?§?„???ˆ?§?¶?¹ ?§?„?­?‚???‚?? ?‡?ˆ ?…?§ ?ƒ?§?† ?†?§?´?¦?§ )

?¹?† ?´?‡?ˆ?¯ ?¹?¸?…???‡ ?ˆ???¬?„?‘?‰ ?µ?????‡ )

(" Tawadlu’ yang hakiki adalah tawadlu’ yang tumbuh dengan melihat keagungan Allah, dan sifatNya ")

Hikmah ini sebagai jawaban pada pertanyaan yang datang dari dua hikmah sebelumnya.

A. Pertanyaan dan jawaban

Banyak sekali orang yang bertanya, sebagian mereka berkata : bagaimana caranya seorang muslim bisa tawadlu’ secara haqiqi sedangkan dia tidak pernah melakukan ma’siat, menyakiti orang lain, padahal seseorang bisa melakukan perbuatan tawadlu’ ketika dia ingat atas dosa-dosanya.

Ibnu â€?athoillah menjawab dengan hikmah ini yaitu sesungguhnya tawadlu’ yang hakiki ialah tawadlu’ yang bisa menimbulkan kepada hambaNya tentang kebesaran Allah dan keagungan sifat-sifatNya.

Ketika hati seorang mu’min terisi dengan keagungan Allah, dikarenakan sering berdzikir dan bermuroqobah kepada Allah maka dia merasa bahwa dirinya tidak ada harganya, Hal itu, oleh sebagian â€?ulama disebut dengan Wahdatus Syuhud.

B. Akibat dari tawadlu’ haqiqi

Hati, ketika didalamnya mempunyai rasa mengagungkan Allah, melihat tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukan adanya sang pencipta maka dunia beserta isinya akan sirna dihadapannya dan tidak ingat dengan dirinya, tetapi dihadapannya hanyalah Allah semata, ketika dia sudah sadar dari kefana’annya dan kembali kepada semula maka dia akan merasakan sifat kehambaannya kepada Allah, dan dia juga meyakini bahwa macam-macam anugerah yang dimilikinya itu semua karena Allah, begitu juga dengan amal-amal yang dilakukannya dia tidak melihat nya, hal ini akan mengakibatkan kepadanya mempunyai sifat rasa rendah diri dihadapan Allah, sedangkan mempunyai sifat tersebut tidak akan mungkin terjadi kecuali dengan mempunyai sifat kehambaan kepadaNya.

Seorang muslim yang sudah menemukan dan merasakan nikmatnya beribadah kepada Allah dengan istiqomah sampai pada derajat ma’rifat kepadaNya, sesungguhnya ketika dia melihat ibadah, perbuatan baik yang dilakukannya maka sesungguhnya dia sudah melakukan pekerjaan suluk kepada Allah dan sudah menanamkan rasa kebahagiaaan dihari nanti.

C. Tawadlu’ dan fana’

Apabila Dia merasakan bahwa Ibadah dan pekerjaan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah merupakan suatu beban yang sangat berat, maka dia akan merasakan kelemahan dan kelalaian dalam beribadah, dan jika sifat kehambaannya kepada Allah terus bertambah maka akan tambah pula rasa mengagungkannya kepada Allah dan menyaksikan kebesaranNya. Hal seperti inilah yang bisa menyebabkan fana’ (tidak ingat pada dirinya kecuali Allah).

BACA JUGA :  ADANYA WIRID TANDA ADANYA KEISTIMEWAAN

Sebaik-baiknya derajat fana’ ialah apabila dipandang dari segi sifat kehambaan dan rasa lemah pada dirinya ketika melaksanakan beberapa perintah Allah subhanahu wata’ala sedangkan dia bisa bangkit pada derajat tersebut dengan meminta pertolongan kapada Allah, karena dia merasa bahwa tidak ada kekuatan untuk meninggalkan maksiat dan melaksanakan beberapa perintah Allah kecuali pertolonganNya.

Hal ini, belum bisa mencapai pada derajat menyaksikan Allah dengan hati samapai tidak tahu tentang dirinya dan perbuatannya kecuali yang dia lihat hanyalah Allah, kecuali Allah memberikan rasa keyakinan pada dirinya tentang kesaksiaannya kepada Allah melalui hati, kalau sudah melewati fana’ tersebut pada batas-batas ini maka dia akan masuk pada golongan yang disebut dengan Zadab atau khilaf menurut orang Madura, ketika putra seorang kiyai melakukan hal yang aneh.

Zadab ialah sifat yang bisa menghilangkan rasa ingat pada diri seseorang dari perbuatannya, kecuali yang dia ingat hanyalah Allah dengan meyakinkan bahwa tidak ada kekuatan untuk menjauhi maksiat dan melaksanakan perintah Allah, juga tidak ada tempat dan gerak kecuali dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala.

Dia menegetahui bahwa semua yang dikerjakannya tentang ibadah, perbuatan baik, menjauhi larangan Allah, itu semua adalah anugerah dariNya, Dialah yang menggerakan semua, memberikan ilham kepadanya dan mencegahnya dari laranganNya.

Sehingga, kalau dia mengingat tentang ketha’atannya dan perbuatannya yang bisa mendekatkan diri pada Allah, maka dia tidak akan melihat pada dirinya tentang hal tersebut tetapi dia akan bermunajat kepada Allah : " Ya Allah engkau Dzat yang memberikan anugerah kepada saya, dengan sesuatu yang telah engkau berikan pada saya yaitu perbuatan yang bisa mendekatkan diri pada engkau, dan engkau juga adalah Dzat yang telah memberikan keanugerahan kepada saya dengan sesuatu yang telah engkau jauhkan saya dari dosa-dosa, maka bagaimana saya meminta pahala sedangkan semua yang saya lakukan karena kehendak Allah".

D. Kesimpulan

Setiap orang yang menyaksikan keagungan Allah subhanahu wata’ala, maka nafsunya (keinginannya) menjadi lemah dan tidak ada harga dalam dirinya menyaksikan Allah subhanahu wata’ala, kemudian tidak ada paksaan baginya untuk melakukan tawadlu’.

Artikulli paraprakHikmah 234 Perbedaan tawadlu’ haqiqi dan tidak haqiqi
Artikulli tjetërHikmah 248 Jangan mengharapkan pahala terhadap amal yang sudah diperbuat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini