((ما من نفس تبديه إلا و له قدر فيك يمضيه))
“Setiap nafas yang engkau perlihatkan, pasti telah tercatat di dalam ketentuan-ketentuan Allah SWT yang dilangsungkan untukmu.”
1. Penjelasan
Nafas ialah udara yang naik dan keluar dari rongga dada serta turun dan masuk ke dalamnya. Nafas terdiri dari proses penghirupan dan penghembusan. Kita harus tahu bahwa kehidupan manusia hanyalah kumpulan nafas-nafas yang ia hembuskan. Hal itu karena seseorang hanay akan melangsungkan perkataan, pekerjaan dan segala bentuk kegiatannya di tengah-tengah nafas yang ia habiskan.
Secara tak langsung, Ibnu ‘Athaillah berkata, “Wahai anak Adam, setiap perubahan dan segala keadaan yang ada pada dirimu, baik kecil atau besar, samar ataupun jelas, semua itu berada dalam qadha’ dan qadar Allah ‘Azza wa Jalla. Artinya, setiap nafas yang engkau hirup lalu kau hembuskan pasti telah tercatat di dalam pengetahuan Allah SWT tentang dirimu.
Hakikat tersebut merupakan bekal yang sangat berharga bagi kita untuk mencari ketenangan hingga akhirnya membuahkan perasaan lega dan puas. Hanya saja kita tidak boleh melupakan keniscayaan untuk mempergunakan sebab dan media/perantara, bukan sebagai pegangan utama namun sebagai bentuk tata karma kita kepada Alla SWT yang telah menciptakan keteraturan alam sesuai dengan dasar-dasar yang telah digariskan-Nya.
Seorang muslim akan selalu bangkit menunaikan undang-undang taklif yang telah ditetapkan Allah ‘Azza wa Jalla. Ia akan mencari segala sesuatu melalui perantaraan media yang telah tersedia. Jika kemudian ia mencapai tujuannya, maka ia akan memuji kepada Allah SWT dan meyakini bahwa apa yang ia peroleh hanyalah anugerah dari-Nya. Namun jika tak mampu memperoleh sasaran, maka ia akan pasrah kepada ketentuan Allah SWT dengan disertai keyakinan bahwa apa yang ia inginkan memang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan begitu ia akan terbebas dari perasaan risau, gelisah ataupun kebingungan dan ia tetap mengingat firman Allah SWT,
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah:126)
Dengan keyakinan di atas, seorang muslim pasti berusaha melaksanakan syari’at-syari’at Allah ‘Azza wa Jalla, tak peduli apakah ia harus mempertaruhkan raga dan kesenangannya, harta atau bahkan kehidupannya sekalipun. Hal ini kaena ia sadar bahwa semua yang telah tercatat dalam ketentuan Allah SWT pesti akan terlaksana dengan sempurna, baik ia enggan menjalani ataupun ia menerima dan maju dengan gagah berani.
Akhirnya rasa malas tak akan menghinggapinya, karena ia tahu bahwa Allah SWT telah memrintahkan dirinya untuk berbuat dan berjuang sekuat tenaga demi mencapai tujuan sepanjang tujuan tersebut merupakan sesuatu yang disyari’atkan. Selain itu ia juga sadar bahwa langkah untuk maju tidaklah memerlukan rasa takut terhadap bahaya dan akibat yang akan terjadi karena takdir dan ketentuan Allah SWT pasti terjadi sesuai dengan batas-batasnya.
Selanjutnya, seseorang yang maju melaksanakan segala sesuatu pasti akan selalu menetapkan timbangan hukum-hukum syari’at tanpa rasa khawatir ataupun takut atas bahaya yang akan datang. Kenyataan seperti ini bisa kita lihat dengan jelas dalam kehidupan umat islam pada zaman dahulu melalui proses jihad dan dakwah yang sangat gencar untuk menyebarkan dan menegakkan dasar-dasar agama islam, baik yang berhubungan dengan masalah keyakinan ataupun tentang peradaban.
Mereka telah menuliskan perumpamaan yang sangat mengagumkan mengenai proses pengorbanan, baik dengan harta benda, kehidupan, berpisah dengan tanah air ataupun melalui perjuangan menghadapi berbagai bahaya dan rintangan. Mereka adalah orang-orang yang telah terkubur dalam pemakaman-pemakaman yang tersebar di segenap penjuru wilayah-wilayah islam. Di mana sebelumnya wilayah-wilayah tersebut sama sekali tidak mengenal apa itu islam.
Jika engkau mau bertanya kepada dirimu apa sebenarnya rahasia yang mendorong mereka melakukan semua itu, pasti dengan mudah engkau akan mengerti bahwa rahasianya ialah kesanggupan mengakkan syariat Allah SWT serta menganggap remeh dan enteng atas segala macam rintangan. Semua ini akan muncul dari satu keyakinan bahwa segala sesuatu yang akan di hadapi seorang manusia dalam hidupnya hanyalah sebagai bukti kebenaran qadha’ dan qadar Allah ‘Azza wa Jalla.
2. Dalil
"قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: كل شئ بقدر حتى العجز و الكيس (رواه مسلم و أحمد من حديث عبد الله بن عمر)
“Rasulullah SAW bersabda:”Segala sesuatu itu ada (menurut) ketentuannya, bahkan mengenai kelemahan dan kecerdasan.”(HR. Muslim, Ahmad dari riwayat Abdullah ibn ‘Umar)
Dari hadits di atas kita bisa mengerti dengan jelas bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan manusia baik yang bersifat ikhtiari (pilihan) ataupun dharuri (tidak dapat dihindari), semuanya berada dalam pengetahuan Allah SWT dan pasti terlaksana pada waktu dan posisi yang telah ditentukan-Nya. Kehidupan adalah sebuah cermin dari takdir yang hanya diketahui Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak ada sedikitpun peristiwa yang luput atau keluar dari cermin tersebut.
Hanya saja sangat disayangkan karena masih banyak umat islam yang belum memahami substansi di atas. Mereka bertanya dan terus bertanya mengenai segala sesuatu yang mereka jumpai, apakah hal ini termasuk qadha’ dan qadar?
Pertanyaan ini kemudian menimbulkan kesimpulan yang keliru dalam pikiran mereka. Lebih lanjut mereka berkata bahwa qadha’ dan qadar hanya terkait dengan peristiwa-peristiwa yang tidak disertai oleh sebab-sebab yang bisa dirasakan dan dimengerti. Artinya, kalau ada sebuah perkara yang selalu bersandar kepada sebab tertentu, maka ia sama sekali tidak berhubungan dengan qadha’ dan qadar. Akhirnya para ahli hukum dan orang-orang yang mendukungnya menjadikan pemahaman tersebut sebagai dasar untuk mengklasifikasikan adanya perkara yang mempunyai sebab dan perkara tanpa sebab.
“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka”.(QS. Al Isra’: 13)
Pada hakikatnya, setiap orang yang hidup di dunia ini telah di anugerahi akal pikiran dan naluri pilihan (ikhtiar) oleh Allah SWT. Jika kemudian ia menindaklanjuti pilihan yang telah ia tetapkan dengan berusaha sekuat tenaga menempuh jalan untuk mencapainya, maka hal itulah yang menjadikan ia memperoleh kebahagiaan ataupun kebinasaan.
Meskipun Allah ‘Azza wa Jalla mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi dalam kehidupan seorang manusia, namun ilmu Allah ini tidaklah menyebabkan kebaikan atau keburukan yang menimpanya. Hal itu karena Allah SWT telah memberikan hak untuk memilih kepada setiap insan serta kekuatan untuk merealisasikan pilihan tersebut.
3. Qadha’ dan qadar
Qadha’ adalah pengetahuan Allah SWT tentang segala sesuatu yang akan terjadi di alam semesta, termasuk hal-hal yang bersifat alami ataupun perbuatan-perbuatan manusia tanpa terkecuali, baik yang ikhtiari maupun dharuri. Sedangkan qadar ialah terjadinya segala sesuatu sesuai dengan pengetahuan Allah ‘Azza wa Jalla.
Dengan demikian, qadha’ sama sekali tidak berhubungan dengan paksaan ataupun pilihan seperti yang menjadi persangkaan kebanyakan orang selama ini. Hal itu karena qadha’ adalah ilmu, sedangkan ilmu tidaklah menimbulkan paksaan maupun pilihan. Selanjutnya, perkara yang terkait dengan ilmu Allah SWT itu terbagi dalam 2 kategori:
a) Perkara-perkara yang akan diciptakan Allah ‘Azza wa Jalla secara natural dan tidak berhubungan dengan ikhtiar manusia. Misalnya peristiwa-peristiwa yang sering disebut sebagai alamiah seperti banjir, gempa, perubahan iklim, proses perkembangan tumbuhan atau peristiwa-peristiwa yang di alami seorang manusia dan tidak bisa di tolak semacam kelahiran, kematian, sakit, kantuk dan lain-lain.
b) Perkara-perkara yang akan diciptakan Allah SWT sesuai dengan keinginan dan pilihan manusia yang kemudian ia tindaklanjuti. Contohnya adalah pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan seseorang atas dasar pilihan hatinya. Peran manusia dalam hal-hal semacam ini ialah mengarahkan maksud dan menentukan ketetapan. Dan peran Allah ‘Azza wa Jalla -jika boleh mengatakan- adalah menciptakan maksud dan pilihan yang telah diputuskan oleh orang tersebut.
Karena 2 kategori yang tersebut di atas mirip perkara-perkara yang diketahui oleh Allah SWT, maka berarti juga masuk dalam ruang lingkup qadha’. Sebabnya ialah karena qadha’ merupakan ilmu Allah ‘Azza wa Jalla tentang segla sesuatu yang akan terjadi dalam semesta raya ini.
Hanya saja banyak saudara-saudara kita yanag memeluk islam atas dasar taqlid (ikut-ikutan) masih kurang atau bahkan belum memahami permasalahan qadha’ qadar ini. Akibatnya mereka lalu bertanya, “Kalau memang Allah SWT telah mengetahui lebih dahulu bahwa aku akan melakukan maksiat kepada-Nya, berarti Dia sendiri yang memaksaku untuk maksiat?”
Pertanyaan semacam ini sering terlontar dari mulut orang-orang yang dianggap sebagai cendekiawan atau bahkan ahli filsafat sekalipun. Mereka tak mau berpikir sejenak bahwa ilmu itu hanyalah sesuatu yang berfungsi untuk mengetahui. Lain daripada itu, ilmu tak akan menimbulkan efek atau dampak apapun. Perumpaan ilmu ialah seperti sinar yang menerangi jalan di hadapan kita sehingga kita bisa melihat dengan jelas bagian mana yang akan kita lalui.
Sebagai contoh kecil, seandainya engkau mempunyai seorang anak yang sedang bersiap-siap untuk memasuki sekolah lanjutan, engkau menasehati dan menganjurkan agar ia selalu giat dalam belajar dan tidak menunda-nunda waktu sedikitpun.
Setelah tes ujian selesai, ternyata sang anak dinyatakan gagal. Dalam keadaan seperti ini, kalau saja engkau bertnaya kepadanya, ”Sungguh aku telah mengetahui bahwa kesuksesan itu tidak akan pernah engkau peroleh”. Apakah patut bila ia kemudian menjawab, “Kalau begitu, engkau berarti yang menyebabkan kegagalanku?”
Kalau ada orang tua yang mengetahui bahwa anaknya akan sukses, hal itu bukanlah penyebab kesuksesan yang diraih si anak. Begitu juga, bila sang ayah tahu bahwa anaknya akan gagal, maka hal ini sama sekali tidak menyebabkan timbulnya kegagalan sang anak tersebut. Yang bisa menyebabkan semua itu adalah si pelaku sendiri, apakah ia memilih kesuksesan atau malah sebaliknya memilih kegagalan.
4. Kesimpulan
Allah SWT adalah Dzat yang menciptakan alam semesta. Segala sesuatu yang ada di dunia ini, besar ataupun kecil semuanya pasti berada dalam ruang lingkup pengetahuan Allah ‘Azza wa Jalla. Sekecil apapun perkara yang terjadi, Allah pasti mengetahuinya dan Allah pula yang menciptakannya.
Pengetahuan Allah SWT tentang hal-hal yang akan terjadi ini disebut qadha’. Sedangkan pelaksanaan dan penciptaan atas segala sesuatu yang berada dalam ruang lingkup qadha’ disebut qadar. Seorang muslim yang membekali dirinya dengan keyakinan adanya qadha’ dan qadar akan menjalani kehidupan ini dengan penuh ketenangan. Tak ada bahaya atau akibat yang ia khawatirkan karena ia tahu bahwa semua ada karena takdir Allah SWT.
Ia akan selalu berusaha sekuat tenaga menerapkan ajaran-ajaran islam dalam kehidupan serta berani mengorbankan semua yang ia miliki demi tegaknya islam. Tak peduli apapun yang terjadi, ia akan tetap maju dengan gagah berani, karena ia yakin bahwa perkara yang telah ditentukan Allah SWT pasti terjadi, baik ia menolaknya ataupun menerima dengan senang hati.