwa pernyataan ini tidak dibuat secara serampangan tanpa mempertimbangkan apapun. Kami percaya, berdasar rekam jejak yang beliau tempuh serta pengalaman lapangan beliau hingga menjadi kapolres, pertimbangan yang beliau lakukan pasti sangatlah matang dibanding kami yang hanya meneliti melalui ruang literasi.
Pernyataan beliau bahwa “PELAKU BEGAL SAYA HALALKAN DARAHNYA, SILAHKAN BAGI MASYARAKAT UNTUK MENUMPAS” menimbulkan beberapa potensi penafsiran.
Berikut kami jabarkan kajiannya:
Jika seruan penghalalan darah oleh Bapak Kapolres ini ditafsiri sebagai mandat kepada Katim Cobra selaku pelaksana, maka penafsiran tersebut dapat dibenarkan. Kami masih percaya bahwa jika penanganan dilakukan oleh pihak kepolisian, beliau-beliau akan tetap patuh pada prosedur-prosedur penangnan tindak pidana yang telah ditetapkan oleh negara.
Jika kalimat tersebut ditafsiri agar masyarakat “menumpas” melalui tahap-tahap yang telah diakui negara seperti menangkap dan melaporkan sindikat begal tanpa melakukan penghakiman secara sepihak, maka tentu penafsiran ini sangat bisa dibenarkan. Sebagaikmana yang telah kami uraikan di depan.
Jika kata “menumpas” yang dipublikasikan oleh bapak kapolres ditafsiri bahwa masyarakat dapat membunuh begal ketika suasana genting sehingga pembunuhan sudah menjadi satu-satunya cara menghentikan begal saat beraksi (bukannya diamuk massa saat begal sudah tak berdaya), maka penafsiran tersebut juga dapat dibenarkan. Karena hal tersebut tentu sesuai dengan aturan penanganan shoil sebagaimana dijelaskan. Dimana penanganan shoil dengan cara pembunuhan bisa dibenarkan jika betul-betul sudah menjadi satu-satunya cara untuk menghentikan.
Namun, jika “menumpas” di sini diartikan menghalalkan segala cara untuk menghakimi begal secara sepihak padahal si pelaku begal tidak sedang melakukan aksinya (tidak lagi berstatus shoil) atau sudah tak berdaya maka (menurut hemat kami) penafsiran tersebut tidaklah tepat menurut kaca mata syari’at.
Penafsiran yang demikian akan menyebabkan masyarakat melakukan penyiksaan secara sepihak tanpa legalitas dari Syari’at. Semisal, masyarakat bisa saja menghakimi begal hingga membunuhnya atas dasar emosi, padahal tindakan begal masih bisa teratasi dengan cara yang lebih manusiawi. Jika begitu jadinya, maka apa bedanya kita dengan begal itu sendiri?
▪︎ Saran
Saran kami, tanpa bermaksud menggurui siapapun, pernyataan beliau janganlah ditafsiri bahwa pihak kepolisisan menghalalkan segala cara bagi masyarakat dalam menyikapi fenomena begal. Bagaimanapun juga, pelaku begal adalah bagian dari bangsa Indonesia yang lebih membutuhkan pembinaan ketimbang pembinasaan. Masyarakat tetaplah harus mengedepankan prinsip al-akhaf fal akhaf (penanganan paling ringan yang memungkinkan) yang menjadi aturan baku daf’us shoil.
Apabila dalam beberapa kasus, saat begal melakukan kejahatannya, masyarakat berada dalam kondisi mendesak sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus membunuhnya, maka pembunuhan terhadap pelaku begal bisa dibenarkan. Namun, sekali lagi, masyarakat tetaplah harus berusaha bijak dengan sebisa mungkin melakukan penangan yang lebih manusiawi sebagaimana telah diuraikan dalam tahap-tahap daf’us shoil.
Kepolisian, sebagai pelaksana tugas negara urusan keamanan, sebagaimana aturan Daf’us Shoil beserta Qothi’ut Thoriq, berwenang untuk melaksanakan penanganan terhadap tindak pidana begal hingga tahap pembunuhan. Namun pembunuhan dari kepolisian juga harus merupakan solusi terakhir dan sesuai prosedur yang diijinkan oleh aturan kepolisian yang belaku.
Selesai. Semoga bermanfaat.
Kajian Ilmiah
Hasil BIM (Badan Intelektual Muhadloroh) PP. Al-Anwar.