وصولك إلى الله وصولك إلى العلم به، وإلا فجل

ربنا أيتصــــل به شيء أو أن يتصـــل هو بشيء

“Wushul anda (sampai) kepada Allah adalah wushul mengetahui akan Allah ta’ala, ketika tidak begitu maka, Maha Agung Allah akan sesuatu yang telah dikehendaki bertemu dengan-Nya atau Allah azza wa jalla- lah yang hendak menemuinya”

“Ya Allah janganlah Engkau memutus hubungan-Mu dengan hamba dengan segala dosa-dosa hamba yang bisa memutus hubungan ini, dan janganlah pula Engkau menutup hubungan-Mu dengan hamba dengan segala aib tercela yang hamba miliki.”

“Tidak ada azab yang aku miliki kecuali hijab (terhalangnya) antara aku dengan Allah ta’ala, dan tidak ada nikmat yang aku rasakan kecuali dapat wushul dengan Allah ta’ala.”

Yang diharapkan para kekasih Allah (Auliya’ illah) adalah mampu wushul hatinya. Lalu makna wishal disini yang dikehendaki pun bukan dengan menghabiskan jalan dengan jarak tertentu yang nantinya bisa sampai kepada Allah. Secara akal pun tidak mungkin dan mustahil tergambarkan, terlebih untuk bisa terwujud hal seperti itu, sebab Allah itu tidak terbatas ruang dan dimensi waktu. Karena Allah SWT lah yang menciptakan semuanya, waktu maupun tempat.

Wushul disini adalah ketika hilang segala hijab atau sesuatu yang bisa menghalang-halangi antara hamba dan Tuhannya. Maka, sirnanya hijab akan memperoleh nikmat berupa wushul.

Sedangkan hijab itu ialah ketika seorang hamba terkungkung oleh hawa nafsunya sendiri, syahwat dan keinginan-keinginan hewani, duniawi. Jika berpikir bagaimana bisa kenyang, bagaimana bisa mendapatkan rumah yang bagus, lalu ada perasaan senang terhadap semua itu, sudah dipastikan berarti dalam diri hamba tersebut terdapat hijab.

Ada kelalaian semisal ketika dibacakan Al Quran, dinasehati, diberi petuah-petuah dan sebagainya, namun tidak ada reaksi dari hati hamba tersebut.

Mengetahui akan kebesaran Allah ta’ala, akan tetapi masih saja tidak ingat akan Allah, ini pun sebuah hijab. Membaca kitab, muthala’ah lalu terbayang kesombongan dari dalam diri akan kemampuannya, ini juga hijab. Dalam Al Quran telah disebut kata قسوة(keras) atau ada kata ران(berkarat hatinya). Karena terlalu berobsesi pada dunia, maka bisa menyebabkan karatnya hati seseorang.

Sedikit banyak pun kita telah terkena hijab. Akal kita mengetahui akan Allah, tapi hati kita tidak bisa menyesuaikan dengan wujud cinta kita pada Allah, malah membenci Allah. Na’udzubillah min dzalik.

Mendengarkan ayat-ayat Al Quran, namun kandungan isinya tidak diperhatikan, sewaktu adzan pun seperti itu, tidak ada perhatian terhadap kumandang adzan, dimana adzan sendiri mengingatkan diri kita kelak di akhirat akan dipanggil-panggil untuk berkumpul secara berbondong-bondong.

BACA JUGA :  Sahabat Salman al-Farisi r.a.

الذين كانت أعينهم فى غطاء عن ذكري وكانوا لا يستطيعون سمعا

“(yaitu) orang yang mata (hati)nya dalam keadaan tertutup (tidak mampu) dari memperhatikan tanda-tanda (kebesaran)-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar.” (Al Kahfi: 101)

Jika telah mengetahui hijab, lalu wushul sendiri itu apa? Yaitu hilangnya suatu hijab, yaitu ma’rifat akan Allah ta’ala. Ini pun ada tingkatan-tingkatannya. Lalu seberapa banyak tingkatan-tingkatan tersebut? Adalah tidak ada habisnya, begitu tidak terbatas. Jadi semisal seseorang merasa sudah bisa mengetahui apa yang akan terjadi nanti atau besok dst, lalu merasa bahwa dirinya adalah seorang wali, berarti dia sudah wushul. Memang wushul itu ada permulaannya seperti tadi akan tetapi tidak akan ada habisnya.

""

Pada intinya semakin hijab itu hilang, semakin besar pula wushul yang akan diperoleh nantinya. Nabi Muhammad SAW pun setiap saat semakin bertambah wushulnya. Beliau semakin banyak bersyukur kepada Allah ta’ala. Semakin tidak merasa tinggi derajat yang diperoleh. Sebab ketika ada perasaan bahwa derajatnya tinggi, berarti itu hijab.

Jika sudah memperoleh tingkatan menjadi ahli ma’rifat, itu ilmu kita dibarengi dengan adanya khasyyah atau takut kepada Allah ‘azza wa jalla dalam sanubari seseorang. Dan ketika sudah terpatri kuat pada hati, niscaya segala kesenangan duniawi bisa disetir atau dikontrol.

Ta’zhim atau mengagungkan, senang atau cinta, sering berdzikir atau ingat akan Allah SWT, lambat laun ada perasaan yang timbul dari dalam diri bahwa di alam dunia ini tidak ada yang bisa memberi dampak apapun selain musabbibul asbaab, yaitu Allah ‘azza wa jalla. Memperhatikan segala hal yang terbesit hanyalah tadbiirullah, semua dalam pengaturan Allah.

Memperbanyak melakukan kesunnahan-kesunnahan, sebab jika seseorang telah wushul, mendengarkan, melihat, berjalan selalu apa yang di ridhai oleh Allah ta’ala, dan kelak akan terkena maqaamaat, seperti maqam fana’, maqam syukri dsb.

Insyirah ashshadri mampu muncul jika memang sudah ada nur yang telah diletakkan oleh Allah ke dalam hati seseorang. Ini adalah manifest atau suatu perwujudan dari wushul.

Kita berdoa, semoga dalam diri kita diberikan nur atau cahaya yang mampu menjadikan wushul dan memohon agar dijauhkan dari hal-hal selain Allah ta’ala, yang kemudian kita tergolong orang-orang yang menjadi kekasih-Nya. Amin.

Artikulli paraprakBatasan Toleransi Kepada Non-Muslim
Artikulli tjetërLangkah Jitu Rasulullah SAW

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini