?§?„???§???„ ?¥?°?§ ?£?µ?¨?­ ???†?¸?± ?…?§?°?§ ?????¹?„ ?ˆ?§?„?¹?§?‚?„ ???†?¸?± ?…?§?°?§ ?????¹?„ ?§?„?„?‡ ?¨?‡
"Al Ghofil (orang yang lupa) ketika bangun pagi selalu berfikir apa yang akan ia kerjakan, dan Al ‘Aqil (orang yang punya akal) selalu berfikir apa yang Allah kerjakan kepadanya".
Al ghofil adalah orang yang punya akal namun tidak bisa menggunakannya. Sedangkan al ‘aqil adalah orang yang punya akal dan bisa menggunakannya. ‘
Ibarat Ibnu ‘athoillah diatas menggunakan kalimah ???†?¸?± yang mengandung makna berfikir atau beri’tiqod. Yang menjadi titik poin pada pembahasan ini adalah i’tiqod atau keyakinan, tidak pada lafadh atau ucapan. Jadi, apabila al ‘aqil berkata : " besok saya akan pergi ke Masjid ", dengan beri’tiqod bahwa Allah lah yang akan menggerakkannya?  ke Masjid, maka ia tidak perlu mengucapkan : " besok Allah akan menggerakkan saya ke Masjid, berbeda halnya dengan al ghofil, yang mana dia tidak tahu hakikat dari I’tiqod ini, maka ia hanya menyandarkan perbuatannya kepada dirinya sendiri tanpa?  adanya i’tiqod atau keyakinan pada Allah.
Pada dasarnya yang wajib kita tanamkan dalam aqidah kita adalah sesungguhnya hanya Allah lah yang membuat pekerjaan atau perbuatan kita. Kita hanya diberi ikhtiar dan kekuatan yang bisa kita gunakan untuk menuai pahala dan taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan dalam firman-Nya :
?„?‡?§ ?…?§ ?ƒ?³?¨?? ?ˆ?¹?„???‡?§ ?…?§ ?§?ƒ???³?¨??
"Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (al baqoroh : 286 )".
Perlu di pahami, bahwa Al ‘Aqil, ini tetap punya cita-cita atau ‘azm tapi nanti kenyataanya terealisasi atau tidaknya ‘azm tersebut?  ia serahkan semuanya pada kehendak Allah, dan yang selalu diminta nya adalah supaya Allah memberikannya i’tiqod yang shohih. Maka dari itu, dalam adab Islam disunnahkan mengucapkan ?¥?† ?´?§?? ?§?„?„?‡ setiap hendak mengerjakan sesuatu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Al Kahfi :

?ˆ?„?§ ???‚?ˆ?„?† ?„?´???¦ ?¥?†?? ???§?¹?„ ?°?„?ƒ ???¯?§ (23) ?¥?„?§ ?£?† ???´?§?? ?§?„?„?‡ ?ˆ?§?°?ƒ?± ?±?¨?ƒ ?¥?°?§ ?†?³???? ?ˆ?‚?„ ?¹?³?‰ ?£?† ???‡?¯???† ?±?¨??
(?„?£?‚?±?¨ ?…?† ?‡?°?§ ?±?´?¯?§ (24
"Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya Aku akan mengerjakan Ini besok pagi, Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah" dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini"(Al Kahfi 23-24)".
Menurut riwayat, asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat di atas adalah ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzul qarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi kepadaku agar Aku ceritakan dan beliau tidak mengucapkan Insya Allah (artinya jika Allah menghendaki), dan sampai besok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan nabi tidak dapat menjawabnya. Maka turunlah ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada Nabi. Allah mengingatkan pula bilamana Nabi lupa menyebut Insya Allah haruslah segera menyebutkannya kemudian. Dan juga firman Allah?  dalam surat Al Ahqof : 9

?‚?„ ?…?§ ?ƒ?†???… ?¨?¯?¹?§ ?…?† ?§?„?±?³?„ ?ˆ?…?§ ?§?¯?±?? ?…?§ ?????¹?„ ?¨?? ?ˆ?„?§ ?¨?ƒ?… ?§?† ?§???¨?¹ ?§?„?§ ?…?§ ???ˆ?­?‰ ?§?„???‘ ?ˆ?…?§ ?§?†?§ ?§?„?§ ?†?°???± ?…?¨???†


"Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan Aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan" (Al Ahqof : 9)"
Jadi, semua terserah kehendak Allah, yang mana I’tiqod ini akan membuahkan?  keyakinan (tidak kagetan). Dengan artian bahwa al â€?Aqil selalu meyakini apa yang telah dipilihkan oleh Allah untuknya adalah baik (khoir). Firman Allah al Baqoroh : 216
?ˆ?¹?³?‰ ?£?† ???­?¨ ?´???¦?§ ?ˆ?‡?ˆ ?´?± ?„?ƒ?… ?ˆ?§?„?„?‡ ???¹?„?… ?ˆ?§?†???… ?„?§ ???¹?„?…?ˆ?†
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui" (al Baqoroh : 216).
???§?† ?ƒ?±?‡???…?ˆ?‡?† ???¹?³?‰ ?§?† ???ƒ?±?‡?ˆ?§ ?´???¦?§ ?ˆ???¬?¹?„ ?§?„?„?‡ ?????‡ ?®???±?§ ?ƒ?«???±?§
"Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" (An Nisa’ :19).
Ketika kita sedang ditimpa musibah, hendaknya yang kita pikirkan jangan hanya penderitannya saja, namun hikmah apa yang terkandung dibalik musibah tersebut, yang mana itu semua mungkin peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga kita tidak lalai kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan yang paling berbahaya adalah jangan sampai kita curiga pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Orang yang ‘aqil (berakal), ia memiliki kesehatan jasmani dan rohani, didunia ini ia selalu ingat bahwa dirinya itu ada dalam skenario yang dijalankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ketika ia mendapatkan kesenangan kemudian kesenangan tersebut ditarik oleh Allah, ia masih merasa senang dan ridho akan ketentuan Allah. Ia mempunyai jiwa yang selalu tenang ( ?†???³ ?§?„?…?·?…?¦?†?© ), jadi ia tidak susah. Dan hal ini merupakan sesuatu yang menakjubkan, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam :

?£?† ?±?³?ˆ?„ ?§?„?„?‡ ?µ?„?‰ ?§?„?„?‡ ?¹?„???‡ ?ˆ?³?„?… ?‚?§?„ : ?« ?¹?¬?¨?§ ?„?£?…?± ?§?„?…?¤?…?† ?¥?† ?£?…?±?‡ ?ƒ?„?‡ ?®???± ?Œ ?¥?† ?£?µ?§?¨???‡ ?³?±?§?? ?´?ƒ?± ?Œ
?ˆ?¥?† ?£?µ?§?¨???‡ ?¶?±?§?? ?µ?¨?± ?Œ ?ˆ?ƒ?§?† ?®???±?§ ?„?‡ ?Œ ?ˆ?„???³ ?°?„?ƒ ?„?£?­?¯ ?¥?„?§ ?„?„?…?¤?…?†
Adapun tingkahnya orang yang ghofil (yang lalai) sesuai dengan yang disebutkan oleh Ibnu ‘Athoillah, ia akan selalu mengandalkan dirinya sendiri, tidak mau tahu dan yang dipikirkannya?  hanyalah dirinya sendiri. Apabila keinginannya tidak terkabul maka ia akan selalu merasa susah. Walaupun dhohirnya kelihatan sehat namun batinnya menderita. Dan penyakit ini bisa tidak diobati kecuali dengan bangkit dari kelalaian dan meresapi serta menancapkan i’tiqod yang dimiliki oleh seorang yang Aqil tersebut diatas. Wallahu A’lam.

BACA JUGA :  HIKMAH 62 : KEBEBASAN MANUSIA
Artikulli paraprakHIKMAH 107 Dua Unsur Penting Seorang Murid
Artikulli tjetërHIKMAH 108 Karamah Hakiki :Istiqomah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini