II. 3. LIBERALISASI SYARI’AT ISLAM
Inilah aspek liberalisasi yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’i dan pasti, di bongkar dan dibuat hukum baru yang di anggap sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah "Kontekstualisasi Ijtihad". Para tokoh liberal biasanya memang menggunakan metode "Kontekstualisasi" sebagai mekanisme dalam merombak hukum Islam. Sebagai contoh, salah satu hukum Islam yang banyak dijadikan objek Liberalisasi adalah hukum Islam dalam bidang keluarga, Misalnya dalam masalah perkawinan antar agama, khususnya antara muslimah dengan laki-laki non-muslim.
Dalam sebuah tulisannya, Azyumardi Azra menjelaskan metode kontekstualisasi yang dilakukan oleh gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang dipelopori Nurcholish Madjid:
"Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan â€?tradisi’ (turats) dalam satu bingkai analisis yang kritis dan sistematis. Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-Qur’an; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks kitab suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya."
"Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan â€?tradisi’ (turats) dalam satu bingkai analisis yang kritis dan sistematis. Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-Qur’an; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks kitab suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya."
Kontekstualisasi para pembaru Islam ala Nurcholish Madjid ini tidaklah sama dengan teori Asbabun Nuzul yang dipahami oleh kaum Muslimin selama ini dalam bidang Ushul Fiqh. Tetapi, Azyumardi Azra memberikan legitimasi dan pujian terhadap metode Nurcholish Madjid:
"Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat esoteris dan eksoteris. Dengan sangat bagus dan distingtif ia bukan sekedar berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu. Maka, hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syari’ah atau fiqh dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqh dalam perkembangan zaman."
Apa yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqh yang mendalam oleh Nurcholish Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali tidak berdasar. Nurcholish sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqh dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan metode Hermeneutika untuk menafsirkan al- Qur’an. Misalnya, saat pidato kebudayaan di TIM (Taman Ismail Marzuki), 21 Oktober 1992, Nurcholish mempromosikan pendapat yang lemah tentang Ahlul Kitab, dengan mengatakan:
"Dan patut kita camkan benar-benar pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla sebagaimana dikutip Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian sebagai Ahlul Kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut dengan jelas dalam al-Qur’an serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci."
Pendapat Nurcholish ini sangat lemah, dan telah dibuktikan kelemahannya, misalnya, oleh Dr. Muhammad Galib dalam disertasinya di IAIN Jakarta (yang juga diterbitkan oleh Paramadina) dan oleh Dr. Azizan Sabjan, dalam disertasinya di ISTAC Malaysia. Namun, Nurcholish tidak peduli dengan koreksi dan kritik, dan tidak pernah merevisi pendapatnya. Prestasi kaum pembaru di Paramadina dalam merombak hukum Islam lebih jelas lagi dengan keluarnya buku Fiqih Lintas Agama (FLA), yang sama sekali tidak apresiatif terhadap syariat. Bahkan, merusak dan menghancurkannya. Misalnya, dalam soal perkawinan antar agama, buku FLA menulis:
"Soal pernikahan lelaki non Muslim dengan wanita Muslimah merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dalam konteks tertentu,, diantaranya:
Pertama, konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslimah boleh menikah dengan laki-laki non Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Dan pernikahan beda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat.
Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (al-mawaddah) dan tali sayang (al-rahmah). Di tengah rentannya hubungan antar agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian."
Ketiga, Semangat yang dibawa islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh al-qur’an sejak larangan pernikahan dengan orang musyrik, lalu membuka jalan bagi pernikahan dengan ahli kitab merupakan sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya, kita harus melihat agama lain bukan sebagai kelas ke-dua, dan bukan pula ahluddzimmah dalam arti menekan mereka, melainkan sebagai warga negara.
Cakupan batasan ahli kitab mengalami perkembangan pada masa tabiin. Abu Al-Aliyah (W 39H) mengatakan bahwa kaum Shabiin adalah kelompok ahli kitabyang membaca kitab suci zabur,. Imam Abu Hanifah (W 150 H) dan ulama lain dari madzhab Hanafi serta sebagian madzhab Hambali berpendapat, siapapun yang mempercayai salah satu nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahli kitab. Tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani saja.
Menurut imam Assyafi’i (W. 204 H) ,istilah ahli kitab hanya menunjuk pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari keturunan Bani Israil. alasannya, Nabi Musa as dan Nabi Isa as hanya di utus kepada Bani Israil, tidak kepada bangsa-bangsa selainnya. karenanya, dalam pandangan ini, bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, begitu pula orang-orang Kristen di Indonisia ,tidak termasuk ahli kitab. selain itu al-quran (al-Ma’idah:5) memakai redaksi "Min qoblikum" (sebelum kamu). dengan demikian, mereka yang menganut agama Yahudi dan Nasrani selain keturunan Bani Israil tidak di kategorikan ahli kitab. sedangkan at-Tabari (W. 310 H) memahami termasuk ahli kitab secara idiologis. menurutnya, mereka adalah para pemeluk agama Yahudi dan Nasrani dari keturunan siapapun mereka .
Dengan demikian, konotasi ahli kitab hanya terbatas pada komunitas Yahudi dan Nasrani saja. sekiranya Majusi termasuk ahli kitab, Rasulullah SAW tidak akan memerintahkan para shahabat memperlakukan mereka seperti halnya ahli kitab. begitu pula surat- surat dakwah yuang beliau kirim kepada sejumlah penguasa diluar semenanjung Arabia, memberikan petunjuk bahwa ahli kitab hanya terbatas pada kaum Yahudi dan Nasrani. surat-surat tersebut juga mengindikasikan bahwa islam adalah agama dakwah . seandaiya status mereka itu sama dengan umat islam, niscaya Rasululloh SAW tidak akan mengirimkan surat-surat dakwah itu kepada mereka untuk mengajak mereke masuk islam.[1]
?
Jadi, pendapat Azyumardi Azra tentang hebatnya kaum pembaru Islam yang dimotori Nurcholish Madjid adalah sama sekali tidak terbukti. Sebagai salah seorang cendekiawan yang sangat populer, Azra telah melakukan kekeliruan besar dengan cara memberikan legitimasi berlebihan terhadap gerakan pembaruan Islam yang telah terbukti sangat destruktif terhadap khazanah pemikiran Islam. Dengan alasan melakukan kontekstualisasi, maka kaum liberal melakukan penghancuran dan perombakan terhadap hukum-hukum Islam yang sudah pasti (qath’iy), seperti hukum perkawinan Muslimah dengan laki-laki non Muslim.
?????§ ?£?????‘???‡???§ ?§?„?‘???°?????†?? ?¢???…???†???ˆ?§ ?¥???°???§ ?¬???§?????ƒ???…?? ?§?„?’?…???¤?’?…???†???§???? ?…???‡???§?¬???±???§???? ?????§?…?’????????†???ˆ?‡???†?‘?? ?§?„?„?‘???‡?? ?£???¹?’?„???…?? ?¨???¥?????…???§?†???‡???†?‘?? ?????¥???†?’ ?¹???„???…?’?????…???ˆ?‡???†?‘?? ?…???¤?’?…???†???§???? ?????„???§ ?????±?’?¬???¹???ˆ?‡???†?‘?? ?¥???„???‰ ?§?„?’?ƒ?????‘???§?±?? ?„???§ ?‡???†?‘?? ????„?‘?Œ ?„???‡???…?’ ?ˆ???„???§ ?‡???…?’ ????????„?‘???ˆ?†?? ?„???‡???†?‘?? ?ˆ???¢???????ˆ?‡???…?’ ?…???§ ?£???†?’?????‚???ˆ?§ ?ˆ???„???§ ?¬???†???§??? ?¹???„?????’?ƒ???…?’ ?£???†?’ ?????†?’?ƒ??????ˆ?‡???†?‘?? ?¥???°???§ ?¢?????????’?????…???ˆ?‡???†?‘?? ?£???¬???ˆ?±???‡???†?‘?? ?ˆ???„???§ ?????…?’?³???ƒ???ˆ?§ ?¨???¹???µ???…?? ?§?„?’?ƒ???ˆ???§?????±?? ?ˆ???§?³?’?£???„???ˆ?§ ?…???§ ?£???†?’?????‚?’?????…?’ ?ˆ???„?’?????³?’?£???„???ˆ?§ ?…???§ ?£???†?’?????‚???ˆ?§ ?°???„???ƒ???…?’ ????ƒ?’?…?? ?§?„?„?‘???‡?? ??????’?ƒ???…?? ?¨?????’?†???ƒ???…?’ ?ˆ???§?„?„?‘???‡?? ?¹???„?????…?Œ ????ƒ?????…?Œ (10)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. Al Mumtahanah : 10)
?ˆ???„???§ ?????†?’?ƒ??????ˆ?§ ?§?„?’?…???´?’?±???ƒ???§???? ??????‘???‰ ?????¤?’?…???†?‘?? ?ˆ???„???£???…???©?Œ ?…???¤?’?…???†???©?Œ ?®?????’?±?Œ ?…???†?’ ?…???´?’?±???ƒ???©?? ?ˆ???„???ˆ?’ ?£???¹?’?¬???¨?????’?ƒ???…?’ ?ˆ???„???§ ?????†?’?ƒ??????ˆ?§ ?§?„?’?…???´?’?±???ƒ?????†?? ??????‘???‰ ?????¤?’?…???†???ˆ?§ ?ˆ???„???¹???¨?’?¯?Œ ?…???¤?’?…???†?Œ ?®?????’?±?Œ ?…???†?’ ?…???´?’?±???ƒ?? ?ˆ???„???ˆ?’ ?£???¹?’?¬???¨???ƒ???…?’ ?£???ˆ?„???¦???ƒ?? ?????¯?’?¹???ˆ?†?? ?¥???„???‰ ?§?„?†?‘???§?±?? ?ˆ???§?„?„?‘???‡?? ?????¯?’?¹???ˆ ?¥???„???‰ ?§?„?’?¬???†?‘???©?? ?ˆ???§?„?’?…?????’?????±???©?? ?¨???¥???°?’?†???‡?? ?ˆ???????¨?????‘???†?? ?¢???????§?????‡?? ?„???„?†?‘???§?³?? ?„???¹???„?‘???‡???…?’ ?????????°???ƒ?‘???±???ˆ?†?? (221)
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran." (QS. Al Baqarah : 221)
Jadi, diperbolehkannya pernikahan lelaki muslim dengan perempuan ahlul kitab apabila perempuan tersebut dari keturunan Bani Isra’il, maka diharuskan nenek moyangnya tidak masuk agama Yahudi-Nasrani setelah agama tersebut dimansukh dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW, Adapun kalau perempuan tersebut bukan dari keturunan Bani Israil maka harus benar-benar diketahui bahwa nenek moyangnya masuk agama Yahudi-Nasrani sebelum agama tersebut dimansukh dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW. disamping disyaratkan tidak akan mengganggu keyakinan agamanya dan agama putra-putrinya, apalagi adanya misi kristenisasi.
?§?„?’?????ˆ?’?…?? ?£??????„?‘?? ?„???ƒ???…?? ?§?„?·?‘?????‘???¨???§???? ?ˆ???·???¹???§?…?? ?§?„?‘???°?????†?? ?£???ˆ?????ˆ?§ ?§?„?’?ƒ???????§?¨?? ????„?‘?Œ ?„???ƒ???…?’ ?ˆ???·???¹???§?…???ƒ???…?’ ????„?‘?Œ ?„???‡???…?’ ?ˆ???§?„?’?…????’?µ???†???§???? ?…???†?? ?§?„?’?…???¤?’?…???†???§???? ?ˆ???§?„?’?…????’?µ???†???§???? ?…???†?? ?§?„?‘???°?????†?? ?£???ˆ?????ˆ?§ ?§?„?’?ƒ???????§?¨?? ?…???†?’ ?‚???¨?’?„???ƒ???…?’ ?¥???°???§ ?¢?????????’?????…???ˆ?‡???†?‘?? ?£???¬???ˆ?±???‡???†?‘?? ?…????’?µ???†?????†?? ???????’?±?? ?…???³???§??????????†?? ?ˆ???„???§ ?…?????‘???®???°???? ?£???®?’?¯???§?†?? ?ˆ???…???†?’ ?????ƒ?’?????±?’ ?¨???§?„?’?¥?????…???§?†?? ?????‚???¯?’ ????¨???·?? ?¹???…???„???‡?? ?ˆ???‡???ˆ?? ?????? ?§?„?’?¢???®???±???©?? ?…???†?? ?§?„?’?®???§?³???±?????†?? (5)
"Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi." (QS. Al Maidah : 5)
Jadi pernyataan mereka bahwa Allah SWT tidak pernah melarang dengan tegas perkawinan lelaki muslim dengan perempuan kafir itu bukti kebodohan yang nyata, karena pikiran dan hati mereka sudah buta.[1]
?
Musdah Mulia, tokoh feminis, juga melakuka perombakan terhadap hukum perkawinan dengan alasan kontekstualisasi. Tapi, berbeda dengan buku Fiqh Lintas Agama, yang menekankan faktor jumlah umat Islam sebagai konteks yang harus dijadikan pertimbangan hukum, Musdah melihat konteks â€?peperangan’ sebagai hal yang harus dijadikan dasar penetapan hukum. Ia menulis:
"Jika kita memahami konteks waktu turunnya Surat Al Mumtahinah Ayat 10 larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mu’min dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangn dimaksud tercabut dengan sendirinya."
Nuryamin Aini, seorang dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta, juga membuat pernyataan yang menggugat hukum perkawinan antar agama:
"Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fikih yang mendasari larangan bagi perempuan Muslim untuk menikah dengan laki-laki nonmuslim. Isu yang paling mendasar dari larangan PBA (perkawinan beda agama, red) adalah masalah sosial politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis."
Entah kenapa, di Indonesia yang mayoritas Muslim, kaum liberal berusaha keras untuk menghancurkan hukum perkawinan antar agama ini, seolah-olah ada kebutuhan mendesak kaum Muslim harus kawin dengan non-muslim. Ulil Abshar Abdalla, di Harian Kompas edisi 18 November 2002, juga menulis: "Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non Islam sudah tidak relevan lagi." Bahkan, lebih maju lagi, Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, kini tercatat sebagai â€?penghulu swasta’ yang menikahkan puluhan, mungkin sekarang sudah ratusan- pasangan beda agama.
Padahal, perlu dicatat, larangan muslimah menikah dengan laki-laki non Muslim sudah menjadi ijma’ ulama dengan dalil-dalil yang sangat meyakinkan, seperti Surat Al Mumtahinah Ayat 10. Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan: "Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap Muslim, dan kesatuan agama bagi setiap Muslimat…."
Demikianlah cara dan siasat kaum liberal di Indonesia dalam merombak hukum Islam, dengan mengubah metodologi ijtihad yang lebih menekankan aspek konteks, ketimbang makna teks itu sendiri. Gagasan-gagasan mereka bisa berlangsung sangat liar tanpa batasan dan teori yang jelas. Mereka bisa menyusun teori konteks itu sekehendak hati mereka..
Ketika hukum-hukum yang pasti dirombak, maka terbukalah pintu untuk membongkar seluruh sistem nilai dan hukum dalam Islam. Dari IAIN Yogyakarta, muncul nama Muhidin M. Dahlan yang menulis buku memoar berjudul Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, yang memuat kata-kata berikut:
"Pernikahan yang dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara anarkis lelah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat menyakitkan. Istilah â€?pelacur’ dan â€?anak haram’ pun muncul dari rezim ini. Perempuan yang melakukan seks di luar lembaga ini dengan sangat kejam diposisikan sebagai perempuan yang sangat hina, luna, lacur, dan tak pantas menyandang harga diri. Padahal, apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercayakan."
Dari Fakultas Syariah IAIN Semarang, bahkan muncul gerakan legalisasi perkawinan homoseksual. Mereka menerbitkan buku berjudul: Indahnya Kawin Sesama Jenis; Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini adalah kumpulan artikel di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, th XI, 2004. Dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia:
"Bentuk riil gerakan yang harus di bangun,1). mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah di rampas oleh negara, 2). memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkanya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homosekseksual dalam menuntut hak-haknya, 3). melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, 4). menyuarakan perubahan UU perkawinan No 1/ 1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita."
Pada bagian penutup buku tersebut, anak-anak fakultas Syariah IAIN Semarang tersebut menulis kata-kata yang tidak pernah terbayangkan oleh seorang Muslim pun:
"Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan."
Mengikuti arus apa yang telah terjadi di dunia Barat, kaum liberal di Indonesia memang mulai melakukan kampanye sistematis untuk melakukan legalisasi perkawinan sejenis. Prof. Siti Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta, misalnya, yang sudah buta hatinya dan kacau pikirannya karena kebanyakan makan uang zionis, dia orang yang secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap legalisasi perkawinan sesama jenis. Dalam satu makalahnya yang berjudul Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta, ia menulis:
"Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay atau lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang â€?given’ atau dalam bahasa fiqh disebut sunnatullah sementara perilaku sesksual bersifat konstruksi manusia. Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi, maa hubungan demikian dapat diterima." (Pembahasan tentang hal ini bisa dilihat dalam Majalah Tabligh MTDK Muhammadiyah, Mei 2008).
Sebuah Jurnal yang juga sangat aktif dalam mengkampanyekan legitimasi homoseksual adalah Jurnal Perempuan, yang juga dimotori oleh aktivis liberal di Indonesia. Pada No. 58, edisi Maret 2008, jurnal ini secara khusus mengangkat tema "Seksualitas Lesbian". Para pendukung perkawinan sesama jenis ini biasanya menggugat kembali penafsiran terhadap kisah kaum Nabi Luth a.s yang dipahami telah diazab karena melakukan praktek homoseksual. "Di sinilah kita perlu pertanyakan kembali kesimpulan tadi, benarkah azab hanya berkaitan dengan masalah moral dan praktek seksual saja?" tulis seorang penulis liberal. "Saya juga menolak apabila "Azab" hanya dikaitkan dengan persoalan moral dan keyakinan belaka."[1]
?
Ancaman liberalisasi Islam di Indonesia, saat ini adalah tantangan yang terbesar yang dihadapi semua komponen umat Islam, baik pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, ormas Islam, lembaga ekonomi Islam, maupun partai politik Islam. Sebab, liberalisasi Islam telah menampakkan wajah yang sangat jelas dalam menghancurkan Islam dari asasnya, baik aqidah Islam, al-Qur’an maupun syariat Islam. Tidak ada cara lain untuk membentengi keimanan kita, keluarga kita, dan jamaah kita, kecuali dengan meningkatkan ilmu-ilmu keIslaman yang benar dan memohon pertolongan kepada Allah SWT. Keimanan yang tangguh dan akhaq yang baik. Selamatkan aqidah Islam dari bahaya liberalisme Islam.
BERSAMBUNG KE BAGIAN III
?