Madzhab Syafi’I merupakan madzhab yang paling banyak mencetak literatur-literaturnya dibandingkan madzhab lain, tidak terhitung berapa kitab yang tercetak oleh pena fuqoha madzhab ini. Produktifitas mereka menelurkan berbagai judul karya yang identik terdapat keterkaitan antara satu dengan yang lain.
Al-Umm buah karya Al-Imam As-Syafi’I (w. 150 H) menjadi Buku babon dalam madzhab ini. Selanjutnya Al-Umm diringkas oleh muridnya sendiri yakni Al-Imam Al-Muzani (w. 264 H) dalam karyanya yang berjudul Mukhtashar Al-Muzani, kemudian karya Al-Muzani dikomentari oleh ulama yang berpredikat “Al-Imam Al-Haramain” yakni Abdu Malik bin Abdullah Al-Juwaini (w. 478 H) dalam kitabnya Nihayatul Mathlab, kemudian disusul oleh oleh anak emas Al-Haramain yakni Al-Imam Al-Ghazali (w. 505 H) meringkas Nihayatul Mathlab menjadi Al-Basith. Tidak puas dengan Al-Basith, ulama yang bergelar Hujjatul Islam itu meringkasnya menjadi Al-Wasith, kemudian meringkasnya kembali menjadi Al-Wajiz hingga Al-Wajiz pun diringkas pula menjadi Al-Hulashoh.
Seiring silir bergantinya waktu, datang generasi selanjutnya yaitu Al-Imam Ar-Rafi’I (w. 623 H) meringkas Al-Wajiz menjadi Al-Muharrar, kemudian datang Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Damsyiqi (w. 676 H.) meringkas Al-Muharrar menjadi karya fenomenal yang berjudul Minhaj Ath-Thalibin yang menjadi pegangan ulama muta’akhirin madzhab syafi’I dalam berfatwa dan berijtihad.
Karya yang berjulukan “Kitabul Fuqoha” ini merupakan salah satu kitab yang mu’tamad dalam madzhab syafi’I. An-Nawawi memberikan istilah khusus kepada pembaca tentang mana yang merupakan pendapat asli Imam Syafi’I dan mana yang merupakan pendapat pegikut beliau yang disandarkan pada manhaj ushul syafi’i, sekaligus perbedaan pendapat antara As-Syafi’I dengan pengikutnya dan mentarjih sekian banyaknya perbedaan pendapat yang ada.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kitab ini menjadi perhatian serius ulama muta’akhirin syafi’iyah. Tidak sedikit judul kitab yang mengomentari karya fenomenal An-Nawawi ini yang telah terbukukan dan tersebar luas, diantaranya adalah dua buah karya rivalitas Al-Haitami dan Ar-Ramli yang berjudul Tuhfatu Al-Muhtaj dan Nihayatu Al-Muhtaj.
An-Nawawi memberikan istilah khusus dalam muqaddimah Al-Minhaj (sebutan akrab kitab ini). Diantaranya yaitu :
Al-Adzhar : digunakan untuk menunjukan qaul yang rajih diantara qaul Syafi’I yang terjadi khilaf dan sama kuatnya
Al-Masyhur : hampir sama dengan Al-Adzhar, namun lawan dari qaul yang rajih mempunyai argumen lemah
Al-Ashah : digunakan untuk pendapat yang paling kuat dari khilafiyah ashabul wujuh yang sama kuatnya namun yang salah satunya lebih kuat
As-Shahih : untuk pendapat yang rajih dalam khilafiyah ashab antara pendapat yang kuat dan yang fasid
Dan masih banyak lagi istilah-istilah lain yang menjadi ciri khas kitab ini.
Sebagai penulis Al-Minhaj An-Nawawi merupakan sosok mujtahid tarjih yang sangat diperhatikan dalam khazanah kajian fiqih syafi’i bahkan apabila terjadi pertentangan antara tarjihnya dengan ulama syafi’iyah lain, maka An-Nawawi selalu didahulukan dan diklaim sebagai pendapat madzhab.
Al-Minhaj juga sangat berperah penting dalam pendidikan fiqih dipesantren nusantara, bahkan menjadi hidangan segar bagi santri yang bertingkat keilmuan tinggi di pesantren salaf setelah Fathul Mu’in dan Fathul Qarib. Tidak heran jika kitab ini recommended sekali untuk dipelajari bagi publik pesantren.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkomentar :
“Al-minhaj merupakan referensi fatwa dalam madzhab syafi’I setelah kitab Al-Majmu’, At-Tahqiq, At-Tanqih, dan Ar-Raudhah dari sekian karya An-Nawawi”.