Ilmu atau pengetahuan adalah sesuatu yang tidak bisa terlepas dari manusia, karena manusia adalah makhluk hidup yang diberikan oleh Allah SWT kemampuan berpikir melalui akal, sehingga nantinya dapat digunakan untuk menyingkap hal-hal yang benar dan buruk bagi kehidupan dunia dan akhirat tentunya, namun tidak hanya itu, Allah juga menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu hal yang nantinya di akhirat akan dimintai pertanggung jawabannya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra’ ayat 16 yang berbunyi :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦
Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu miliki pengetahuannya. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya. (Al Isra’ : 16)
Dari ayat di atas secara jelas “shorih” Allah melarang kita untuk mengikuti hal-hal yang tidak jelas informasi dan pengetahuan tentang hal itu, apakah bertendensi pada argumen, pemikiran serta bukti yang jelas ataukah tidak?, dan Allah jadikan perantara-perantara kita mendapat pengetahuan tersebut sebagai hal yang besok di akhirat akan dimintai pertanggung jawabannya.
Banyak nash-nash al-qur’an maupun hadits yang mendorong kita untuk selalu menggunakan akal dan pemikiran yang benar yang diperoleh melalui dalil, bukti, serta argumen-argumen yang juga benar, juga banyak nash yang merendahkan dan mencela orang-orang yang tidak mau menggunakan akal pikiran mereka sesuai dengan tujuan penciptaannya, yang malah senang berpegang teguh pada hal-hal yang tidak memiliki tendensi kuat dan mudah mengikuti pandangan kebanyakan orang tanpa merasa perlu memikirkannya terlebih dahulu, dan bahkan tidak mau mengakui kebenaran konkret yang sudah jelas ada di hadapan mereka.
Sebagian dari nash-nash yang mencela mereka adalah firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 22 yang berbunyi:
اِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللّٰهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِيْنَ لَا يَعْقِلُوْنَ ٢٢
Artinya: Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah mereka yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran) yaitu orang-orang yang tidak berfikir. (Al-Anfal : 22)
Dari keterangan di atas sudah jelas bahwa kita haruslah menggunakan anugerah yang telah diberikan oleh Allah sesuai dengan tempatnya, lalu pengetahuan seperti apakah yang harus dicari dan didapatkan oleh seorang manusia? Imam Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menjelaskan bahwa hal terpenting yang menjadi tujuan seorang manusia adalah kebahagiaan abadi yang berada di hadapan Allah besok di akhirat, sehingga hal-hal yang dapat mengantarkan manusia menuju itu juga merupakan hal yang penting, hal tersebut adalah ilmu dan amal perbuatan seorang manusia, dan sebuah amal tidak dapat diterima tanpa adanya ilmu, sehingga dari sini jelaslah bahwa ilmu adalah hal yang sangat penting dan tentunya ilmu agamalah yang dapat mengantar seseorang menuju hal tersebut.
Seorang pencari ilmu agama “tholibul ilmi” tentulah orang yang sudah memasuki jalur tersebut, namun hal tersebut haruslah melalui guru-guru yang jelas kesinambungan keilmuannya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, dan juga melalui cara-cara yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika mengajari para Shahabat RA, yaitu dengan bertatap muka langsung (talaqqi), seperti yang telah biasa dilakukan oleh para santri dan kyai di pondok-pondok pesantren.
Bukan dari sisi itu saja, bahwa melestarikan dan menyebarkan hal tersebut sangatlah penting, karena termasuk sebagian dari tanda-tanda akan terjadinya kiamat adalah hilangnya ilmu agama, Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ : أَنْ يُرْفَعَ العِلْمُ وَيَثْبُتَ الجَهْلُ وَيُشْرَبَ الخَمْرُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا
Termasuk sebagian dari tanda–tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu, menancapnya kebodohan, diminumnya khamr (secara terang–terangan), dan menyebarluasnya perbuatan zina (HR. Bukhari)
Dan cara Allah SWT mengangkat ilmu tidaklah dengan menghilangkan langsung seluruh pengetahuan dari pikiran manusia, namun dengan cara meninggalnya orang-orang alim dan para kiai, sehingga benarlah sebuah maqolah yang mengatakan bahwa موت العالِم موت العالَم , matinya seorang alim merupakan matinya alam, karena memang seiring dengan habisnya orang alim, maka semakin dekat juga alam mendekati akhirnya.
Rasulullah SAW bersabda :
إن الله لا يقبض العلم انتزاعًا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يُبْقِ عالمًا اتَّخذ الناس رؤوسًا جهالاً فسُئِلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara langsung dari para hambanya, melainkan Allah mencabut ilmu dengan cara mencabut ruh para ulama’, sehingga (nanti akan ada masa) ketika Allah sudah tidak menyisakan orang alim, maka orang–orang menjadikan orang orang bodoh menjadi para pemimpin, kemudian mereka akan ditanyai dan menjawab (fatwa) tanpa menggunakan ilmu, sehingga (hal itu) menyebabkan mereka tersesat dan menyesatkan. (HR. Bukhari)
Kemudian mungkin sebagian dari kita akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin ilmu akan hilang sedangkan pada era sekarang seluruh ilmu pengetahuan telah jelas dibukukan dan diabadikan melalui banyak media?, hal itu bukanlah suatu hal yang mustahil, bahkan secara akalpun dapat dicerna, kita ambil contoh sebuah resep makanan yang ditulis secara turun temurun, tentulah dari satu generasi ke generasi selanjutnya pastilah berbeda hasilnya, belum lagi nanti ketika bahan bahan yang dibutuhkan semakin langka dan sulit dicari, juga tambahkan ketika generasi selanjutnya menolak untuk mempelajari resep itu secara langsung, tentulah dari situ jelas bahwa pembukuan tidak dapat mencegah hilangnya ilmu pengetahuan. Ini masih dalam hal yang sederhana, belum dalam hal hal lain yang lebih rumit.
Dari sini jelaslah sudah seberepa pentingnya menjaga tradisi para salafus sholih dengan mempelajari ilmu agama melalui cara – cara yang biasa dilakukan oleh seorang santri pada kiainya di pondok-pondok pesantren.