“What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet” (apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia akan tetap berbau wangi).
Kutipan dari William Shakespeare ini mungkin sudah tidak asing bagi telinga kita. Jargon yang dipakai untuk menghilangkan ke-arogansi-an sebuah nama ini merupakan salah satu dari sekian banyak quote yang dipakai oleh mereka yang mengaku kekinian.
Sebenarnya siapakah orang yang bisa dianggap kekinian itu?
Tak ada dlabith pasti dalam menta’rifkan frasa kata kekinian, karena hal itu senantiasa terus berubah-ubah setiap waktu. Hal ini tidak lepas dari sikap anak muda bahkan kalangan tua sekalipun yang kini cenderung latah dengan fenomena yang berkembang di media.
Sebenarnya hal ini tergolong lumrah, karena kita diciptakan dengan dikaruniai akal. Akal manusia diberi stimulus oleh sang pencipta agar peka terhadap gejala-gejala yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Sebagaimana Allah telah berulang kali berfirman :
أَفَلَا تَعْقِلُونَ (الأية)
Tapi terlepas dari itu, sikap dalam menghadapi setiap gejala fenomena itulah yang sebenarnya perlu kita tekankan disini apakah sudah sesuai norma terutama dalam koridor syara’ atau belum.
Tren yang berkembang di Indonesia saat ini adalah masyarakat yang harus up to date. Orang yang cenderung pasif terhadap perkembangan hingar bingar media, entah media massa ataupun social maka dia akan dicap sebagai orang yang kuper. Padahal hal itu tidaklah sepenuhnya benar. Karena adakalanya “diam itu adalah emas”, tetapi ada juga momen ketika kita tidak boleh diam dan harus menyuarakan kebenaran ketika something is wrong. Jadi sudah sepantasnya kita harus berfikir terlebih dahulu sebelum bersikap, antara diam atau berdemo.
Kata “demo” saat ini mungkin terasa panas di telinga netizen, hal ini tak lain dari maraknya berita terkait DKI Jakarta dalam menyambut Pesta Demokrasi yang akan berlangsung disana. Apa urusannya acara yang berlangsung disana menarik perhatian orang kampung dari desa antah berantah di pelosok nusantara?
Ah, tak perlu berdebat kusir. Kita semua tentu tahu apa arti DKI Jakarta bagi Indonesia. Ia adalah “Ibu Kota”. Lalu apa pentingnya bagi mereka yang jauh disana? Jelas. Ibu kota adalah laksana pusat / jantung dari Indonesia itu sendiri, sedangkan kota-kota di seluruh Indonesia hanyalah layaknya organ tubuh manusia yang lain (pelengkap). Kita tentu tahu maqalah populer dari Baginda Nabi saw ini :
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ لَهَا سَائِرُ الْجَسَدِ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Setelah memahami kasus yang menjadi problem di sana, kami menarik benang merah dari semua itu yakni lagi-lagi untuk kesekian kalinya kita kembali terbawa arus perdebatan ranah “Kontekstual vs Esensial”. Yang ujung muaranya adalah fiihi nadzarun, fiihi maa fiihi dan fiihi-fiihi lainnya.
Setelah dulu kita terperosok ke jurang perdebatan arti kosakata wahabiyyah, liberal, pluralisme, revolusi mental, islam nusantara, full day school kini kita dihadapkan pada perang kata “al maidah ayat 51”.
Sebenarnya muara permasalahannya sama, yakni ; tahu akan kebenaran tapi menutup mata seolah enggan menerima kenyataan. Entah karena uang, pangkat, ketenaran atau bahkan kepentingan politik. Hanya itu!.
Ambillah contoh kosakata revolusi mental yang intinya tak lain adalah perwujudan dari merubah moral (akhlak) menuju lebih baik. Hanya karena si A lebih ingin memamerkan kepada dunia bahwa dialah pencetus ide ini seolah-olah ini merupakan hal baru, padahal para ulama’ telah dari dahulu meneruskan estafet pendidikan moral kepada anak didiknya dari para sahabat nabi. Dan akhir yang bisa ditebak, pada akhirnya muncullah pro-kontra atas usaha agar hal ini menjadi viral dimana mana.
Begitu pula yang sedang marak saat ini, kisah tentang ahok “bermain kata” terhadap al maidah ayat 51 tentang pembodohan yang berujung pada anggapan penistaan agama oleh pihak agamis. Meskipun tidak memiliki basic keilmuan agama yang diakui oleh beberapa pihak, pada sisi lain Nusron Wahid aka Nusron Purnomo malah berlagak secara heroik justru membakar api yang sudah membara dengan kontroversinya berkelakar yang tahu maksud arti Al-Qur’an hanyalah allah jadi manusia tidak berhak menafsirinya.
Sebenarnya dari dahulu mereka selalu mengatakan : “semua itu kembali ke esensi makna, jangan dilihat dari segi tekstual atau dzahir saja”, tapi entah mengapa mereka jugalah yang dengan getol justru keuhkeuh menyuarakan slogan ataupun jargon “istilah baru” mulai islam nusantara ataupun islam rahmatan lil ‘alamin seakan akan islam versi sebelumnya itu bukanlah islam yang dibawa Baginda Rasulullah? Apalah arti sebuah nama? Islam ya islam tanpa embel-embel apapun tetap wangi.
Jadi alangkah baiknya kita mengiyakan apa yang diarahkan beliau KH. Maimoen Zubair terkait permasalahan langgam jawa dulu;
“iki bagiane kyai, ojo kok kyai terus golek bolo dewe-dewe ngedu sak kancane arep kon perang karepe dewe. Iki inna lillah wa inna ilaihi roji’un. Saiki seng bahas ora perlu akeh-akeh, gak pelu diramekno, lamun ngeramekno yo seng ahli wae. Ojo sampek :
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Wallahu a’lam.