HASIL BAHTSU BIM (BADAN INTELEKTUAL MUHADLOROH) PP. AL-ANWAR
Sering kita temukan para pejabat negara yang membuka pembicaraannya dengan mengucap salam lintas agama. Hal ini telah menjadi trend para pejabat dan terus menjadi tradisi hingga saat ini. Beberapa kajian islam juga pernah terbahas ihwal kebiasaan pejabat tersebut.
Malam ahad kemarin (15/12) BIM (Badan Intelektual Muhadloroh) PP. Al-Anwar turut serta mengkaji dinamika tersebut. Diharapkan kajian ini tidak menjadi dalih memperkeruh suasana persatuan bangsa. Kajian ini murni dimaksudkan sebagai tanggung jawab ilmiah kami kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan masyarakat Indonesia terutama para pejabat negara (tanpa mengurangi rasa hormat).
Sebelum mengkaji, terlebih dahulu kita perlu memahami duduk permasalahan yang akan dibahas. Salam lintas agama memiliki tiga ruang kajian: Pertama: mengucapkan “assalamu’alaikum” kepada non muslim. Kedua: mengucapkan salam yang menjadi identitas agama lain. Ketiga: usaha pemerintah merajut kebhinekaan dalam melaksanakan tugas negara “Persatuan Indonesia”.
▪︎Mengucap Salam Kepada Non Muslim
Mengucapkan salam “assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” kepada non muslim diungkap oleh para Ulama’ Madzhab Syafi’iyah, sebagai madzhab mainstream umat muslim Indonesia, bahwa memulai salam hukumnya haram (berdosa jika dilakukan), sementara menjawab salam hukumnya wajib. Namun, wajib menjawab salam yang dimaksud tidaklah menggunakan lafadz “wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” melainkan hanya menggunakan “wa’alaikum” saja. Tidak lebih.
Hal ini diutarakan oleh imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim:
واختلف العلماء فى رد السلام على الكفار وابتدائهم به فمذهبنا تحريم ابتدائهم به ووجوب رده عليهم بأن يقول وعليكم أو عليكم فقط . ودليلنا فى الابتداء قوله صلى الله عليه وسلم : لاتبدأوا اليهود ولاالنصارى بالسلام .
وفى الرد قوله صلى الله عليه و سلم : فقولوا وعليكم . وبهذا الذى ذكرناه عن مذهبنا قال أكثر العلماء وعامة السلف
(الشرح النووي على مسلم 14 / 145)
“Para Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum menjawab dan memulai salam kepada orang kafir. Dan madzhab kita (Syafi’i) mengharamkan memulai pengucapan salam kepada orang kafir dan mewajibkan menjawab salam dari orang kafir hanya dengan mengucapkan ‘wa’alaikum’ atau ‘alaikum’ saja. Dalil madzhab yang kita gunakan untuk mengharamkan memulai salam kepada orang kafir adalah sabda baginda Nabi ﷺ:
"Janganlah kalian memulai pengucapan salamkepada orang Yahudi dan orang Nashrani”.
Sedangkan dalil kita untuk mewajibkan menjawab salam mereka adalah sabda baginda Nabi ﷺ: "Dan (jawablah salam mereka) ucapkanlah “wa’alaikum". Pendapat yang kita usung dalam madzhab kita ini juga diusung oleh mayoriotas Ulama dan Ulama Salaf (Golongan Shohabat Nabi, Tabi’iin dan Tabi’ittabi’iin)”.
Namun apabila dalam satu prosesi acara terdapat orang muslim dan non muslim maka seorang pejabat boleh memulai mengucapkan salam dengan meniati salam tersebut hanya kepada kaum muslimin.
▪︎Substansi Salam dan Pentingnya Identitas Muslim
Perlu dipahami bahwa salam yang kita ucapkan sehari-hari tidak hanya memiliki fungsi sosiologis menjaga kerukunan bangsa namun lebih dari itu, salam juga memiliki fungsi teologis (ketuhanan/ibadah). Seperti yang kita ketahui bahwa salam ummat Islam memiliki makna doa “semoga keselamatan, rahmat dan berkah Allah bagimu”.
Salam agama Hindu “Om Swastyastu” memiliki makna “semoga dalam keadaan selamat atas karunia dari Hyang Widhi”. Salam umat Buddha “Namo Buddhaya” memiliki makna “hormat kepada buddha”. Artinya, Tidak hanya dalam Islam, salam pembuka milik agama lain juga memiliki fungsi teologis.
Berdasar fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan mengucapkan salam lintas agama, seorang muslim secara tidak langsung melaksanakan ajaran ketuhanan agama lain. Hal inilah yang kemudian memantik banyak kritik dari beberapa kalangan.
Nabi ﷺ bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ .
سنن الترمذي – (9 / 317)
“Bukan bagian dari kita, seseorang yang menyerupai selain golongan kita. Jangan kalian meyerupai orang Yahudi dan Nashrani. Sesungguhnya salam orang Yahudi adalah berisyarat dengan jari-jari dan salam orang Nashrani adalah berisyarat dengan telapak tangan” [HR; At-Tirmidzi].
Sayyid Abdurrohman juga menjelaskan dalam karyanya Bughyah al-Mustarsyidin, dan ulasan ini merupakan ulasan yang sangan masyhur dikalangan pesantren:
(مسألة : ي) : حاصل ما ذكره العلماء في التزي بزي الكفار أنه إما أن يتزي بزيهم ميلاً إلى دينهم وقاصداً التشبه بهم في شعائر الكفر ، أو يمشي معهم إلى متعبداتهم فيكفر بذلك فيهما ، وإما أن لا يقصد ذلك بل يقصد التشبه بهم في شعائر العيد أو التوصل إلى معاملة جائزة معهم فيأثم ، وإما أن يتفق له من غير قصد فيكره كشد الرداء في الصلاة.
(بغية المسترشدين – 1 / 528)
“Kesimpulan dari apa yang telah diuraikan oleh para Ulama’ mengenai menggunakan identitas orang kafir adalah jika hal tersebut dilakukan atas dasar condong terhadap ajaran mereka, membantu mensyiarkan kekufuran atau mengikuti mereka berjalan menuju tempat ibadah mereka maka orang tersebut dihukumi sebagai kafir. Apabila tindakan itu dilakukan sebagai perantara untuk berniaga yang diperbolehkan maka ia berdosa (diharamkan). Dan apabila hal tersebut dilakukan secara kebetulan tanpa disengaja maka hukumnya makruh”. [Bughyah al-mustarsyidin].
Selain itu salam lintas agama juga memiliki unsur penghormatan yang berlebihan kepada non muslim. Penghormatan yang kita lakukan kepada siapapun tidak kemudian bebas dan tanpa batasan. Penghormatan kepada orang tua, kepada teman, kepada sesama muslim dan juga kepada non muslim juga memiliki batasan.
يحرم على المسلم عند اجتماعهما في طريق أن يؤثره بواسعه ، وفي عمومه نظر ، والذي يتجه أن محله إن قصد بذلك تعظيمه ، أو عد تعظيما له عرفا ، وإلا فلا وجه للحرمة
(تحفة المحتاج في شرح المنهاج – 40 / 296)
“Apabila di tengah perjalanan terdapat orang Islam dan orang non muslim maka haram bagi seorang muslim lebih mengedepankan kafir. Keharaman ini berlaku apabila hal itu dimaksudkan untuk mengagungkan orang kafir atau hal itu dinilai sebagai pengagungan terhadap orang kafir. Namun apabila tidak terdapat kedua unsur tersebut maka tidak ada alasan unuk mengharamkannya”.[Tuhfah al-Muhtaj]
Bahkan apabila pejabat tersebut meyakini makna dari yang ia ucapkan dalam salam lintas agama maka bisa saja dihukumi murtad karena telah mengakui ketuhanan agama lain yang artinya mengingkari keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Uraian murtad tersebut kami singgung tidak dimaksudkan untuk menuduh atau memperkeruh suasana. Hal ini semata penjelasan ilmiah memandang secara spekulatif kemungkinan itu masih ada.
▪︎Penyikapan Isu Perpecahan
Pejabat negara memiliki kewajiban menjaga stabilitas negaranya. Baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi hingga keagamaan. Namun, menurut kajian yang kami lakukan, masih terdapat solusi-solusi lain yang lebih efektif dan tidak bersinggungan dengan aturan agama Islam.
Dalam perspektif muazanah maslahah wal mafsadah (komparasi Syari’at dampak positif dan negatif) salam lintas agama memiliki unsur mafsadah muhaqqaqah dan maslahah mauhumah. Kekhawatiran akan perpecahan ummat sehingga perlu dilakukannya salam lintas agama masih berupa kekhawatiran yang asumtif (mauhumah). Bahkan andai saja kekhawatiran itu bisa dibuktikan kebenarannya, maka kurang tepat rasanya jika menyelesaikan masalah dengan masalah yang baru. Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan ad-dlarar la yuzalu bi al-dlarar.
Tidak tepat jika kekhawatiran akan keutuhan bangsa justru diselesaikan dengan cara yang diharamkan berupa mencampur aduk salam dan beberapa unsur haram lain yang kami uraikan di atas. Belum lagi solusi ini bukannya tanpa masalah karena justru akan memicu konflik baru berupa penolakan yang akan bertubi datang dari kalangan yang merasa dirugikan secara akidah dan spiritual.
Imam al-Suyuthi menjelaskan:
الثالثة الضرر : لا يزال بالضرر لأنه لو أزيل بالضرر لما صدق " الضرر يزال "
(الأشباه والنظائر – 1 / 158)
“Kaidah ke tiga: satu dlarar tidak boleh dihilangkan dengan dlarar. Karena jika satu dlarar dihilangkan dengan dlarar maka tidak lagi bisa dikatakan “menghilangkan dlarar“. [al-Asybah wa al-Nadhair]
Mudahnya, kita samakan seperti Khamr, yang memiliki kemanfaatan di satu sisi namun memiliki mafsadah di sisi yang lain. Syari’at kemudian memilih hukum haram pada meminum khamr memandang mafsadah yang lahir dari khamr lebih banyak dibanding dengan keharamannya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
[البقرة : 219]
▪︎Kesimpulan Kajian
Melalui uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa salam lintas agama memiliki beberapa unsur keharaman yaitu mengucap salam kepada orang kafir, menggunakan identitas orang kafir, memuliakan orang kafir dengan cara yang berlebihan. Bahkan apabila sang pejabat muslim mengucapkan kata tersebut serta meyakini atas apa yang diucapkan sebagai sebuah kebenaran maka dapat menyebabkan murtad.
Selain itu, pertimbangan merajut kebhinekaan juga dirasa kurang tepat memandang kemaslahatan yang masih asumtif tersebut (mauhuumah), tidak sebanding dengan dampak negatif yang timbul kemudian. Bahkan pandangan tersebut dirasa kurang komprehensif karena dapat merajut kesatuan di satu sisi (menurut asumsi beberapa kalangan) dan juga bisa memantik konflik di sisi yang lain berupa pro kontra mengenai campur aduk ajaran agama yang begitu sensitif di tengah masyarakat.
▪︎Saran
Merajut kebhinekaan umat beragama seharusnya lebih menggunakan dimensi sosiologis tanpa mencapur aduk ajaran satu agama dengan agama yang lain. Selama pemerintah menyikapi kebhinekaan dengan cara ini (campur aduk), maka selalu akan muncul penolakan yang artinya juga bisa memantik konflik baru. Mengingat ranah ibadah adalah ranah yang sangat sensitif. Ibarat seorang yang sakit, konteks ini mirip dengan seseorang yang berobat menggunakan racun. Sehat di satu sisi namun melahirkan penyakit baru di sisi yang lain.
Selesai. Semoga Bermanfaat