إرادتك التجريد مع إقامة الله إياك في الأسباب من الشهوة الخفية, وإرادتك الأسباب مع إقامة الله اياك في التجريد إنـحطاط عن الهمة العلية
"Kamu ingin maqam tajrid padahal Allah menempatkanmu di maqam asbab itu termasuk syahwat yang samar, sedangkan kamu ingin maqam asbab padahal Allah menempatkanmu di maqam tajrid itu adalah penurunan dari kemauan yang tinggi"
1. PENJELASAN
A. Maqam Tajrid
Maqam Tajrid adalah dirimu jauh untuk melaksanakan asbab (berinteraksi dengan manusia lain/bekerja) karena posisi dan kondisi mu itu menuntut untuk meninggalkannya.atau bisa di istilahkan Hablun min Allah.
Ciri-cirinya adalah dirimu sudah ada yang menjamin dalam masalah rizqi, sehingga dengan mudah engkau dapat menghindar ke akhirat.
B. Maqam Asbab
Maqam Asbab adalah selalu di kuasai oleh asbab (cara-cara interaksi dengan sesama), maksudnya dimanapun ia bergerak, ia tidak bisa menghindar dari asbab tersebut atau bisa di istilahkan dengan Hablun min an-nas.
Ciri-cirinya adalah dirimu adalah punya tanggung jawab terhadap kehidupan orang lain, sehingga harus memikirkan keberlangsungan kehidupan mereka.
Bagian pertama dari hikmah ini adalah :
إرادتك التجريد مع إقامة الله إياك في الاسباب من الشهوة الخفية …
Artinya : “ Kamu ingin maqam tajrid padahal Allah menempatkanmu di maqam asbab maka hal itu termasuk syahwat yang samar ”
Berangkat dari hikmah diatas, perintah oleh Allah SWT pada hamba-Nya hanya sederhana yaitu melaksanakan segenap perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya dengan memandang posisi dirinya, artinya tidak layak baginya untuk menjalankan asbab dan meninggalkannya dengan sesuka hati, tanpa berpikir dan berangan-angan posisi sebenarnya dirinya, begitu juga sebaliknya.
Untuk lebih jelasnya, akan kami paparkan beberapa contoh pada anda. Ada seseorang kepala keluarga yakni seorang ayah yang bertanggung jawab terhadap keluarga, istri, dan anak-anaknya. Jadi dia diposisikan agar mencari dan bersusah payah yang berkaitan dengan rizqi. Bayangkan, seandainya ia berkata pada dirinya sendiri : "Aku tidak butuh ke pasar, karena aku telah yakin semua rizqi itu telah ditentukan oleh Allah SWT". Kemudian orang itu benar-benar pasrah dan tidak berupaya untuk mencari rizqi.
Kami katakan padanya : “ Engkau harus tahu situai dan posisi apa yang sedang Allah SWT tempatkan padamu. Ingatlah sekarang Allah sedang memposisikan dirimu di maqam asbab. Buktinya ia bebankan padamu tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Apabila kau berpaling dari posisi ini, ingat engkau sedang melakukakan ta’at secara lahiriyyah, tetapi sebenarnya kau mengikuti hawa nafsumu, agar kelihatan zuhud dan sufi di mata orang lain. Dan ini adalah kesalahan besar dan bahaya dalam syari’at agama Islam. Adapun metode dan sistem semestinya engkau harus tahu apabila Allah menjadikan dirimu pemimpin keluarga berarti artinya Dia telah memberikan tanggung jawab urusan keluarga padamu. Artinya engkau tidak bisa bermuamalah dengan Allah atas dasar keadaan dirimu sendiri saja, tapi kamu perlu memperhatikan kehidupan istri dan anak-anakmu juga. Dengan kata lain, apabila engkau menyangka dirimu telah percaya penuh dengan pembagian Allah SWT sehingga kau konsen penuh untuk beribadah dan meninggalkan dunia, lalu kenapa engkau paksa istri dan anakmu untuk menjalankan kepercayaanmu itu ? Dan untuk menjalankan zuhud yang kau inginkan itu ?
Ingatlah! bahwa hidup ini untuk keluargamu bukan untuk dirimu sendiri, dan yang dapat mengatur perjalanan agamamu adalah ketentuan syari’at-Nya. Sementara syara’ menyuruhmu untuk mempersiapkan-semampumu- kehidupan yang layak bagi keluargamu, dan untuk mendidik putra-putrimu lahir dan batin dengan didikan yang baik lagi sempurna. Apabila engkau berpaling dari asbab ini, itu artinya kau telah berbuat buruk dan su’ul-adab kepada Allah SWT. Karena kau telah berpaling dari aturan-aturan (Sunnatullah) yang semestinya. Jika Allah SWT berfirman padamu : “metode untuk menjaga keluargamu itu harus menjalankan asbab”. Bila kamu menjawab : "tidak mau. Karena aku ingin murni bersimpuh di hadapan-Mu” maka Allah berfirman : "Tinggalkan keinginanmu dan lakukan apa yang aku katakana padamu, keluarlah ke pasar, bekerjalah, berdagang dan lakukanlah sesuatu yang membuka jalan rizqimu!.”
Dan ingatlah! mematuhi perintah-perintah ini adalah ibadah bagimu, itu adalah tasbih dan tahmidmu. Dan yang perlu di perhatikan, ta’at dan ibadah itu tidak tertentu hanya pada amalan-amalan khusus saja, lalu bila tidak melakukan amalan-amalan itu ia disebut materialistis (bersifat duniawi). Karena semua amal kebaikan itu sebenarnya ibadah, apabila ada niat dan tujuan pada Allah SWT, tergantung situasi dan kondisi. Sebagaimana hikmah Ibnu ‘Atha’illah yg lain :
تنوعت أجناس الأعمال بتنوع واردات الأحوال …
Artinya : "Amal itu bermacam-macam sesuai keadaan manusia"
Oleh karena itu, Ringkasan dari bagian pertama dari hikmah ke-2 ini adalah amal shalih bagi orang yang tidak ada hubungan dengan masyarakat dan jauh dari tanggung jawab(seperti santri) itu adalah ibadah yang kembali pada dirinya seperti sholat, puasa, dzikir dan lain-lain. Adapun ibadah orang yang mempunyai tanggung jawab dalam keluarga politik atau masyarakat, maka amal shalih baginya adalah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan semestinya, begitu juga bagi penjaga benteng pertahanan, amal shalih untuknya adalah ikhlas dan benar-benar memperhatikan musuh yang ada di sekelilingnya, begitulah seterusnya. Disini perlu di ingat, bahwa ada ibadah-ibadah yang wajib di laksanakan oleh semua golongan dengan tanpa memandang situasi dan kondisi tertentu, yaitu ibadah-ibadah yang pokok, misalnya shalat fardlu, puasa, haji, membaca al-Qur’an serta dzikir-dzikir pokok yg lain.
Bagian kedua dari hikmah ini yaitu :
…وإرادتك الأسباب مع إقامة الله إياك في التجريد انحطاط عن الهمة العلية.
Artinya : “Sedangkan kamu ingin maqam asbab padahal Allah menempatkanmu di maqam tajrid itu adalah penurunan dari kemauan yang tinggi”
Ada sebagian orang yang sudah tidak memerlukan lagi mencari rizki karena dia tidak mengurusi keluarga dan orang lain dan sudah di anugrahi Allah kecukupan rizki, maka dia harus menggunakan waktunya untuk mencari ilmu, ibadah dan dzikir (mengingat Allah).disini Ibnu Athoillah menyarankan untuk tidak terjun masalah duniawi karena itu akan menurunkannya dari cita-cita luhur. Artinya: Apabila engkau ingin bermalas-malasan karena telah percaya pada hartamu, lalu kamu hanya makan, minum dan tidur sampai kamu mati, ini artinya kehidupanmu tak ada bedanya atau sama seperti hewan.
Adapun jika kamu ingin mempelajari agama-Nya dimana karena kamu telah kecukupan dalam segi materi, maka inilah metode terbaik dan paling tepat bagi orang yang memiliki kemauan yang tinggi. Itu di karenakan ketika Allah SWT menjauhkan dirimu dari tanggung jawab, itu berarti Allah menempatkan dirimu pada maqam tajrid. Maka konsenterasikan fikiranmu untuk mempelajari agama dan syari’at-Nya atau kau berada di antara barisan pasukan perang demi membela agama-Nya, apabila itu memungkinkan.
Apabila orang ini berkata : "Tapi bekerja kan juga ibadah, sesuai dengan firman Allah SWT…& sabda Rasul…?"
Maka ketahuilah! bahwa gejolak jiwa yang menggodanya ini adalah rayuan syaitan dan itu hanyalah penurunan dari derajat yang tinggi sebagaimana pernyataan Ibnu ‘Atha’illah tadi.
Jika perkataan ini benar perintah ketuhanan, itu berarti kita akan menyalahkan perbuatan para santri-santri yang mondok diberbagai pondok. Yaitu para pemuda yang di tempatkan Allah pada maqam tajrid dan bebas dari beban asbab lalu mendarmakan hidupnya untuk mempelajari agama Islam dan hukum-hukumnya. Para pemuda-pemuda ini selama belum memiliki beban tanggung jawab keluarga atau masyarakat, dan mereka masih tetap dan semangat belajar ilmu-ilmu agama Islam, maka kita menganggap mereka adalah orang-orang besar dan orang-orang yang lebih di antara manusia, kita mengharap turunnya rahmat Allah dengan bertawassul dengan mereka.
Dari sini kami dapat menyimpulkan bahwa syari’at itulah yang menjadi barometer seseorang apakah dia ada di maqam tajrid atau asbab? Apabila sampai melewati ketentuan-ketentua syari’at demi mengikuti keinginan dan kesukaan hatinya, maka akan terjebak dalam kondisi yang disebut syahwat yang samar (الشهوة الخفية), atau turun dari keinginan yang tinggi (انحطاط عن الهمة العلية).
2. DALIL-DALIL
– Mengenai maqam tajrid, terdapat dalam surat Al-Muzammil ayat 1-4 :
يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (4) (المزمل: 1 – 4)
ARTINYA :
1. Hai orang yang berselimut (Muhammad),
2. Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),
3. (yaitu) seperduanya atau kurangilah sedikit dari seperdua itu.
4. Atau lebih dari seperdua itu. dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.
– Mengenai maqam asbab, terdapat dalam surat Al-Furqon ayat 20 :
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا (20) (الفرقان: 20)
ARTINYA :
20. dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Dzat yang Maha melihat.
3. CONTOH-CONTOH
Akan kami paparkan beberapa contoh untuk memudahkan mengaplikasikan peraturan-peraturan syari’at yang berkaitan dengan hikmah ke-3 ini :
A. Contoh Ke-1
Sekelompok orang bersiap-siap untuk haji, sebagian ada yang terbebas dari tanggung jawab dan berkonsentrasi untuk melaksanakan ibadah dan ta’at. Dan sebagian lain ada yang menjadi dokter yang bertanggung jawab untuk menangani serta mengobati para jamaah haji. Maka orang pertama (orang berhaji) berada pada maqam yang di sebut Ibnu ‘Atha’illah dengan maqam tajrid dan dia dituntut untuk memperbanyak ibadah, dzikir-dzikir atau banyak-banyak melakukan shalat sunnah. Sedangkan orang nomer dua (seorang dokter) ada pada maqam yang di sebut maqam asbab, dan dia dituntut untuk mengurusi asbab, Jadi para dokter-dokter itu di suruh untuk memperhatikan kesehatan para pasien yang sedang menjalankan ibadah haji itu.
B. Contoh Ke-2
Ada pemuda yang di perintah oleh ayahnya : "Aku akan mengurusi dan memenuhi segala keperluanmu, yang aku kehendaki kamu Cuma konsentrasi mempelajari kitab Allah dan syari’at-Nya!"
Maka santri ini oleh Allah SWT telah di tempatkan di maqam tajrid. Oleh karena itu dia dituntut untuk melakukan hal yang sesuai dengan maqamnya, yaitu mempelajari al-Quran dan ilmu syri’at.
Orang seperti ini tidak boleh dikataan : "Syara’ memerintahmu untuk mencari rizqi dan mencegah untuk melakukan pengangguran". karena yang diperintahkan syara’ untuk pergi ke pasar dan mencari rizqi itu adalah orang-orang yang tidak memiliki tanggung jawab seperti orang tua dan para pejabat. Adapun orang yang telah di beri Allah SWT kebutuhan rizqi, seperti santri maka dia di syari’atkan tidak mencari rizqi. Yang di larang Syara’ adalah jadi pengangguran padahal santri bukan menganggur tetapi waktunya di alihkan dari maqam asbab(cari rizki) ke maqam tajrid (mempelajari agama).
C. Contoh Ke-3
Seseorang yang bekerja di sebuah toko, dia mengetahui jika dia bekarja dari jam 07.00 pagi sampai jam 17.00 sore, maka dia akan mendapatkan uang yang cukup. Maka syara’ akan berkata kepadanya : "Allah SWT telah menempatkan dirimu dari jam 07.00 pagi-jam17.00 sore di maqam asbab dan kamu wajib bekerja dengan keras. Adapun sebelum dan sesudah waktu tersebut, Allah menempatkan dirimu pada maqam tajrid. Oleh karena itu kamu harus menggunakan waktu untuk mendalami pengetahuan tentang Islam dan beribadah.
D. Contoh Ke-4
Seseorang yang sedang berada di Amerika untuk belajar, setelah itu dia berkeinginan mendapatkan harta dan kehidupan baik. Kemudian dia menetap bersama keluarganya dan mencari pekerjaan disana. Apakah yang demikian itu sesuai dengan tuntunan syari’at ?
Realitalah yang akan menjawabnya. Realita yang ada mengatakan bahwa orang yang hidup di Amerika dan Eropa bersama anak-anak dan keluarganya rusak moralnya karena lingkungan di Amerika dan Eropa yang bebas dalam pergaulan. Oleh karena itu semestinya orang tersebut sedang menjalankan maqam tajrid bukan maqam asbab, buktinya jika orang tersebut masih mencari harta di Amerika, maka anak-anaknya akan terjerumus pada pemikiran-pemikiran yang tidak Islami.
Ini semua adalah salah satu kunci hidup yang harus dipegang oleh setiap orang islam yaitu selalu berikhtiar dulu untuk mencari rizki jika tak dibebani dengan tanggung jawab seperti keluarga. Tapi jika belum terbebani, sebaiknya waktu luang itu digunakan untuk mencari ilmu dan memperdalam agama.