Dahulu kala, ketika seseorang ingin mendalami ilmu agama, mereka belajar di masjid. Masjid digunakan sebagai media untuk mensyiarkan agama Allah. Banyak orang alim yang keluaran dari masjid, seperti Masjidil Aqsha, Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan masjid-masjid yang didirikan oleh Salafus Shaleh. Ulama-ulama yang mengajar dan mengabdikan ilmunya di masjid itu disebut dengan Muharrar.
Karena saking senangnya ingin mempunyai anak yang menjadi Muharrar, Hannah (ibu dari Sayyidah Maryam) bernazar jika jabang bayi yang ia kandung kelak akan lahir laki-laki, maka akan dijadikannya sebagai seorang Muharrar. Namun, Allah berkehendak lain. Ternyata anak yang lahir dari perutnya itu adalah seorang perempuan. Hannah menjadi sedih sebab cita-citanya untuk mempunyai bayi laki-laki menjadi gagal. Karena syarat untuk menjadi seorang Muharrar adalah laki-laki. Bayi itu diberinya nama Maryam. Allah berfirman:
إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (35) فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ (36)
“(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk." (QS. Ali-Imran : 35-36).
Untuk mengobati duka lara yang ada dalam hatinya, akhirnya Hannah mempunyai suatu gagasan untuk merealisasikan cita-citanya untuk menjadikan anaknya tadi menjadi seorang Muharrar. Solusinya, salah satu anaknya Hannah diberi nama Harun. Hal ini berdasarkan suatu alasan. Jika ada Nabi Harun, niscaya akan ada Nabi Musa. Sehingga, kedua ulama ini diibaratkan seperti Nabinya Bani Israil. Hal semacam ini juga terjadi kepada ulama-ulama yang menjadi pewaris Nabi Muhammad Saw. Sebab, risalah kenabian sekarang sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya para ulama yang mengikuti dan melestarikan ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bersabda:
علماءامتي بمنزلة أنبياء بني إسرائيل
“Kedudukan ulama dari umatku itu bagaikan kedudukannya Nabi Bani Israil.” (Al-Hadist).
Apabila fungsi masjid masih diberlakukan sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw dan para Salafus Shaleh, niscaya ajaran Ahlu Sunnah Waljamaah akan semakin berkembang. Meskipun dalam realitanya kekuasaan negara telah dipegang oleh golongan yang bukan dari kalangan Ahlus Sunnah Waljamaah.
Abu Yusuf yang merupakan tokoh Ahlus Sunnah Waljamaah bisa menjadi Qodhi padahal raja yang berkuasa di waktu itu adalah golongan Muktazilah. Begitu juga Syaikh Hasan al-Masyat. Beliau menjadi Qodhi di Makkah meskipun raja yang berkuasa di waktu itu adalah orang Wahabi. Sebenarnya penguasa tersebut ingin mengangkat Qodhi atau Hakim dari golongannya sendiri. Namun, hal itu dirasanya tidak mungkin. Sebab, kebanyakan ulama yang alim di waktu itu adalah dari kalangan Ahlus Sunnah Waljamaah. Orang-orang alim ini adalah kebanyakan jebolan dari masjid.
Selagi fungsi masjid masih digunakan untuk bertafaqquh fiddin, niscaya akan lahir ulama-ulama yang alim. Namun, semua itu hanya tinggal sebuah kenangan. Sekarang, masjid sudah diisi dengan Ikatan Remaja Masjid. Yang tentunya, fungsinya sangat jauh bila dibandingkan dengan apa yang telah diajarkan oleh Salafus Shaleh.
Pada awal Islam berkembang di Indonesia, para ulama telah mengfungsikan masjid sebagai jalan untuk tafaqquh fiddin. Seperti masjid Demak yang arsitekturnya mirip dengan masjid yang ada di Keling (Gujarat) dan Malibari (India). Hal ini disebabkan karena Islam di Indonesia itu datangnya dari sana. Begitu juga masjid Aceh yang mirip dengan masjid bangunan Arab.
Syaikhina Maimoen Zubair sendiri merupakan ulama yang pernah bertafaqquh fiddin di masjid. Mulanya beliau belajar ilmu agama Islam di masjid Sarang. Masjid ini dulunya masih difungsikan untuk bertafaqquh fiddin. Beliau belajar di masjid Sarang kepada ulama-ulama setempat.
Ketika belajar di Lirboyo, tepatnya di pesantrennya Mbah Manaf, Syaikhina Maimoen juga bertafaqquh fiddin kepada ulama-ulama yang mengajar di masjid setempat. Pesantren Mbah Manaf ini dahulunya hanya berupa kombongan (sejenis gotaan). Sebab, setiap santri yang ingin belajar kepada Mbah Manaf disuruhnya untuk membuat kombongan sendiri. Jadi, Mbah Manaf ini tidak berambisi untuk mempunyai pesantren. Baliau hanya mengajar dan mensyiarkan agama Allah. Para santrilah yang membuat tempat tinggalnya (kombongan) sendiri yang kemudian menjadi sebuah pesantren.
Waktu Syaikhina Maimoen Zubair mondok di Lirboyo, santrinya Mbah Manaf masih sedikit, sekitar sepuluh orang. Hubungan Syaikhina Maimoen dengan Mbah Manaf begitu dekat. Kedekatannya ini salah satunya didukung oleh keberadaan Kiai Khozin yang diambil anak angkat oleh Mbah Manaf. Kiai Khozin ini masih ada kerabat dengan Syaikhina Maimoen. Kiai Khozin diambil anak angkat Mbah Manaf sebab putra Mbah Manaf yang bernama gus Nawawi telah meninggal dunia. Gus Nawawi ini adalah orang yang cerdas. Sehingga, dengan keberadaan Kiai Khozin ini diharapkan dapat menggantikan posisinya gus Nawawi.
Mbah Manaf ini sangat meyayangi Kiai Khozin. Suatu ketika, Mbah Manaf ingin mengajak Kiai Khozin untuk menunaikan ibadah haji. Tujuan keberangkatannya ini dikarenakan Mbah Manaf mempunyai cita-cita ingin meninggal di tanah suci. Namun, cita-cita Mbah Manaf untuk wafat di sana tidak kesampaian. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kiai Khozin justru yang meninggal di tanah suci Makkah. Setelah belajar dari pesantrennya Mbah Manaf, Syaikhina Maimoen melanjutkan belajarnya ke Makkah al-Mukarramah. Di tanah suci ini, beliau juga bertafaqquh fiddin di Masjidil Haram yang di waktu itu masih dipenuhi dengan ulama-ulama Ahlus Sunnah Waljamaah yang mengajar. Padahal raja yang berkuasa adalah dari golongan Wahabi.
Sekarang, fungsi masjid sudah berubah, tidak seperti zaman dahulu ketika masjid-masjid masih dipenuhi oleh ulama Ahlus Sunnah Waljamaah yang mengajar. Yang ada hanyalah sebuah kenang-kenangan yang membekas. Meskipun demikian, kita harus tetap menjaga bekas-bekas peninggalan yang telah ditinggalkan oleh ulama Salafus Shaleh sebisa mungkin. Marilah kita melestarikannya meskipun tinggal sedikit.
Salah satu peninggalan Salafus Shaleh adalah mengaji. Mengaji untuk mendalami ilmu agama Islam. Mengaji hanya ikhlas karena Allah. Mengaji yang bukan karena ingin pangkat, gelar dan iming-imingan yang lainnya. Nasehat mempertahankan mengaji ini sering sekali diulang-ulang oleh Syaikhina Maimoen ketika berceramah di hadapan santri-santrinya.
Ketika kita mendalami ilmu agama dengan ikhlas karena Allah, maka dapat menghasilkan buah berupa kita akan semakin dekat dengan Allah. Zikir yang kita baca akan semakin merasuk ke dalam hati sanubari.
Apabila ilmu kita dalam masalah keagamaan itu mendalam, niscaya kita akan menjadi orang yang alim. Karakter alim inilah yang harus diutamakan. Dari orang alim inilah kemudian ajaran Ahlus Sunnah Waljamaah akan tersebar.
Terkadang ada seseorang yang mengesampingkan ke-alim-an dibanding dengan yang lainnya. Dia lebih suka melestarikan pesantrennya padahal anaknya masih belajar menuntut ilmu agama. Dia lebih suka mendirikan pesantren terlebih dahulu untuk anaknya nanti jika sudah pulang dari ngajinya di pesantren. Hal semacam ini berbeda dengan apa yang telah diajarkan oleh Kiai Umar bin Harun dan Kiai Zubair. Kedua ulama ini lebih suka memilih mengajar dari pada mendirikan pesantren.
Ulama itu tugasnya ada yang hanya mengajar dan ada mengurus pesantren. Kiai Umar dan Kiai Zubair lebih suka mengutamakan mengajar dan menolong agama Allah dibandingkan dengan mendirikan pesantren. Sehingga, dari keikhlasan mengajarnya ini banyak santri yang mengklaim dirinya mondok di Kiai Umar atau mondok di Kiai Zubair padahal keduanya ini tidak mempunyai pesantren. Para santri lebih suka menisbatkan ilmunya kepada kiai yang alim yang mengajarnya dari pada pesantren yang ia tempati.
Keikhlasan dalam bertafaqquh fiddin sudah memulai memudar. Namun, janganlah kita menghina orang yang telah lari dari konsep mendahulukan kealiman. Janganlah kita menghina orang yang suka mendirikan pesantren. Sebab, jalannya Islam di zaman sekarang itu harus dengan memakai media pesantren.
Marilah kita ikhlas dalam bertafaqquh fiddin. Dengan bertafaqquh fiddin seseorang akan menjadi alim dalam masalah keagamaan yang bersumber dari Al-Quran. Buahnya, zikir yang kita baca akan semakin bermakna. Lafal Allah yang kita baca akan semakin merasuk ke dalam jiwa.
Lafal Allah yang kita baca itu berbeda dengan yang lainnya. Selain tidak bisa ditasrif, ketika lafal Allah hurufnya kita lepas satu persatu, maka maknanya akan semakin mendalam dan mengena. Ketika lafal (الله) Allah, hamzahnya (ا) kita hilangkan, maka akan menjadi lillah (لله). Lafal lillah ini mempunyai sebuah arti hanya karena Allah. Jika beramal tidak karena Allah, maka amalnya tidak akan diterima dan tidak akan sampai kepada Allah. Ketika huruf lam (ل) yang ada di depannya kata lillah (لله) kita hilangkan, maka lafal Allah akan menjadi lahu (له). Artinya, hanya karena Dia. Lafal lahu ini memakai dhamir yang menunjukan makna Ghaib. Maknanya (لالغيره بل له فقط) la lighairihi bal lahu faqath. Maknanya tidak karena selain Allah, akan tetapi hanya karena Allah. Dhamir (ه) ha’ yang ada pada lafal lahu ini masih bisa diarahkan kepada dhamir Ghaib secara umum atau dhamir Syaen. Namun, setelah dibuang (ل) lamnya lagi, maka hanya boleh dikatakan dhamir Syaen. Sehingga, ketika kita menzikirkan lafal (ه) hu, (ه) hu, (ه) hu itu maknanya hanya kembali kepada Allah. Apabila dhamir ha’ tadi dihilangkan, maka yang ada hanyalah dzikrul qalbi (ذكرالقلب) sebab sudah tidak diucapkan lagi. Lafal Allah ini berbeda dengan lafal (زيد) Zaidun dan (فضل) Fadhal. Kata Zaidun ketika dihilangkan huruf (ز) zaknya, maka akan menjadi (يد) yadun yang mempunyai arti tangan. Padahal sebelumnya bermakna tambah. Begitu juga lafal (فضل) fadhal. Lafal ini asalnya mempnyai arti keutamaan. Namun, jika huruf (ف) fa’nya dihilangkan, maka menjadi (ضل) dhalla yang mempunyai makna sasar (tersesat).
Makna zikir Allah ini tidak akan diketahui oleh seseorang kecuali dia mau mengaji. Mengaji dengan cara mengikuti jejak-jejak ulama salaf. Mengaji dengan tujuan agar tahu tugas utamanya mengapa mereka diciptakan. Yaitu, hanya untuk menyembah kepada Allah. Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supayamereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz Dzaariyaat : 56)
Jika zikir-zikir tadi dijalankan sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw dan para Salafus Shaleh, niscaya hari Kiamat tidak akan kunjung tiba. Hal ini disebabkan semata-mata karena di atas permukaan bumi ini masih banyak hamba Allah yang mau berzikir kepada-Nya. Rasulullah Saw bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تقوم الساعة حتى لا يقال في الأرض الله الله) اخرجه مسلم)
Rasulullah Saw bersabda, “Hari kiamat tidak akan ditegakkan di atas permukaan bumi sehingga tidak ada orang yang berzikir, “Allah Allah.” (HR. Muslim).
Sarang, 11 Januari 2013.
————————
Artikel adalah sari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair dalam acara persiapan Ikhtibar I Muhadhoroh PP. Al-Anwar, tahun ajaran 1434 H.