Problem yang terjadi dan dialami para Hafidzah al-Qur’an sebenarnya sangat mudah teratasi dengan cara memahami kerangka perkhilafan yang terjadi antar Ulama’. Dengan begitu, diharapkan seorang Hafidzah akan lebih mudah bijaksana mengambil sikap dengan memilih pendapat yang paling sesuai dengan kondisinya.
Kami sadar betul bahwa muraja’ah hafalan al-Qur’an adalah salah satu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan guna mengantisipasi keharaman lupa. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa lupa akan hafalan al-Qur’an hukumnya diharamkan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
« مَا مِنِ امْرِئٍ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ يَنْسَاهُ إِلاَّ لَقِىَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَجْذَمَ »
“Tidak seorangpun yang membaca (mengahafal) al-Qur’an kemudian melupakannya kecuali kelak di hari kiamat ia akan menghadap Allah Azza wa Jalla dalam keadaan berpenyakit lepra”
Pada malam selasa kemarin (27/11/2019), forum Mauqufah Dalam PP Al-Anwar telah mengkaji perkhilafan-perkhilafan tersebut. Kajian kali ini akan lebih menekankan perkhilafan dalam tubuh madzhab Syafi’iah sendiri memandang latar belakang masyarakat Indonesia yang sudah sejak lama bermadzhab Syafi’i. Setelah itu, kami juga akan memberikan kesimpulan secara sederhana guna mempermudah pembaca untuk memahami intisari dari kajian ini.
Berikut kajian tersebut:
Pendapat Pertama (mu’atamad)
Mayoritas Ulama’ melarang seorang haid membaca Al-Qur’an. Keharaman ini didasari pada hadist Baginda Nabi ﷺ:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ : عَنِ النَّبِيّ قَالَ (لَا تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ) سنن الترمذي (1/ 236)
“diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa baginda Nabi bersabda: ‘seorang yang sedang haid dan junub tidak (diperkenankan) membaca sesuatupun dari al-Qur’an” [HR: at-Tirmidzi]
Pendapat ini merupakan pendapat mainstream di kalangan Ulama’ Syafi’yah karena diusung oleh mayoritas Ulama’. Hal ini ditegaskan oleh imam an-Nawawi dalam karyanya Majmu’ Syarh al-Muhadzab.
مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ قَلِيْلِهَا وَكَثِيْرِهَا حَتَّى بَعْضِ آيَةٍ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءُ
“menurut madzhab kami (syafi’iyah) haram hukumnya bagi seorang yang sedang junub ataupun haid membaca al-Qur’an baik dalam jumlah yang sedikit ataupun banyak bahkan sebagian ayat sekalipun. Pendapat inilah yang diusung oleh mayoritas Ulama’” [Majmu’ Syarh al-Muhadzab].
Menurut pendapat ini, kekhawatiran seorang wanita akan hilangnya hafalan yang ia miliki dinilai terlalu berlebihan. Pertimbangan para Ulama’ tersebut adalah karena masa haid yang cenderung sebentar (biasanya hanya 6-7 hari tiap bulan) tidak terlalu mendesak sehingga harus membolehkan keharaman membaca al-Qur’an. Selain itu muraja’ah (mengulang hafalan) tidak melulu harus diucapkan dengan lisan. Seorang wanita yang haid masih bisa menjaga hafalannya dengan membacanya didalam hati.
وَأَمَّا خَوْفُ النِّسْيَانِ فَنَادِرٌ فَإِنَّ مُدَّةَ الْحَيْضِ غَالِبًا سِتَّةُ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةُ وَلَا يَنْسَى غَالِبًا فِيْ هَذَا الْقَدَرِ وَلِأَنَّ خَوْفَ النِّسْيَانِ يَنْتَفِي بِإِمْرَارِ الْقُرْآنِ عَلَى الْقَلْبِ وَاللهُ أَعْلَمُ المجموع شرح المهذب – (2 / 357
“Adapun kekhawatiran akan lupa (pada hafalan) adalah sesuatu yang jarang terjadi karena masa haid yang biasanya hanya enam sampai tujuh hari cenderung tidak sampai menyebabkan lupa. Selain itu kehawatiran tersebut dapat teratasi dengan membaca al-Qur’an di dalam hati”. [Majmu’ syarh al-muhadzab]
Namun, keharaman ini tidak kemudian berlaku mutlak pada semua kondisi. Sebagaimana yang telah masyhur di kalangan pesantren bahwa keharaman yang dimaksud di atas apabila lafadz al-Qur’an yang dibaca dimaksudkan sebagai al-Qur’an. Berbeda halnya jika lafadz yang ia baca tidak dimaksudkan sebagai al-Qur’an melainkan dilandasi pada motif-motif lain seperti dzikir, tabarruk atau niat-niat lainnya.
Niat dari si pembaca ini sangat mempengaruhi produk hukum yang akan lahir. Menurut perspektif para Ulama’ tersebut, apabila yang ia baca dimaksudkan dzikir maka ia tidak dinyatakan sebagai “pembaca al-Qur’an” namun lebih kepada pembaca lafadz dzikir yang ‘mirip’ dengan lafadz al-Qur’an.
Syaikh as-Sayyid Bakri Syatho dalam karyanya I’anah al-Thalibin menyatakan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ قَصَدَهُ مَعَ غَيْرِهِ كَالذِّكْرِ وَنَحْوِهِ فَتَحْرُمُ فِيْهِمَا وَإِنْ قَصَدَ الذِّكْرَ وَحْدَهُ أَوْ الدُّعَاءَ أَوْ التَّبَرُّكَ أَوْ التَّحَفُّظَ أَوْ أَطْلَقَ فَلَا تَحْرُمُ لِأَنَّهُ عِنْدَ وُجُوْدِ قَرِيْنَةٍ لَا يَكُوْنُ قُرْآنًا إِلَّا بِالْقَصْدِ وَلَوْ بِمَا لَا يُوْجَدُ نَظْمُهُ فِيْ غَيْرِ الْقُرْآنِ كَسُوْرَةِ الْإِخْلَاصِ. إعانة الطالبين (1/ 69)
“kesimpulannya, apabila bacaan tersebut hanya diniati al-Qur’an atau bersamaan dengan itu diniati juga dengan niatan lain semisal dzikir maka hukum membacanya adalah haram. Dan apaabila ia meniatki dzikir saja, doa, tabarruk, menjaga diri, atau tidak meniati apapun maka (hukum membacanya) tidak haram. Karena ketika terdapat aspek-aspek lain tersebut bacaan yang ia baca tidak lagi disebut al-Qur’an kecuali diniati al-Qur’an. (pengecualian hukum ini berlaku) meskipun yang dibaca adalah lafadz yang hanya ditemukan dalam al-Qur’an seperti surah al-ikhlas” [i’anah at-Thalibin].
Saking berpengaruhnya, andai saja wanita yang sedang haid tersebut membaca seluruh lafadz al-Qur’an dengan meniatinya sebagai dzikir, maka ia masih senantiasa terlepas dari haram mebaca al-Qur’an. Demikian yang dijelaskan oleh al-Imam Sulaiman bin Manshur al-‘Ujaili atau yang lebih masyhur dengan nama Syaikh Jamal dalam karyanya Hasyiyah al-Jamal.
قَالَ الشَّيْخُ الْخَطِيْبُ أَفْتَى شَيْخُنَا الشِّهَابُ الرَّمْلِيْ أَنَّهُ لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ جَمِيْعَهُ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ جَازَ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ خِلَافًا لِشَيْخِ الْإِسْلَامِ ا ه شوبري . حاشية الجمل على المنهج (1/ 460)
“Syaikh Khatib menyatakan bahwa Imam al-Ramliy berfatwa jika seorang yang junub (atau haid) membaca seluruh lafadz al-Qur’an tanpa meniatinya sebagai al-Qur’an maka hukumya diperbolehkan. Dan pendapat ini adalah pendapat yang mu’tamad. Berbeda dengan yang difatwakan oleh Syaikh al-Islam )Zakariya al-Anshori(” [Hasyiyah al-Jamal ‘ala al-Minhaj]
Pendapat Imam Zarkasyi.
Masih dalam kerangka madzhab Syafi’iyah, beberapa Imam juga sependapat untuk mengharamkan membaca al-Qur’an bagi orang Haid dengan pertimbangan-pertimbangan di atas. Yang membedakan pendapat ini dengan pendapat sebelumnya adalah bahwa kalangan ini menambah satu catatan lagi untuk kebolehan membaca al-Qur’an. Pendapat ini diusung oleh imam Zarkasyi.
Jika menurut pendapat pertama seorang wanita Haid telah lepas dari hukum haram dengan meniati bacaannya sebagai dzikir, maka berbeda lagi dengan pendapat ke dua ini. Menurut pendapat yang ke dua ini seorang wanita yang Haid boleh membaca lafadz al-Qur’an hanya apabila lafadz yang ia baca memanglah lafadz dzikir yang juga ditemukan di selain al-Qur’an. Namun apabila model lafadz tersebut hanya ditemukan dalam kitab al-Qur’an maka niat dzikir yang ia upayakan tidak mempengaruhi hukum haram karena (menurut pendapat ini) wanita tersebut masih disebut sebagai “pembaca al-Qur’an” memandang lafadznya yang terlalu identik terhadap al-Qur’an.
Lafadz dzikir yang juga ditemukan di selain al-Qur’an ialah seperti Basmalah, Hamdalah atau Tahlil yang memang sering ditemukan dalam lafadz-lafadz lain selain al-Qur’an. Sementara lafadz yang hanya ditemukan dalam al-Qur’an seperti akhir surah al-Baqarah tidak diperkenankan untuk dibaca meskipun diniati dzikir.
قَالَ الزَّرْكَشِيْ لَا شَكَّ فِيْ تَحْرِيْمِ مَا لَا يُوْجَدُ نَظْمُهُ فِيْ غَيْرِ الْقُرْآنِ وَتَبِعَهُ عَلَى ذَلِكَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِيْنَ . مغني المحتاج (1/ 72)
“Imam al-Zarkasyi menyatakan: ‘tidak diragukan lagi bahwa(membaca al-Qur’an bagi wanita haid) dihukumi haram apabila lafadznya tidak ditemukan pada selain al-Qur’an’. Pendapat ini juga diusung oleh beberapa Ulama’ mutaakhirin” [Mughni al-Muhtaj]
Pendapat ini diperkuat oleh gagasan yang diusung oleh imam Suyuthi bahwa sangat tidak realistis untuk meniati selain al-Qur’an jika lafadz yang ia baca adalah lafadz yang panjang. Menurut beliau, lafadz al-Qur’an bisa tergambarkan untuk diniati selain al-Qur’an hanya apabila yang ia baca sekedar satu atau bahkan sebagian ayat. Gagasan ini tentu sangat kontradiktif jika dikomparasikan dengan uraian Syaikh al-Jamal di depan.
Imam Suyuthi menjalaskan dalam al-Hawiy lil Fatawiy:
أَمَّا قِرَاءَةُ سُوْرَةِ الْكَهْفِ لَا بِقَصْدِهِ فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَتَصَوَّرُ إِيْرَادُهُ بِلَا قَصْدِ الْقُرْآنِ لِأَنَّهُ إِنَّمَا يَظْهَرُ الْخُلُوُّ عَنْ قَصْدِ الْقُرْآنِ فِيْ آيَةٍ أَوْ نَحْوِهَا أَمَّا مِثْلُ سُوْرَةٍ كَامِلَةٍ فَإِنَّهَا لَا يَتَصَوَّرُ فِيْهَا ذَلِكَ لِأَنَّهَا لَا يُقْصَدُ مِنْهَا كُلِّهَا شَيْءٌ مِمَّا ذَكَرُوْا لِلَّفْظِ الْمَوْضُوْعِ لِلتِّلَاوَةِ. الحاوي للفتاوي – (1 / 11)
“apabila yang dibaca adalah satu surat penuh al-Kahfi maka sangat tidak tergambarkan meniatinya selain al-Qur’an. Niat selain al-Qur’an hanya bisa tergambarkan apabila yang dibaca hanya satu ayat atau mirip satu ayat. Dan jika yang dibacanya adalah satu surat penuh maka niat selain al-Qur’an (sekali lagi) sangat tidak bisa digambarkan memandang lafadz-lafadz tersebut telah didesain khusus untuk tilawah (dibaca sebagai al-Qur’an)” [al-Hawiy lil Fatawiy].
Pendapat Ibnu Mundzir.
Beberapa Ulama’ berpendapat bahwa seorang wanita Haid boleh secara mutlak membaca al-Qur’an. Pendapat ini dipilih oleh ibnu Mundzir, Qadli ibnu Shabbagh bahkan diriwayatkan bahwa pendapat ini juga diusung oleh sahabat Ibnu Abbas R.a.
Perkhilafan ini bahkan dikutip oleh imam an-Nawawi dalam kitab Majmu’nya meski tentu tidak menjadi pendapat beliau secara pribadi.
وَقَالَ دَاوُدُ يَجُوْزُ لِلْجُنُبِ وَالْحَائِضِ قِرَاءَةُ كُلِّ الْقُرْآنِ وَرُوِيَ هَذَا عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ الْمُسَيَّبْ قَالَ الْقَاضِيْ أَبُوْ الطَّيِّبِ وَابْنُ الصَّبَّاغِ وَغَيْرُهُمُا وَاخْتَارَهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ . المجموع شرح المهذب – (2 / 158)
“Imam Daud berpendapat boleh seorang yang sedang junub maupun haid membaca al-Qur’an. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh ibnu Abbas dan ibnu al-musayyab. Pendapat ini juga dikatakan oleh Qadli abu al-Thayyib, ibnu Shabbagh serta Ulama’ lainnya. Imam Ibnu al-Mundzdir juga memilih pendapat tersebut”. [Majmu’ Syarh al-Muhadzab].
Pendapat ini didasarkan pada dua hadist riwayat Sayyidah A’isyah R.ha.:
Hadist pertama:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ يَذْكُرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ قَالُوْا وَالْقُرْآنُ ذِكْرٌ وَلِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ التَّحْرِيْمِ اهـ المجموع
“diriwayatkan dari sayyidah Aisyah R.ha bahwa nabi ﷺ senantiasa berdzikir kepada Allah azza wa jalla dalam setiap kehidupannya. Para ulama’ (yang membolehkan membaca al-Qur’an) mengatakan bahwa al-Qur’an juga termasuk dzikir.selain itu, (Membaca dzikir seharusnya diperbolehkan) memandang hukum asalnya (dari membaca al-Qur’an) adalah tidak haram”.
Hadist ke dua:
وَاحْتُجَّ لِمَنْ جَوَّزَ بِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهِيَ حَائِضٌ: وَلِأَنَّ زَمَنَهُ يَطُوْلُ فَيُخَافُ نِسْيَانُهَا (المجموع شرح المهذب – (2 / 357)
“hujjah yang digunakan oleh kelompok yang memperbolehkan (wanita haid membaca al-Qur’an) adalah hadist yang diriwayatkan dari sayyidah Aisyah bahwa beliau tetap membaca al-Qur’an sementara beliau sedang haid. Selain itu zaman haid cenderung panjang sehingga ditakutkan wanita tersebut lupa (akan hafalannya)”.
Kesimpulan :
Berkaitan dengan wanita Haid yang membaca al-Qur’an, Ulama berbeda pendapat setidaknya (menurut yang kami temukan) menjadi tiga pendapat.
Pendapat pertama adalah pendapat yang dinilai Mu’tamad dalam madzhab Syafi’iah yang mengharamkan seorang yang Haid membaca lafadz al-Qur’an kecuali jika bacaannya tersebut tidak diniati al-Qur’an (semisal diniati berdzikir).
Pendapat kedua juga melarang wanita yang sedang Haid membaca al-Qur’an kecuali diniati dzikir atau niat-niat lain selain al-Qur’an, dengan syarat lafadz al-Qur’an yang dibaca sebagai dzikir tersebut dapat ditemukan pula pada selain kitab suci al-Qur’an.
Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang diusung oleh Ulama’ Madzhab Syafi’iyah yaitu Ibnu Mundzir yang memperbolehkan Haid membaca al-Qur’an secara mutlak.
Sekian, semoga bermanfaat.