وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا أَتَعِدَانِنِي أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِنْ قَبْلِي وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ وَيْلَكَ آمِنْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَيَقُولُ مَا هَذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ (17) أُولَئِكَ الَّذِينَ حَقَّ عَلَيْهِمُ الْقَوْلُ فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنَّهُمْ كَانُوا خَاسِرِينَ (18) وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (19)
"Dan orang yang Berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa Aku akan dibangkitkan, padahal sungguh Telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka". Mereka Itulah orang-orang yang Telah pasti ketetapan (azab) atas mereka bersama umat-umat yang Telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi. Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang Telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan." (QS. Al-Ahqaf : 17-19).
Ayat ini ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yang membahas tentang berbuat kebajikan kepada kedua orang tua. Taat kepada orang tua merupakan kuwajiban bagi seorang anak meskipun orang tuanya adalah orang yang jelek dan tidak menyembah kepada Allah. Hal ini sesuai dengan akhlak yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim As yang di waktu itu hidup di lingkungan orang yang menyembah berhala. Karena bapaknya Nabi Ibrahim As (Azar) adalah juru kunci dari berhala-berhala kerajaan. Tapi, dengan ilmu dan iman, Nabi Ibrahim tetap menghormatinya. Beliau tidak menyakiti bapaknya walaupun cuma sedikit.
Nabi Ibrahim adalah nabi pilihan Allah. Di dalam dirinya ada cahaya Nabi Muhammad Saw yang terpancar, yang selalu membawa berkah terhadap orang yang disinggahinya. Nabi Ibrahim As terkenal dengan sebutan bapaknya orang mukmin. Hal ini disebabkan karena anak-anak Nabi Ibrahim itu menjadi pilihan Allah untuk mengemban wahyu-Nya, meskipun ada yang tidak secara langsung, seperti Madyan. Tapi, ada keturunan darinya yang menjadi nabi, yaitu Nabi Syuaib. Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ (33)
"Sesungguhnya Allah Telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)." (QS. Ali-Imran : 33)
Keluarga Nabi Ibrahim selalu mendapat pandangan khusus di sisi Allah, karena semuanya menjadi orang yang dekat dengan Allah. Mereka terpencar-pencar dan terpisah ke berbagai tempat. Nabi Ismail ditugaskan di Masjidil Haram. Nabi Ishaq ditugaskan di Masjidil Aqsho. Adapun Madyan ditugaskan di suatu tempat, yang mana di dalamnya ada pengrajin Tongkat, hingga kelak tongkat tersebut diwarisi oleh Nabi Musa dari Nabi Syuaib.
Semua keagungan yang diperoleh oleh Nabi Ibrahim, mulai dari tidak hangus dibakar dengan api sampai anak-anak yang menjadi keturunannya menjadi pilihan Allah, itu semua disebabkan karena keberkahan cahaya yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Namun, kita sebagai umatnya tidak akan menunai keberkahan tersebut sebagaimana yang masih diperoleh pada zaman sahabat yang menjadi alim-alim. Kita tidak akan menjadi alim kecuali dengan cara memahami ayat-ayat suci Al-Quran. Status alim tersebut tidak akan didapat kecuali harus mengaji dengan orang-orang yang alim juga.
Seberapa cahaya itu bisa masuk ke jiwa raga seseorang, hal itu digantungkan pada seberapa pahamkah orang tadi terhadap ayat-ayat suci Al-Quran. Karena memahami Al-Quran itu menjadi syarat pokok untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Menghafal Al-Quran tidak harus semuanya. Tapi cukup bagi orang mukmin untuk hafal satu surat yang diiringi dengan pemahaman yang mendalam. Hal itu bagaikan hafal satu Al-Quran. Sebab, ayat Al-Quran itu sering diulang-ulang pembahasannya yang berjumlah tujuh macam. Jika ada seorang anak yang tidak memperdulikan nasehat orang tua tentang dibangkitkannya manusia dari alam kubur, maka anak tadi menjadi kufur. Sebab, dia telah melakukan dosa besar yang merupakan pangkal kekufuran.
Orang-orang kafir apabila melakukan perbuatan dosa, dia menganggap bahwa dosa-dosa yang telah ia lakukan tadi merupakan kebaikan. Sebab, Allah telah menghiasi diri mereka dengan mencintai dunia dan ingin selalu menuruti hawa nafsunya. Berbeda dengan orang yang mukmin, yang menganggap bahwa kebaikan itu adalah kebaikan dan keburukan adalah keburukan. Allah berfirman:
زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (212)
"Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas." (QS. Al-Baqarah: 212).
Apabila kita sudah tidak bisa menahan untuk melakukan dosa, hendaknya kita berniat tidak tahan menahannya. Hendaknya ikutilah perbuatan buruk dengan menjalankan perkara baik agar perkara tadi menjadi seimbang.
Pokok iman seseorang adalah iman pada Hari Akhir. Karena di situ ada jalan bagi orang mukmin untuk masuk surga. Di dalam surga ada sebuah kenikmatan yang banyak sekali bila dibandingkan dengan kenikmatan yang ada di dunia. Kenikmatan di dunia yang ada cuma satu nikmat.
Di surga, orang mukmin akan menjadi seorang presiden atau raja. Karena kedudukan di surga merupakan kenikmatan yang agung. Hal ini sesuai dengan pandangan orang-orang yang hidup di dunia, bahwa kedudukan atau pangkat merupakan suatu perkara yang enak. Tapi, seorang presiden yang menguasai negeri akhirat itu pangkatnya berbeda-beda. Jika di dunia pangkat seorang presiden harus ditempuh dengan Ijazah, maka, pangkat presiden di negeri akhirat itu ijazahnya diatur syariat Islam. Yaitu, seberapa tinggi derajatmu di sisi Allah.
Tentunya mencari derajat yang tinggi di sisi Allah itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, membutuhkan perjuangan yang berat. Di antaranya adalah alim. Sebab, orang yang mengetahui hak-hak Allah adalah orang yang alim. Sehinnga, dia dapat menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangan-Nya untuk mencari rida-Nya.
Selain keahlian orang alim itu dapat mengetahui hak-hak Allah, dia juga adalah sosok yang selalu menebarkan kasih sayang terhadap sesama manusia. Tapi, bagi yang tidak alim, janganlah bersedih hati, cukup bagi kalian untuk mencintai dan mendekati orang yang alim. Insya Allah kita akan dapat memperoleh barakahnya. Sehinnga, kelak Allah akan mengizinkan kita untuk masuk surga bersama-sama dengan orang alim yang kita cinta dan kita dekati ketika masih hidup di dunia.
Ulama yang alim itu pangkatnya berbeda dengan nabi. Mengapa? Karena kalau ada seorang nabi sudah meninggal dan tidak meninggalkan anak laki-laki, maka kedudukannya tidak akan diwarisi oleh anak perempuannya.. Tapi, kalau ada seoarang ulama yang meninggal, dan dia cuma punya anak perempuan, maka tugas keulamaannya masih bisa dilangsungkan olehnya. Yakni, ulama tadi mengambil menantu yang alim. Janganlah tergiur dengan harta di saat memilih menantu. Cukup pilih menantu yang alim, karena orang alim itu adalah ulama yang menjadi pewaris para nabi.
Pada ayat yang terakhir dalam pembahasan ini, Syaikhina Maimoen menjelaskan bahwa derajat orang mukmin kelak di surga itu ada tujuh, dan derajat orang kafir juga ada tujuh. Bagi mereka yang mendapat derajat yang tinggi di surga dialah orang-orang yang tidak mengingat apapun selain Allah. Maka orang-orang yang seperti ini rizkinya akan ditanggung oleh Allah. "Seberapa tinggi derajat orang di surga itu tergantung seberapa banyak dia mengingat Allah."
Orang kalau sudah berada dalam derajat kebaikan, maka dia akan selalu dikerumuni dan dijaga Malaikat. Kalau dia sudah dijaga Malaikat, Setannya akan pergi. Dan kalau orang itu ingin derajat kebaikannya itu terus naik, hendaknya dia mempunyai amal sisik melik, yaitu amal yang membuat Allah rida kepadanya.
Apabila ada seseorang yang mendapat murka Allah di saat dia menjalankan suatu pekerjaan buruk, maka dia akan mati dalam kondisi Kafir. Apabila ada seseorang ketika menjalankan perbuatan baik itu bertepatan dengan ridanya Allah, maka dia akan mati dalam kondisi mukmin. Contoh kecilnya, duhulu pada zaman Nabi Musa ada Tukang Sihir Firaun, di saat disuruh untuk mengadu sihirnya dengan Nabi Musa, mereka mempunyai sopan santun. Yaitu, ketika mereka hendak beradu sihir, mereka memperkenankan kepada Nabi Musa untuk dahulu memulai, atau mereka yang mulai terlebih dahulu. Di saat mengerjakan amal kebaikan ini, Allah meridainya. Sehingga, pada akhirnya mereka beriman kepada Nabi Musa.
Selain contoh tadi, ada juga contoh dalam sebuah cerita. Telah dikisahkan bahwa Abu Thalib itu adalah orang yang bukan mukmin. Akan tetapi, dalam sejarahnya dia tidak pernah menentang apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah Saw. Sehingga, karena kebaikannya ini ada sebuah cerita yang mengisahkan ketika dia wafat, bahwa neraka yang paling baik adalah neraknya Abu Thalib. Yaitu, ketika dia menginjak neraka otaknya mendidih. Maka dari itu, seberapa berat siksaan orang di neraka itu tergantung pada seberapa banyak ia menentang Allah Swt.
Sarang , 27 Juni 2010
Catatan: Artikel ini diambil dari pengajian Tafsir Syaikhina Maimoen Zubair di hari Ahad dengan materi Surat Al-Ahqaf Ayat 17-19.