Pesantren sudah ada sejak ratusan tahun silam. Ia adalah model pendidikan yang pertama dan tertua yang ada di Indonesia. Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan memegang prinsip bahwa tujuan utama sebuah pembelajaran adalah liridhoillah. Dan selama itu pesantren telah terbukti mencetak manusia-manusia yang berakhlakul karimah, bermanfaat untuk masyarakat, dan senantiasa menerapkan prinsip-prinsip kejujuran dalam kehidupan sehari.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, materi yang dikaji di pesantren adalah ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin), seperti fiqih, nahwu-shorof, tafsir, hadist, tauhid dan lain-lain. Referensi utama yang digunakan adalah kutub turats karya salafus sholeh. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi perhatian lebih banyak. Hal itu karena, ilmu nahwu dipandang sebagai ilmu kunci. Untuk bisa membaca dan memahami kitab seseorang harus menguasi ilmu nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Namun pada akhir-akhir ini, kondisi memprihatinkan tengah dihadapi masyarakat pesantren. Sebagai sebuah respon atas perkembangan zaman, masyarakat modern menginginkan perubahan terjadi dalam diri pesantren. Masyarakat memandang zaman telah berkembang menuju era globalisasi. Mereka menuntut pesantren sebagai institusi pendidikan untuk melakukan akselerasi dan transformasi ke arah perkembangan tersebut. Karena alasan inilah pesantren semakin ditinggalkan oleh masyarakat, karena beberapa anggapan: Pertama, masyarakat santri di pesantren dipahami sebagai kelompok yang semata-mata berlajar agama dan kitab-kitab salaf tanpa peduli pada masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat umum. Kedua, dunia santri dan pesantren dicitrakan sebagai dunia yang tertutup sehingga dekat dengan keterbelakangan, kekumuhan, dan kebodohan atas perkembangan dunia modern. Ketiga. Pola pendidikan pesantren dianggap tidak mampu memenuhi pasar kerja. Pandangan ini menjadikan pesantren dipandang tidak efektif sebagai sebuah lembaga pendidikan yang mampu merespon tuntutan zaman. Di latarbelakangi hal itu, muncullah pesantren-pesantren baru atau pesantren lama yang berusaha menafsirkan tuntutan masyarakat dalam tindakan aktif, dengan menerapkan pola dan sistem pendidikan modern, yaitu perpaduan kurikulum antara mata pelajaran berbasis ilmu agama dan mata pelajaran berbasis pengetahuan umum. Pesantren model ini telah mengadaptasi sistem pendidikan modern sebagai bentuk respon atau penyesuaian terhadap tantangan zaman. Perpaduan semacam itulah yang sekarang diminati oleh sebagian masyarakat. Mereka tidak lagi setuju pada konsep kurikulum yang hanya berorientasi pada pembelajaran ilmu-ilmu agama dan etika bermasyarakat. Dalam perkembangannya terjadi perubahan signifikan dalam transformasi manhaj pesantren ini. Terjadi kesenjangan dan ketidakseimbangan paradigma, kerangka berpikir, antara aliran tradisional dan modern yang terkadang melahirkan konflik khilafiyah yang kontraproduktif. Maka jangan heran apabila generasi-generasi Islam sekarang kurang memenuhi standard intelektual, dan sangat logis sekali apabila sekarang banyak bermunculan pemikir-pemikir baru yang Liberal baik dari kalangan pesantren maupun Universitas Islam yang notabene dimotori oleh alumnus-alumnus pesantren yang ketika dipesantren tidak didasari dengan dasar ruhani yang kuat. Transformasi ini juga ikut andil dalam membidani lahirnya paradigma liberalis kebarat-baratan di kalangan santri. Yaitu golongan antikonservatif yang telah muak berada pada kejumudan yang dirasakanya di pondok. Sehingga ketika ia melihat suatu ideologi kebebasan di luar lingkungannya, terjadi euforia yang berdampak pada hijrahnya paradigma. Mereka lebih merasa bangga ketika paradigma pemikirannya bermuara dari akar-akar filosof barat, figur-figur lokal yang liberal ketimbang mengambil ayat-ayat al-Qur’an Hadist-hadist nabi, atau maqolah-maqolah ulama’. Parahnya lagi ketika mereka mendengar teriakan-teriakan yang berbau salaf, dengan sangat tergesa-gesa mereka menutup rapat-rapat telinganya seolah mendengar suara yang memanggil ke masa lalu. Mereka anggap idiologi salaf seolah hal yang sudah basi, kadaluarsa dan tidak relevan lagi. Mereka menganggap kaum sarungan (santri) yang setia dengan kajian lughowi dan atau waqi’i serta manhaj kitab-kitab salaf yang ketat, seolah sebagai sisa-sisa dari konteks sosial dan politik masa lalu (jahiliyyah). Mereka mencoba mengkontekskan produk-produk salaf dengan teori modern. Hal yang ironis terjadi, disatu sisi penguasaan pada manhaj ala pondok pesantren belum mumpuni yang berefek pada tidak maksimalnya pemahaman tentang produk salaf yang menjadi kajian di pesantren, mereka sudah mencoba mengkontekskan hasil interpretasi yang tidak maksimal tadi. Jangankan interpretasi yang maksimal, untuk membaca teks-teks karya salafus sholeh inipun mereka masih belum fasih. Jadi, hasil interpretasi yang berusaha mereka kontekskan bukan didasari dengan dasar teori yang kuat, suatu hal yang tidak didasari dengan dasar teori yang kuat akhirnya hanya akan menghasilkan produk pemahaman yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Produk inilah yang berusaha mereka tafsirkan dalam bahasa keilmuan modern. Siapa yang berpegang pada teori jahiliyah sekarang? Fenomena inilah yang ditakutkan oleh pesantren salaf, ketika dia harus berubah mengikuti tuntutan masyarakat. Betapa banyak kalangan santri yang berubah jadi nyeleneh setelah mengenal ideologi-ideologi yang berkembang dari belahan dunia Barat. Tetapi Jangan diartikan bahwa kita sebagai santri tidak tepat mempelajari ilmu-ilmu kekinian, justru sebaliknya kita harus memahami hal-hal tersebut karena agar mampu membawa ajaran salaf as shalih sebagai ajaran pure of life. Akan tetapi untuk mencari menu tambahan tersebut ada fase-fase tertentu, ketika basic Islam sudah tertanam dalam hati yang paling dalam dan mengakar pada pikiran.