Jika manusia ingin berkembang ilmunya, maka dia harus mau belajar dan membaca. Kemudian untuk mengetahui kualitas keilmuannya, dirinya harus mau diuji. Karena dengan ujian atau ikhitibar dapat menjadikan seseorang lebih spesifik dalam memahami suatu kajian ilmiah dalam bidang tertentu. Dengan ikhtibar seseorang bisa mengetahui seberapa besarkah kemampuan yang dia miliki. Sehingga, dari hasil ujiannya ini dia dapat berkaca. Jika baik akan berusaha menambah kebaikannya. Jika hasilnya buruk, maka akan berusaha untuk membenahinya.
Tentang permasalahan ikhtibar atau ujian ini telah dicontohkan oleh Nabi Khidhir kepada Nabi Musa. Waktu itu, Nabi Musa ditanya oleh kaum Bani Israil tentang siapa yang lebih alim? Nabi Musa menjawab bahwa dirinyalah yang paling alim. Namun, jawaban Nabi Musa atas klaim untuk dirinya ini mendapat teguran dari Allah. Allah berfirman kepadanya bahwa Dia mempunyai hamba yang lebih alim dari pada Nabi Musa. Yaitu, Nabi Khidhir. Sehingga, hal ini mengharuskan Nabi Musa untuk berguru kepadanya.
Dalam berguru kepada Nabi Khidhir, Nabi Musa diberi suatu syarat yang harus dipenuhinya. Yaitu, Nabi Musa tidak boleh berkomentar terhadap tindakan yang dilakukan oleh Nabi Khidhir di saat Nabi Musa menyertainya. Ternyata, Nabi Musa gagal dalam memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh Nabi Khidhir. Hal ini sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah yang artinya.
"Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". Khidhir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan Adapun anak muda itu, Maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (QS. Al-kahfi : 65-82).
Nabi Musa gagal dalam memenuhi syarat yang telah diinginkan oleh Nabi Khidhir meskipun dalam zahirnya Nabi Musa kelihatan lebih mulia dari pada Nabi Khidhir. Memang begitulah Allah. Terkadang menciptakan seseorang yang dilihat secara zahirnya dia itu tidak muia. Namun, secara batinnya dia adalah orang yang mulia. Maka dari itu, hendaknya seseorang janganlah sombong dengan sesuatu yang dia miliki. Sehingga, dirinya merasa paling baik.
Salah satu pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidhir ini adalah pentingnya seseorang mempunyai dua ilmu. Yaitu, ilmu Syariat dan ilmu Hakikat. Ilmu syarIat sebagaimana yang telah diajarkan dan dibawa oleh Nabi Musa. Sedangkan ilmu Hakikat sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Khidhir.
Ilmu Hakikat ini cahayanya langsung dari Allah. Jika kedua ilmu ini kumpul, maka inilah yang disebut dengan Majmaal Bahrain, tempat berkumpulnya dua lautan. Yaitu, lautan Syariat dan lautan Hakikat.
Masalah ikhtibar juga pernah dicontohkan oleh Imam as-Syafii ketika berguru dengan Imam Waki’. Kalau dilihat secara nasab, Imam Syafii itu lebih mulia bila dibandingkan dengan Imam Waki’. Imam Syafii masih keturunan bangsa Quraisy yang merupakan suatu kebilah yang paling mulia. Sedangkan Imam Waki’ hanyalah orang Ajam. Akan tetapi, mengapa Imam Syafii mau mengadukan hikayahnya kepada Imam Waki’ padahal dirinya mempunyai guru utama. Yaitu, Imam Malik. Imam Syafii berkata dalam Syairnya:
شكوت الى وكيع سوء حفظ # فارشدنى الى ترك المعاصى
فأخبرنى بـأن العلـم نـــــور # ونور الله لايعطى لعــاصى
Aku mengadukan masalah buruknya hafalanku kepada Imam Waki’. Beliau memberikan aku sebuah petunjuk supaya aku meninggalkan maksiat.
Imam Waki’ juga memberitahu kalau ilmu adalah sebuah cahaya. Dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.
Tentang keinginan Imam Syafii berguru dengan Imam Waki’ ini telah mendapatkan komplain oleh keluarganya. Mengapa Imam Syafii yang masih berdarah Quraisy mau berguru dengan orang yang bukan Quraisy? Akhirnya, terjawablah kemusykilan keluarga Imam Syafii ketika dirinya beradu ilmu dengan Imam Waki’ dalam masalah ilmu Gramatika Arab. Imam Syafii mengetahui Arab berdasarkan Habitatul Arab (lingkungan Arab). Sedangkan Imam Waki’ mengerti bahasa Arab itu berdasarkan kedalaman ilmunya mengenai ilmu Gramatika Arab. Ketika melihat kehebatan Imam Waki’ ini, keluarga Imam Syafii sudah tidak isykal lagi.
Dari ceritanya Imam Syafii dengan Imam Waki’ ini dapat diambil menjadi sebuah pelajaran bahwa yang diutamakan dalam berguru adalah ke-alim-an, bukan masalah nasab atau derajat yang lainnya. Buanglah kesombongan kita ketika hendak belajar menuntut ilmu agama. Jangan lihat dengan siapa engkau berguru. Apakah dengan orang yang derajatnya mulia atau tidak? Yang terpenting adalah ilmu yang telah disampaikan oleh seorang guru tadi. Ingatlah, meskipun bahasa Arab itu adalah milik orang Arab, akan tetapi orang yang mengarangnya bukanlah orang Arab. Karangan ilmu nahwu datangnya dari Imam Sibaweh yang bukan orang Arab.
Kealiman seseorang dijadikan sebagai pondasi utama. Inilah yang mengantarkan kita untuk lebih mengenal Allah dan mendekati-Nya. Jangan lihat apakah dia itu tamatan dari Makkah atau Yaman.
Ketika Imam Ghazali berada di daerah Tuz (suatu kawasan yang masuk daerah Uzbekistan), beliau mengarang kitab yang terakhir dalam masa hayatnya. Yaitu, kitab Minhajul Abidin. Kitab ini disyarahi oleh Mbah Ihsan Jampes dengan nama kitab Sirajut Thalibin. Mbah Ihsan ini bukanlah orang Arab. Namun, dirinya dapat mensyarahi kitab yang berliteratur Arab. Padahal untuk berbicara bahasa Arab saja, Mbah Ihsan tidak bisa. Hal ini sebagaimana yang telah disaksikan oleh Syaikhina Maimoen Zubair ketika masih kecil yang pernah diajak oleh Kiai Zubair untuk sowan kepada Mbah Ihsan. Inilah bukti kedalaman Mbah Ihsan dalam masalah ilmu agamanya.
Sarang, 11 Januari 2013.
Catatan: Artikel ini disarikan dari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair pada saat ada acara persiapan Ikhtibar I Muhadloroh PP. Al-Anwar tahun ajaran 1434.