"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik" (Qs. Ali Imran: 110).

Prolog

Dalam perjalanan hidup di dunia, segala bentuk perubahan yang terjadi adalah sesuatu yang niscaya. Keniscayaan inilah yang menyadarkan manusia akan arti penting kehidupan dengan segala prosesnya. Namun hal ini tidak menafikan adanya perbedaan yang terjadi diantara mereka dalam menyikapinya.

Bagi mereka yang menyikapinya dengan positif, arti penting dari kehidupan ini akan terwujud pada progresifitas (baca: kemajuan) diri dan lingkungan yang mengitarinya. Dan akan terjadi hal yang sebaliknya jika mereka menyikapi arti penting hidup ini dengan negatif. Sebagai contoh, bagi sebagian masyarakat yang hidup di pedalaman hutan Irian Jaya ataupun Arizona, sampai sekarang mereka tidak mengalami progresifitas diri dan lingkungan yang mengitarinya. Terbukti dari tata cara mereka berpakaian, makan, dan bertempat tinggal masih sangat mengenaskan. Hal ini karena mereka tidak mempunyai sikap positif terhadap arti pentingnya kehidupan.

Sebenarnya standard progresifitas itu sendiri bersifat nisbi (baca: relatif), hal ini dikarenakan adanya penilaian dengan menggunakan sudut pandang yang bertumpu pada dua bentang ruang waktu yang berbeda, yakni waktu sebelum dan sesudah. Dalam arti, kehidupan pada tahun 80an bisa dikatakan lebih progresif bagi sebagian masyarakat metropolis dibanding dengan kehidupan pada era 70an. Dan jika dilihat pada era 90an, maka kehidupan pada era 80 dinilai tidak begitu progresif, begitu juga seterusnya.

Dari sini, Progresifitas adalah produk dari interaksi manusia dengan bentang ruang dan waktu, dan progresifitas itu sendiri menemukan relevansinya pada abad 18 seiring munculnya aliran filsafat enlightenment (Falsafatut Tanwiir) yang mampu menggerakkan revolusi di perancis(1). Setelah melewati abad 20, progresifitas dengan segala dampaknya terhadap masa depan hidup manusia dalam merealisasikan kemajuan materiil berkat revolusi teknologi telekomunikasi dan informasi, telah berubah menjadi sebuah ideologi yang menyisakan dilemma dalam bangunan progresifitas itu sendiri. Bagaimana tidak menyisakan dilemma, standard progresifitas yang bersifat nisbi akan berdampak pada kenisbian nilai-nilai yang ditimbulkan oleh progresifitas tersebut, dan tidak serta-merta nilai-nilai itu selamanya bersifat positif atau negatif.Kemudian untuk mengatasi dilemma tersebut diperlukan pendekatan normatif-doktriner Agama (baca: Islam). Kemudian Agama (baca: Islam) kembali menemukan urgensinya dalam kehidupan manusia di muka bumi, betapa Agama mempunyai peran dalam menyikapi nilai-nilai yang ditimbulkan oleh progresifitas tersebut.

Namun perlu diketahui juga bahwa agama tidak mampu berdiri sendiri tanpa ada sosok yang bisa mengaktualisasikannya. Nah, di sinilah kemudian sosok ulama dan santri sangatlah mempunyai peran tersebut. Keberhasilan sosok ulama dan santri dalam mengaktualisasikan Agamanya akan dapat menyeleksi nilai-nilai progresifitas mana yang sekiranya bisa diambil atau ditinggalkan. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan terwujudnya akulturasi nilai-nilai normatif dan nilai-nilai progresifitas tersebut. Progresifitas dalam bidang keilmuan dan kedokteran -misalnya-, seiring ditemukannya unsur genetika yang sering dikenal dengan DNA, mempunyai nilai-nilai yang bisa berakulturasi dengan nilai-nilai normatif Agama, ini menjadi sangat afirmatif dengan bukti bahwa DNA bisa dijadikan sebagai alat bukti otentik dalam menetapkan kasus kejahatan dan kriminal(2).

Definisi Moderen

Dalam ensiklopedi wikipedia dituliskan bahwa: "Modern is something that is up-to-date, new, or from the present time. The term was invented in the early 16th century to describe recent trends. The Early Modern Times lasted from the end of the 15th century to the end of the 18th century, circa 1450 to 1750. Modern Times are the period from Enlightenment and the 18th century until today". (Modern adalah segala sesuatu yang baru atau terkini. Istilah modern telah ditemukan pada awal abad 16 untuk menggambarkan tren terkini pada masa itu. Masa awal moderen berlangsung pada akhir abad 15 sampai akhir abad 18, yakni berkisar antara tahun 1450 sampai 1750. Masa moderen yang berikutnya adalah mulai akhir abad 18 sampai sekarang).? 

Dari definisi yang ada, istilah moderen memang berangkat dari pembedaan periode yang satu dengan periode yang lain setelahnya, tanpa dijelaskan itu lebih baik dalam sisi material dan immaterialnya atau tidak, dan menurut hemat penulis pendefinisian istilah tersebut adalah khas eropa.Kemudian istilah moderen sendiri mengalami perluasan dan penyempitan makna seiring dengan perkembangan zaman.

BACA JUGA :  Hukum Mengucapkan “Selamat Natal”

Dalam perluasan maknanya, moderen diartikan sebagai segala sesuatu yang lebih baik, lebih baru dan lebih canggih. Namun sayangnya makna luas yang demikian , kembali dipersempit dengan diartikan sebagai segala sesuatu yang berbau barat, entah itu baik atau tidak (western oriented). Jika dianalisa, penyempitan makna yang sedemikian rupa lebih disebabkan dominasi budaya barat terhadap dunia timur, dan barang kali orang-orang timur tidak sadar kalo mereka ‘terjajah’ oleh budaya barat.

Dari sini, kiranya penulis merasa perlu untuk mengembalikan istilah moderen ke definisi yang lebih luas, dengan melihat produk-produk teknologi masa kini. Produk-produk teknologi yang ada pada zaman sekarang ini, memiliki sifat-sifat sbb:

1.Lebih baik; ini berarti bahwa produk sekarang lebih baik dari pada produk produk sebelunya.

2.Lebih hemat energi dan lebih canggih.

3.Mempunyai orientasi jangka panjang, ini berarti bahwa produk-produk sekarang mempunyai daya tahan lama dalam pemakaiannya.

4.Menghargai waktu, yakni produk-produk sekarang bisa mempercepat proses kinerja dan aktifitas penggunanya.

5.User friendly, yakni mudah digunakan.

6.Multi guna, yakni bisa digunakan untuk beberapa fungsi.

7.Mandiri, yakni dalam penggunaannya tanpa banyak bergantung pada piranti lain, seperti handphone yang digunakan tanpa bergantung pada kabel.

Dengan melihat sifat-sifat produk masa kini, maka penulis lebih setuju jika moderen didefinisikan sebagai sesuatu yang baru, lebih baik, bermanfaat dan selaras dengan hajat hidup manusia. Dari sini menurut hemat penulis, moderen adalah merupakan nilai-nilai positif dari progresifitas yang ada.Setelah kita tahu arti moderen yang sedemikian rupa, lalu peran apa yang bisa kita bawa dalam modernitas itu sendiri?

Islam dan Modernitas

Dari definisi penulis, bisa diketahui bahwa islam tidak pernah anti terhadap modernitas. Segala sesuatu yang baru, lebih baik, bermanfaat dan selaras dengan hajat hidup manusia adalah mencerminkan nilai-nilai positif dari perkembangan dan kemajuan hidup yang dialami oleh manusia.

Dalam kaitannya dengan hal ini, nabi pernah bersabda "Sesungguhnya dalam setiap awal seratus tahun, Allah mengutus orang-orang yang memperbaharui semangat keagamaan umat Islam" (Hr. Abu dawud & Baihaqi).

Jika ditelaah lebih lanjut, hadis ini memberikan spirit kepada umat islam agar supaya selalu memperbarui semangat keagamaan mereka seiring dengan perkembangan zaman, sehingga dengan semangat baru itu mereka bisa semakin memberikan kebaikan, kemanfaatan dan keselarasan hajat hidup manusia.

Kemudian, jika Islam telah mengajarkan hal-hal yang sedemikian rupa, lalu bagaimana umat islam menindak lanjutinya ? ini semua merupakan tantangan bagi para santri untuk bisa menindak lanjuti ajaran-ajaran tersebut. Oleh karena itu, peran yang harus kita bawa dalam modrenitas adalah sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh sifat-sifat dari produk-produk masa kini.Yakni, umat Islam terutama para santri harus memiliki sifat-sifat seperti yang penulis sebutkan di atas.

Pertama: Santri harus bisa lebih baik dari orang lain (yang bukan santri).

Kedua: Santri harus bisa hemat dalam menggunakan fasilitas dan membelanjakan harta, tidak memubazirkan dan membuang-buang fasilitas dan harta yang ada serta lebih canggih pemikirannya.

Ketiga: Santri harus mempunyai pemikiran jangka panjang, membuang jauh-jauh pemikiran jangka pendek.

Keempat: Santri harus bisa menghargai waktu, mampu menggunakannya dengan baik, dan mengatur rutinitasnya untuk hal-hak yang positif.

Kelima: Santri harus mempunyai sifat toleran, fleksibel dan moderat.

Keenam: Santri harus kreatif, mampu menghadapi bermacam-ragam masyarakat di sekitarnya.

    Ketujuh: Santri harus bisa mandiri, tidak selalu bergantung dan selalu menunggu "jemputan bola" dari orang lain.

Dan jika santri telah memiliki sifat-sifat tersebut di atas, maka itulah yang dinamakan santri moderen sejati yang bisa mewarnai zaman sekarang ini dengan moderen yang sejati pula.

Epilog

Islam dengan syari’atnya adalah sebagai timbangan kokoh bagi tindak-tanduk individu dan masyarakat. Apapun yang dilakukan oleh individu dan masyarakat dalam berinteraksi dengan kehidupannya haruslah sesuai dan mengikuti timbangan tersebut. jika demikian, maka hasil dari interaksi tersebut akan mampu mengakulturasikan nilai-nilai religi dengan nilai-nilai lain sehingga akan mewujudkan progresifitas yang mengandung nilai-nilai positif. Dan semua itu akan tercapai jika umat islam, terlebih para santri bisa mengaktualisasikan ajaran agamanya dengan didampingi sifat-sifat moderen yang sejati.

Wallohu A’lam bis showaab

——————————————————————————————————————

(1).Lihat ; Hasan Hanafi dalam "Muqoddimatun fi ‘Ilmil Istighroob", Muassasah al Jaami’iyyah liddiroosaat wat tauzii’-Lebanon, cet: I, h; 222-230. juga dalam ensiklopedi Wikipedia.

(2).Lihat; Az-Zuhaili, Prof. DR. Wahbah, dalam "Qodloya al-fiqhi wal-fikr al-mu’aashir", Daar-el-Fikr Damaskus, cet: I, h; 427-425.

Artikulli paraprakHAK DAN KEWAJIBAN WANITA DALAM SYARI’AT ISLAM
Artikulli tjetërANTARA ORANG KAFIR DAN ORANG ISLAM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini