قَطَعَ السَّائِرِيْنَ لَهُ وَالْوَاصِلِيْنَ إِلَيْهِ عَنْ رُؤْيَةِ أَعْمَالِهِمْ وَشُهُوْدِ أَحْوَالِهِمْ، أَمَّا السَّائِرُوْنَ فَلِأَنَّهُمْ لَمْ يَتَحَقَّقُوْا الصِّدْقَ مَعَ اللهِ فِيْهَا، وَأَمَّا الْوَاصِلُوْنَ فَلِأَنَّهُ غَيَّبَهُمْ بِشُهُوْدِهِ عَنْهَا
Allah memutus (menghalangi) pandangan orang-orang yang sedang menempuh jalan kepada-Nya dan orang-orang yang sudah sampai kepada-Nya dari melihat amal mereka dan melihat kekuatan diri mereka. Adapun orang-orang yang yang sedang menempuh jalan kepada-Nya, mereka belum sungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah. Adapun bagi orang yang telah sampai kehadirat-Nya itu karena Allah menghalangi pandangan mereka atas amal ibadah mereka.
Allah telah meghalangi pandangan hamba-Nya dari melihat amal ibadah mereka, baik mereka yang sedang dalam proses menempuh jalan menuju Allah ataupun mereka yang telah sampai kepada Allah atau bahkan sudah dapat melihat keagungan Allah.
Adapun orang-orang yang sedang dalam proses menempuh jalan menuju Allah, mereka tidak dapat melihat amal ibadah mereka karena dihalangi pandangannya oleh Allah. Hal ini merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada mereka karena mereka belum bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah kepada Allah, Demikian ini Allah lakukan semata-mata agar mereka merasa amal ibadah mereka belum sempurna. Karena apabila mereka merasa amal ibadah mereka masih kurang sempurna dan masih ragu dengan amal ibadah mereka, meraka akan meningkatkan kualitas ibadah mereka dan murni ditujukan kepada Allah tanpa mengharap apapun kecuali rahmat-Nya.
Adapun orang yang sudah mampu melihat keagungan Allah, mereka juga tidak dapat melihat amal ibadah yang mereka perbuat karena mereka telah melihat sesuatu yang lebih besar dari apa yang mereka kerjakan, yaitu melihat keagungan Allah SWT yang mereka sembah. Mereka tidak bisa melihat hal yang lebih kecil dari Allah, yakni amal ibadah dan kedudukan mereka, karena mereka telah melebur dalam kefanaan dan terlepas dari diri mereka. Mereka telah merasa bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata adalah karena Allah, untuk Allah dan dari Allah. Apabila mereka melakukan amal kebaikan, maka yang mereka lihat adalah Allah, dzat yang telah memberi mereka kesempatan untuk melakukan amal tersebut, bukan usaha dan jerih payah mereka sendiri.
Ada sebuah kisah yang dapat menunjukkan kedua kedudukan ini, yaitu Ketika Al-Washiti masuk ke kota Naisabur, beliau bertanya kepada murid-murid Abu Utsman “ apa yang telah diperintahkan oleh guru kalian? ”
“Beliau menyuruh kami untuk selalu melakukan amal ketaatan dan selalu merasa banyak kekurangan dalam amal tersebut” jawab murid-murid Abu Utsman.
“Guru kalian menyuruh kalian dengan ajaran majusi yang murni. Kenapa beliau tidak menyuruh kalian untuk melupakan amal ibadah kalian dan hanya melihat pada Dzat yang menggerakkan dan menimbulkan amal tersebut?” jawaban Al-Washiti kepada mereka setelah mendengar jawaban mereka.
Ini bukan berarti Al-Washiti menghina murid-murid Abu Utsman. Apa yang dilakukan murid-murid itu sudah baik, akan tetapi Al-Washiti ingin para murid itu menuju ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu dari tingkatan As-Saairun (orang-orang yang sedang menempuh jalan kepada-Nya) ke tingkatan Al-Washilun (orang-orang yang sudah sampai kepada-Nya). Al-Washiti memotivasi para murid Abu Utsman agar mereka bercita-cita menggapai sesuatu yang lebih mulia dari apa yang sedang mereka kerjakan.
Semoga kajian kali ini bermanfaat dan juga bisa memotivasi kita semua untuk meningkatkan kualitas amal ibadah kita. Amiin. Wallahu A’lam.