Tradisi menulis tak akan dicapai tanpa didahului tradisi membaca. Baca, baca dan baca. Lalu tulis, tulis dan teruslah menulis,” Mulyadi Kartanegara.
Setiap sesuatu yang ada di dunia ini membutuhkan mitra. Manusia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa adanya peran serta manusia yang lain (makhluk sosial). Hewan tidak akan hidup tanpa adanya makhluk yang lainnya, entah sebagai pemangsa atau yang dimangsa. Begitu juga menulis, dia tidak akan bisa lepas dengan peran aktif membaca. Membaca adalah mitra setia menulis.
Menulis tanpa dibarengi dengan membaca itu ibarat orang buta yang ingin berjalan ke suatu tempat tanpa membawa tongkat. Dia tidak bisa meraba dan senantiasa akan selalu takut untuk melangkah kerena tidak mengetahui ke mana harus melangkahkan kakinya. Dia berjalan ke mana-mana tanpa diketahui arah tujuannya.
Karena saking pentingnya membaca bagi seorang penulis, maka tidak ada ceritanya seorang penulis hebat yang lepas dari bermesraan dengan yang namanya membaca. Entah membaca buku-buku ataupun membaca alam yang kemudian dituangkan ke dalam suatu tulisan. Penulis-penulis hebat tadi adalah kutu buku yang setiap harinya tidak bisa lepas dengan membaca.
Kegemaran membaca banyak dicontohkan oleh penulis-penulis besar Islam. Di antaranya yaitu imam As-Suyuti, salah satu ulama Islam yang ahli dalam berbagai kajian ilmu keislaman. Karena saking lamanya membaca, sampai-sampai matanya mengeluarkan air mata. Begitu juga Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah. Beliau selalu menghiasi waktunya dengan membaca. Membaca selalu dikerjakan hingga tatkala beliau buang hajat di dalam kakus, membaca tidak lepas darinya. Namun di sini, beliau tidak membaca buku atau kitab secara langsung. Akan tetapi beliau menyuruh muridnya untuk membacakan buku di luar kakus, sedangkan beliau mendengarkan bacaan muridnya tadi di dalamnya.
Kegemaran membaca juga dicontohkan oleh salah satu ulama yang hidup di zaman sekarang. Beliau tidak lain adalah Dr. Said Romdhan al-Buthi. Ulama dari Syiria ini selalu membiasakan tradisi membaca, baik di rumah maupun dalam kondisi perjalanan. Buku selalu menjadi teman setianya. Maka tidak heran jika ketiga ulama tadi, karena banyaknya membaca buku menjadikan karya-karya mereka mempunyai nilai lebih yang banyak dijadikan rujukan oleh para ulama di belahan dunia.
Membaca adalah suatu pekerjaan yang telah diperintahkan oleh Allah. Hal ini terbuktikan dengan wakyu pertama yang diturunkan kepada nabi Muhmmad Saw adalah iqra (bacalah). Tentunya membaca dengan arti yang luas.
Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari pembacaan, kita harus memperhatikan situasi dan kondisi pada saat membaca. Situasi yang kondusif sangat diperlukan sekali. Terkadang ada seseorang yang mempunyai minat atau keinginan membaca, namun situasi dan kondisinya tidak mendukungnya. Akhirnya, angan-angan untuk membaca secara maksimal tidak terjadi. Terkadang juga ada seseorang yang situasi dan kondisinya mendukung, akan tetapi dia tidak mempunyai keinginan untuk membaca. Imbasnya dia tidak jadi membaca. Sehingga dari kedua konsep ini perlu adanya penggabungan. Salah satu caranya dengan menyediakan tempat-tempat yang kusus untuk membaca. Terlebih tempat yang jauh dari kegaduhan dan keramaian. Situasi dan kondisi seperti ini dibumbuhi dengan minat membaca yang kuat.
Lingkungan sangat mempengaruhi seseorang yang hidup di dalamnya. Dia dapat berperan aktif dalam membentuk karakter dan kepribadian orang. Jika lingkungan yang ditempati penuh dengan orang-orang yang gemar membaca, niscaya sinyal ghirah untuk membaca akan mudah timbul. Begitu juga sebaliknya. Davidj Swaretz berkata, “Kita adalah produk dari lingkungan.” Lingkungan yang positif akan menimbulkan hasil yang positif, dan lingkungan yang negative akan membuahkan hasil yang negative pula.
Keingin tahuan seseorang terhadap suatu cabang ilmu pengetahuan juga dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk menjadikan orang gemar membaca. Pikirannya akan selalu dihantui perasaan penasaran jika dia belum menemukan suatu jawaban yang mengganjal di benak pikirannya tadi. Banyak buku-buku yang harus ia baca untuk menghilangkan kemuskilan dan memperluas wawasan keilmuan.
Ketika bahan bacaan sudah banyak, sudah mengendap di alam pikiran, tugas selanjutnya adalah mengeluarkannya dengan diamalkannya dalam keseharian atau diabadikan dengan tulisan. Jika tidak demikian, maka ilmu yang mengendap di alam pikiran tadi akan menjadi sebuah penyakit. Dia bagaikan pohon yang seharusnya berbuah, akan tetapi tidak jadi berbuah. Hidupnya hanya akan meresahkan yang memiliki pohon. Swam Vivekananda berkata, “Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan. Pakailah pengetahuanmu untuk diamalkan.”
Mengkaryakan ilmu yang sudah kita baca, berarti kita sudah ikut sumbangsih agar ilmu tersebut ada sepanjang masa. Pramudia Ananta Toer mengatakan, ”Tulislah sesederhana apapun ide fikiranmu, kerena hal itu akan menjadikanmu utuh sepanjang sejarah. Sehebat apapun ide fikiran seseorang, tetapi jika hal itu hanya ada dalam kata-kata ucapan, maka ia akan musnah sedetik sesudah orang itu mengatakannya.”
Bagi umat Islam, membaca dan menulis dapat menjadi suatu ibadah jika diniatkan untuk berdakwah di jalan Allah dengan penuh keikhlasan. Membaca dan menulis dapat mengantarkan menuju surga ilahi. Banyak ulama-ulama yang memberi contoh dalam hal tersebut. Sehingga tidak mengherankan jika prolog dan epilog di dalam kitab karya ulama terdapat kata-kata agar diterima di sisi-Nya (ikhlas). Bukan semata-mata karena ingin dunia dan sejenisnya.