Perlu bagi kita sebagai "tholibul ibadah" selalu memisahkan diri (عزلة, تفرد) dari makhluq, hal tersebut karena dua alasan : Pertama, bahwa mereka (makhluk) akan menyibukkan kita dari beribadah kepada Allah. Ada satu riwayat seorang ulama berkata, "Saya melewati suatu kaum yang sedang bermain panah, salah satu dari mereka duduk berjauhan dari teman-temannya. Kemudian saya bermaksud ingin berbincang dengannya, tapi orang tersebut berkata, "Dzikrullah lebih baik dari pada harus berbicara denganmu. Saya berkata, "Kamu sendirian? Diapun menjawab, "Tuhanku bersamaku". Kemudian saya bertanya lagi, "Siapa orang-orang yang sedang berlomba itu? Dia menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang mendapat ampunan dari Allah. Saya bertanya, "Bagaimana caranya? Kemudian dia memberikan isyaroh dengan tangannya kearah langit sambil berdiri, kemudian meninggalkan saya dengan berkata, "Banyak sekali dari manusia akan menyibukkanmu".

Kita perlu tahu, bahwa nabi Muhammad SAW telah menjelaskan perihal zaman ‘uzlah, menjelaskan sifat dan orang yang melakukannya serta memerintahkan kita untuk memisahkan diri dari manusia, yang mana beliau pasti lebih mengetahui kemaslahatan terhadap diri kita dari pada kita sendiri. Maka ketika menemukan zaman tersebut, boleh bagi kita melaksanakan perintah dan nasehatnya. Sufyan As Tsauri berkata :

هذَازَمَانُ السُّكُوْتِ وَلُزُوْمُ الْبُيُوْتِ وَالرِّضَابِالْقُوْتِ إِلَى أَنْ تَمُوْتَ

"Sekarang ini adalah zamannya berdiam diri, menetapi rumah dan ridlo terhadap harta yang ada sampai kamu meninggal".

Kedua, manusia akan merusak amal ibadah yang sudah kita hasilkan disebabkan perkara-perkara yang akan timbul karena mereka, yaitu dengan sifat riya’ (pamer) dan tazayyun (berhias diri dengan amal). Yahya Ibnu Muadz Ar Rozi berkata : رُؤْيَةُ النَّاسِ بِسَاطُ الرِّيَاءِ

"Penglihatan manusia itu akan menimbulkan sifat riya".

Hukum ‘Uzlah dan Tafarrud

Ketika dikatakan apa hukum menyendiri dan memisahkan diri dari manusia bagi kita, ketahuilah bahwa permasalahan ini ada beberapa tingkatan-tingkatan dan batasan-batasannya. Ada dua macam gambaran : 1. Seorang laki-laki yang tidak dibutuhkan oleh manusia yang lain dalam ilmunya dan untuk menjelaskan hukum agama. Maka yang lebih utama baginya adalah memisahkan diri dan tidak berkumpul dengan manusia kecuali dalam melaksanakan shalat berjama’ah, shalat i’d, haji, majlis ilmu atau hajat untuk kehidupannya, atau bahkan tidak berkumpul sama sekali dalam semua perkara karena dipandang lebih maslahat. 2. Seorang laki-laki sebagai panutan dalam ilmunya yang dibutuhkan orang lain dalam perkara agama, menjelaskan perkara yang benar, menolak ahli bid’ah dan mengajak kepada kebaikan. Maka tidak boleh laki-laki tersebut memisahkan diri, melainkan menyiapkan dirinya untuk memberikan nasihat-nasihat, mencegah kebathilan-kebathilan dan menjelaskan hukum-hukum Allah Subhanahu Wata’ala. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda :

إِذَا ظَهَرَتِ الْبِدَعُ وَسَكَتَ الْعَالِمُ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

BACA JUGA :  Keutamaan Berpuasa Hari Arafah dan Tarwiyah

"Ketika banyak terjadi bid’ah dan orang yang ahli ilmu diam saja (membiarkannya), maka baginya siksa / laknat dari Allah"

Di dalam melaksanakan tugas- tugas tersebut perlu adanya dua cara yang harus dimilikinya : Pertama, selalu sabar, berpenglihatan lemah lembut dan selalu meminta pertolongan kepada Alllah Subhanahu Wata’ala. Kedua, selalu berperilaku menyendiri (تفرد) walaupun bersama seseorang. Ketika diajak berbicara maka menjawabnya, ketika dikunjungi maka memuliakan dan menyuguhnya, dan lain sebagainya sebatas kadar yang dibutuhkan.

Kemudian bagaimana kita menanggapi hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

عَلَيْكُمْ يِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ يَدَاللهِ تَعَالَى عَلَى الْجَمَاعَةِ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ ذِئْبُ اْلإِنْسَانِ يَأْخُذُالشَّاذَةَ
وَالنَّاجِيَةَ وَالْقَاسِيَةَ وَالْفَاذَةَ

Imam ghozali berpendapat bahwa lafadz "عليكم بالجماعة" bisa didasarkan pada 3 hal :

  1. Ijtima’ (berkumpul) dalam masalah agama dan hukum, karena tidak akan berkumpul suatu umat kepada kesesatan.
  2. Tidak memisahkan diri dengan sesama muslim di dalam hal sholat jum’at, sholat berjama’ah dan lain sebagainya, karena di dalamnya terdapat kekuatan agama Islam yang sempurna dan membuat murka orang kafir.
  3. Perintah berjama’ah tersebut ketika tidak terjadi zaman yang banyak fitnah bagi laki-laki yang lemah agamanya. Adapun bagi laki-laki yang kuat agamanya ketika berada dalam zaman tersebut, maka lebih utama baginya memisahkan diri (‘uzlah) dari yang lain kecuali dalam perkumpulan agama dan dalam kebaikan.

Pendorong ‘Uzlah dan Tafarrud

Ada tiga cara sehingga kita sebagai "tholibul ibadah" mudah untuk melakukan "عزلة" dan " تفرد" : Pertama, selalu menghabiskan waktu dengan beribadah, sehingga akan muncul kesibukan untuknya. Kedua, meninggalkan sifat tamak atau menggantungkan diri terhadap makhluk yang lain, maka kita akan anggap mudah perkara-perkara mereka. Karena seseorang yang tidak kita harapkan kemanfaatan dan kekhawatiran akan kemadlorotannya, wujud dan tidaknya akan sama saja bagi kita. Ketiga, memahami betul mafsadah (kerusakan) yang timbul akibat makhluk lain dan selalu mengingat-ingat dalam hati kita. Ketika kita sudah bisa melakukan ketiga perkara di atas, maka perkara tersebut akan menjauhkan kita dari makhluk menuju kepada pintu Allah, memisahkan diri untuk beribadah kepada Allah, menjadikan kita cinta kepada Allah dan menetapkan kita pada pintu menuju kepada Allah.

Kesimpulan

Dari catatan-catatan diatas kami menyimpulkan bahwa di dalam zaman seperti sekarang ini apabila seseorang itu kuat agamanya tetapi tidak dibutuhkan orang lain, maka lebih baik baginya memisahkan diri dari yang lain. Adapun seseorang yang masih dibutuhkan dalam keilmuannya untuk menjelaskan agama, mengajak kepada kebaikan dan menolak kebathilan, maka wajib baginya memenuhi dan melaksanakan tugas tersebut dan berkumpul dengan mereka tetapi sebatas yang dibutuhkan.

Artikulli paraprakDunia, Rintangan Menuju Allah
Artikulli tjetërKajian Tafsir Surat Al-Ahqaaf Ayat 20-27

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini