Dalam sejarah Islam, setiap orang berperan sesuai keahliannya untuk kejayaan agama. Abdurrahman bin Auf sebagai pedagang menyokong perjuangan Islam dengan hartanya, Khalid bin Walid sebagai jenderal memimpin pasukan, dan Abu Hurairah menjaga serta meriwayatkan hadist-hadist Nabi. Mereka tidak saling menuntut untuk menguasai peran satu sama lain. Khalid bin Walid tidak perlu menjadi ahli hadis, dan Abdurrahman bin Auf tidak harus menjadi jenderal perang. Semua konsisten pada perannya dan saling menguatkan.

Masih banyak Pesantren masa kini (terutama pesantren salaf) melanjutkan peran Abu Hurairah—menjaga ilmu agama. Namun, orang-orang yang meremehkan ilmu agama justru menuduh kolot pesantren.

Mereka tidak memahami bahwa butuh bertahun-tahun hanya untuk bisa membaca kitab, apalagi mendalami fikih, ushul fikih, hadits, dan mustholah. Sehingga hampir mustahil satu orang bisa menguasai semuanya secara mendalam.

Apakah salah jika Abu Hurairah tidak menguasai strategi perang atau tidak mengerti teknik berdagang? Justru yang perlu dipertanyakan, siapa yang sekarang masih menjadi Abdurrahman bin Auf—yang mencari harta demi kemuliaan Islam, bukan memperkaya diri? Siapa yang kini menjadi Khalid bin Walid? Ke mana peran-peran itu? Mengapa pesantren yang konsisten justru dikambinghitamkan?

Faktanya, pesantren bukan tidak berkembang. Justru pesantren terus tumbuh, tapi tidak sesuai dengan standar duniawi kelompok-kelompok anti-pesantren. Mereka menutup mata dan suka membuat generalisasi berdasarkan data yang sempit, seolah-olah semua pesantren statis dan tidak berkontribusi. Padahal, pesantren menjalankan tugas berat: menjaga ilmu, mendidik akhlak, dan melahirkan ulama-ulama yang mumpuni. Sementara mereka hanya melihat dari kacamata sempit, mengukur segalanya dengan materialisme. Pesantren bukan anti-kemajuan, tapi pesantren punya prioritas yang berbeda—melestarikan agama dan moral di tengah arus deras dunia yang sering lupa akan hal itu.

BACA JUGA :  Santri Modern; Dilema Paradigma Ekstrem Barat

Kurang penting apa?

Penulis: Ust. Maimoen Nafis

Artikulli paraprakBentuk Tawassul Yang Disepakati Ulama
Artikulli tjetërDedikasi Santri Untuk Negeri

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini