Makna Isra Miraj
Makna Isra’: Isra’ adalah bentuk masdar dari kata asra, yang diambil dari kata sara, yang berarti perjalanan malam. Dikatakan asra atau sara jika berjalan di malam hari. Ini adalah pandangan yang dipegang oleh sebagian besar ulama. Namun, al-Hufi mengatakan bahwa asra berarti berjalan di malam hari, sementara sara berarti berjalan di siang hari. Ada juga yang berpendapat bahwa asra berarti berjalan di awal malam, sementara sara berarti berjalan di akhir malam. Pendapat yang terakhir ini lebih mendekati kebenaran.
Makna Mi’raj: Adapun mi’raj, ia merupakan bentuk mifa’al dari kata ‘uruj yang berarti naik atau memanjat, seolah-olah mi’raj adalah alat untuk naik. Asal kata ‘uruj adalah ‘araja (dengan harakat fathah pada huruf ‘ra’), yang berarti naik. Dalam hadis-hadis yang akan datang, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW diangkat (dinaikkan) ke langit tujuh lapis dan lebih tinggi lagi, lalu kembali pada malam yang sama. Dengan demikian, mi’raj merujuk pada peristiwa Nabi Muhammad SAW yang naik ke langit tujuh lapis dan lebih tinggi, kemudian kembali dalam sebagian malam tersebut.
Hakikat Isra Miraj
Setelah kita menyajikan secara umum sebagian besar bukti-bukti yang relevan, kita menyaksikan sebuah seruan yang memanggil umat Islam untuk bergerak dan berkembang. Isra’ bukanlah peristiwa untuk selain Muhammad SAW dan demikian pula Mi’raj. Seorang Muslim adalah pengikut Nabi yang telah di Isra’kan oleh Allah SWT pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjid Al-Aqsa dalam sekejap, dan di Mi’rajkan ke langit yang lebih tinggi dalam waktu yang sangat singkat, hingga beliau melewati tingkat yang tak dapat tergapai oleh pikiran atau harapan manusia.
Dari sini, seorang mukmin harus bergerak dalam jalan yang penuh dengan perjuangan. Rasulullah SAW telah membuka jalan kebenaran, menyiapkan jalan petunjuk, dan menanggung berbagai kesulitan. Ayat Ilahi ini,membuka dunia baru, memperkenalkan kami kepada berbagai petunjuk, dan menunjukkan kepada kami cakrawala kemuliaan yang luas!
Kita melihat seorang Muslim yang sejati tidak terbatas oleh satu tempat atau wilayah saja. Dia seperti matahari yang terbit untuk menerangi seluruh dunia, tempatnya ada di tempat yang tinggi. Kita melihatnya bergerak untuk menyampaikan seruan Allah SWT kepada umat manusia, berharap agar Allah SWT membuka hati yang terkunci, telinga yang tuli, dan mata yang buta.
Jika ayat ini menjadi pengganti dari ketidakpedulian dunia dan kehilangan pembela, maka permulaan Surah Al-Isra’ -seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya- memperlihatkan kepada kita tentang kesucian dan kemuliaan Allah SWT, dan penutupnya mengajak kita untuk memuji-Nya. Di antara awal dan akhir, kita membaca setelah dakwaan kaum musyrikin tentang ayat tersebut:
“Maha Suci Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka katakan. Keagungan-Nya sangat besar (43). Langit tujuh lapis, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada-Nya. Tidak ada satupun yang tidak bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kalian tidak memahami tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Al-Isra’ 43-44)