Banyak santri yang ketika ilmunya merasa sudah mumpuni tergesa-gesa untuk mendirikan sebuah pesantren atau lembaga keislaman tertentu. Mereka tidak menata niat yang baik terlebih dahulu untuk sesuatu yang ada kaitannya dengan negeri akhirat. Dalih-dalih karena jargon ingin mengamalkan ilmu, mereka lupa tujuan utama dari mendirikan pesantren. Yaitu, mencari ridha Allah dan menolong agama-Nya.
Memang baik mendirikan pesantren atau sebuah lembaga keilmuan yang nantinya menjadi media untuk menolong ilmu Allah. Namun, di sini yang diharapkan penulis adalah menolong ilmu Allah terlebih dahulu. Baru, mendirikan pesantren. Hal ini sesuai dengan konsep yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Beliau menolong ilmu Allah terlebih dahulu, baru di hari kemudian datanglah Ashabush Shuffah (santrinya Rasulullah Saw) yang bertempat tinggal di emperan Masjid Nabawi.
Mengutamakan menolong ilmu Allah dari pada mendirikan sebuah pesantren juga diamalkan oleh KH. Zubair Dahlan. Meskipun beliau tidak mempunyai pesantren, namun santri beliau banyak yang alim. Salah satunya adalah KH. MA. Sahal Mahfudz (Rais ‘Am PBNU dan Ketua Umum MUI). Santri-santri yang mondok di Pesantren Sarang di kala itu banyak yang menisbatkan mondok di pesantrennya KH. Zubair Dahlan, padahal sebenarnya beliau tidak punya pesantren. Beliau hanya mengajar, entah di masjid atau di pesantren milik mertuanya, KH. Ahmad bin Syuaib. Hal ini menunjukkan betapa santri di waktu itu lebih suka menisbatkan mondoknya kepada orang alim yang diserap ilmunya dari pada menisbatkan kepada pesantren yang ditempatinya.
Jejak KH. Zubair Dahlan diwarisi oleh Syaikhina Maimoen Zubair. Mulanya beliau tidak punya pesantren. Beliau hanya mengajarkan ilmu. Lambat laun, KH. Ahmad bin Syuaib memberikan uang kepadanya untuk mendirikan sebuah mushalla. Dari mushalla ini kemudian ada santri empat yang yang menetap. Salah satunya adalah KH. Hamid Baidlowi (adik ipar Syaikhina Maimoen Zubair). Karena perlunya sebuah kamar, akhirnya mushalla tersebut disekat menjadi 2. Satu untuk mushalla dan yang satu lagi untuk kamar santri. Nama tempat yang ditempati para santri ini mereka namakan dengan sebutan POHAMA yang kependekan dari Pondok Haji Maimoen. Lambah laun jumlah santri semakin banyak sehingga berdirilah sebuah Pesantren al-Anwar.