Alhamdulillah kita telah memasuki tahun baru 1438 Hijriyyah yang diawali dengan tanggal 1 bulan Muharram. Berbicara mengenai Bulan Muharram, ternyata banyak sekali tradisi yang dirayakan di dalamnya ketika bulan Muharram datang. Berikut adalah uraian tentang bulan Muharram.
Muharram merupakan bulan pertama dalam tahun Islam (Hijriyyah). Pada dasarnya kata Muharram secara bahasa berarti “diharamkan” atau “dipantang” yang bermakna Allah SWT melarang melakukan peperangan atau pertumpahan darah pada bulan tersebut. Namun larangan ini tidak berlaku (dimansukh) setelah terjadinya Fathu Makkah. Sejak pemansukhan itu, umat Islam boleh melaksanakan tugas seperti peperangan dan ibadah harian tanpa terikat lagi dengan larangan tersebut.
Pada sepuluh hari pertama bulan Muharrom, kebanyakan kaum muslim di seluruh belahan dunia melakukan puasa sunnah, terutama pada tanggal 9 yang biasanya lebih akrab dengan sebutan puasa tasu’a dan tanggal 10 dengan sebutan ‘asyuro. Umumnya bagi warga muslim Indonesia yang berada di pulau Jawa khususnya melakukan beragam ritual-ritual tertentu yang berkaitan di bulan Muharrom atau lebih dikenal oleh orang Jawa dengan nama bulan “Suro”.
Berkenaan dengan amalan-amalan khusus di bulan Syuro, Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab beliau Nihayatuz Zain halaman 226 cetakan darul kutub al-Islamiyah menyebutkan terdapat dua belas macam amalan, yaitu : sholat (yang lebih utama yakni sholat tasbih), puasa, bershodaqoh, menciptakan kebahagiaan dalam keluarga, berziarah kepada orang-orang sholih, menjenguk orang sakit, mengusap/menyantuni anak yatim, memakai celak, memotong kuku, membaca surat al-Ikhlas sebanyak seribu kali dan bersilaturrahim. Rosulullah telah bersabda :
عن أبي سعيد الخدري قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من وسَّع على عياله في يوم عاشوراء وسَّع الله عليه في سنته كلها (أخرجه والطبرانى فى الأوسط ، والبيهقى فى (شعب الإيمان
“Barang siapa melapangkan rizki keluarganya pada hari As-Syuro’ maka Allah SWT akan melapangkannya selamanya satu tahun tersebut.” (HR. Imam At-Thobaroni dan Imam Baihaqi)
Kemudian dalam mengamalkan anjuran-anjuran pada bulan Suro tersebut, sebagian umat muslim tanah air melakukannnya dengan dengan berbagai perihal baik, yang mana diantaranya ialah membuat bubur suro yang disuguhkan kepada keluarga dan para tetangga dan hampir di setiap makam-makam wali diadakan haul lengkap dengan ritual ngalap berkahnya.
Ada cerita mengenai kenapa masyarakat tanah air merayakan hari ‘asyuro dengan bubur suro. Diceritakan bahwasanya ketika kapal Nabi Nuh AS beserta kaumnya yang hanya berjumlah 60 orang (dalam riwayat lain mengatakan 30 orang) itu berlabuh bertepatan dengan hari ‘asyuro. Dan beliau berseru kepada kaumnya : “Wahai kaumku, kumpulkanlah sisa-sisa bekal kalian menjadi satu.” Lalu ada sebagian kaum beliau yang menyerahkan berbagai jenis kacang seperti kacang brul, kacang adas masing-masing sebanyak genggaman tangan. Ada juga yang menyerahkan beras, gandum putih (sya’ier), dan gandum merah (hinthoh). Kemudian beliau mengatakan : “masaklah semua makanan itu, niscaya kalian akan memperoleh keselamatan”. Makanan yang dibuat oleh kaum Nabi Nuh AS ini merupakan masakan pertama yang dimasak di muka bumi setelah terjadinya badai taufan. Berangkat dari kisah Nabi Nuh AS dan kaumnya inilah para muslimin membuat makanan yang terbuat dari biji-bijian. Dan akhirnya para muslimin terkhusus di tanah air kita menjadikan momentum membuat bubur suro dengan diberikan kepada keluarga dan tetangga di hari ‘asyuro.
Menyikapi tradisi tersebut, memandang sudah menjadi tradisi bagi kalangan muslim, kemudian di dalamnya mengandung unsur-unsur amalan ibadah taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) maka hal tersebut baik-baik saja untuk dilestarikan. Akan tetapi konsep sunnah dan bid’ahnya serta maslahah dan mafsadahnya harus tetap diperhatikan. Bagi yang melakukannya jangan sammpai punya i’tikad bahwasanya amalan tersebut merupakan anjuran khusus dari Kanjeng Nabi SAW, kecuali memang sudah ditemukan dalil nash yang menjelaskannya. Dan juga harus menghindarkan praktek ikhtilath baina rijal wa nisa’ dan kemungkaran-kemungkaran lainnya dalam acara tersebut.
Ketentuan tersebut telah diungkapkan oleh beliau Sayyid Muhammmad al-Maliki al-Hasani dalam kitab beliu Mafahim Yajibu an Thushohha yang dalam terjemahannya berbunyi :
“Tradisi yang berlaku dalam masyarakat kita adalah berkumpul untuk mengenang sejumlah peristiwa bersejarah, seperti kelahiran Nabi Muhammad, peringatan Isra’ dan Mi’raj, malam nishfu Sya’ban, hijrah ke Madinah, peringatan Nuzulul Qur’an, dan perang Badar. Dalam pandangan kami, aktivitas semacam ini merupakan tradisi yang baik yang tidak memiliki keterkaitan dengan agama, yang berarti tidak perlu dikategorikan sebagai hal yang disyari’atkan atau disunnahkan, sebagaimana ia tidak bertentangan dengan salah satu prinsip agama. Hal yang berbahaya adalah meyakini disyari’atkannya sesuatu yang tidak disyari’atkan.”
Ketentuan di atas juga berlaku bagi amaliyah-amaliyah lainnya yang dilakukan oleh kebanyakan umat muslim tanah air. Jangan pernah pudar selama kebaikan masih menjadi unsur utama di dalamnya.
Namun ada juga yang menjadikan momentum as-Syuro’ sebagai pengkelabuan atas amalan-amalan tidak benar bagi sebagian golongan muslim, semisal golongan Syi’ah yang melakukan ritual menangis dan menyakiti diri sendiri sebagai bentuk kedukaannnya kepada Sayyidina Husain yang terbunuh ketika tragedi Karbala.
Apakah dibenarkan apa yang dilakukan oleh orang-orang syi’ah itu ? Sekilas melihat motif mereka, seolah-olah hal itu bagus karena turut berduka cita atas wafatnya Sayyidina Husain bin Ali radhiyallau ‘anhuma. Namun sebenarnya hal itu adalah perayaan yang dilarang agama, bahkan telah menyimpang dari ajaran Islam. Karena Rosulullah SAW bersabda :
(عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ليس منَّا من ضرب الخدود وشق الجيوب ودعا بدعوى الجاهلية (أخرجه البخاري ومسلم
“Tidak termasuk golonganku orang yang suka memukul wajahnya dan merobek kantong pakaiannya serta orang yang menyerukan kepada perbuatan jahiliyyah.” (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim)
Rosulullah SAW juga melarang menangisi orang-orang yang telah meninggal, seperti yang dilakukan Syi’ah di bulan as-Syuro’ dengan bentuk menangisi wafatnya beliau terlebih dahulu sebentar, dilanjutkan dengan memuji lalu melaknat mereka yang telah berani membunuh Sayyidina Husein sambil memukuli badan mereka sendiri. Padahal Nabi SAW telah bersabda:
ثلاثة من الكفر بالله شق الجيوب والنياحة وطعن النسب (أخرجه الحاكم وابن حبان)
“Terdapat tiga hal yang termasuk pengkufuran terhadap Allah SWT yaitu merobek-robek pakaian, meratap dan melukai hubungan darah.”
Demi me-legalitas-kan ajaran mereka, Syi’ah telah membuat banyak hadits maudlu’ (hadits buatan/palsu). Diantaranya seperti yang termaktub dalam kitab مجموع مؤلـّفات عقائد الرّافضة والرّدّ عليه berbunyi :
من بكى أو تباكى على الحسين وجبت عليه الجنة
“Barangsiapa yang bersedih atau berusaha bersedih atas wafatnya Husein maka surga wajib baginya”
Dan juga tertera dalam kitab في العراء الشيعة :
وفي " ذخيرة الدارين " صفحة (115) قال: من بكى أو تباكى على قتل الحسين حرم جسده على النار.
“Tertera dalam kitab Dzakhirotud Daroin halaman 115 : “Barangsiapa yang bersedih atau berusaha bersedih atas terbunuhnya Husein maka Neraka haram terhadapnya”.
Demikianlah sekilas uraian tentang bulan Muharram, dimana pada bulan tersebut sebaiknya diisi dengan hal-hal baik yang menjadikan indahnya Islam sebagi agama universal dan rohmatal lil ‘alamin sesuai dengan ahlissunnah waljama’ah. Wallahu a’lam.
Diolah dari berbagai sumber.