أباح لك أن تنظر ما في المكـــونات وما أذن لك أن تقف مع ذوات المكونات، قل انظروا ماذا في السموات والأرض، فتح لك باب الأفهام ولـــم يقل انظـــروا السموات لئلا يدلك على وجود الأجـــــرام

“Allah SWT memperbolehkan untuk melihat sesuatu yang terkandung dalam alam semesta, namun Dia tidak mengizinkan dirimu berhenti pada subyeknya saja, “katakanlah: “Lihatlah sesuatu (yang terkandung) di dalam langit dan bumi”, Allah SWT membukakan pintu pemahaman bagi kamu. Akan tetapi Dia tidak mengatakan “lihatlah langit” agar tidak mengarahkanmu kepada keberadaan wujud benda-benda”.

""

1. Penjelasan

Mengapa Ibnu ‘Athaillah memakai lafadz أباحdan tidak menggunakan أمرك sebagai gantinya? Bukankah mencari dalil keberadaan Allah SWT dengan lantaran alam semesta merupakan suatu hal yang wajib?

Jawabannya ialah karena seseorang yang memiliki fitrah kesucian jiwa ataupun orang yang mau bertanya kepada hatinya lalu berangan-angan dan menelaah secara mendalam, maka sebenarnya mereka tidak memerlukan ayat-ayat kauniyah atau dalil-dalil alam sebagai pertanda keberadaan Allah SWT, karena mereka telah mempunyai kemampuan untuk menyaksikan Allah SWT dengan penglihatan batinnya secara langsung.

Namun di dunia ini masih ada saja orang-orang yang fitrah keimanannya keruh karena campuran-campuran hawa nafsu. Mereka kebingungan untuk mengingat kembali jati dirinya sehingga berfikir mengenai fenomena alam semesta sebagai dalil keberadaan Sang Maha Pencipta seharusnya menjadi kewajiban mereka. Orang-orang golongan ini berada di antara 2 pilihan. Pertama, kembali kepada fitrah dan berdiri di atas jati diri sehingga mampu menyaksikan Allah SWT dengan mata hati. Sedangkan pilihan kedua ialah menempuh jalan yang lebih panjang dengan cara berangan-angan mengenai apa sesungguhnya yang ditunjukkan oleh semesta ala mini. Pada akhirnya ia akan menemukan adanya Sang Pencipta yang merancang, merealisasikandan kemudian menyempurnakan wujud dunia ini. Karean itulah Ibnu ‘Athaillah menggunakan ungkapan أباح bukan أمرك.

Lalu apa sebenarnya perbedaan antara melihat semesta alam dengan melihat apa yang ditunjukkan oleh semesta alam?

""

Melihat semesta berarti menyibukkan diri dengan makhluk tanpa mengingat Khalik sehingga dunia semesta ini beralih rupa menjadi tabir yang menghalangi seorang manusia untuk menyaksikan eksistensi Allah Pencipta semesta. Beda halnya dengan melihat sesuatu yang ditunjukkan oleh alam semesta. Itu berarti mengalihkan pandangan dari subyek dunia kepada pertanda-pertanda keberadaan penciptanya. Pertanda yang mengingatkan adanya Dzat yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Esa dan Maha Sempurna.

Selanjutnya kita harus tahu bahwa seseorang yang berakal hanyalah dituntut untuk membaca dan menelaah esensi yang terkandung di dalam benda-benda yang memenuhi semesta. Sebenarnya segala sesuatu yang terwujud di dunia ini bisa diibaratkan seperti surat dari Allah ‘Azza wa Jalla yang menjelaskan alamat dan dalil-dalil tentang keesaan dan keagungan kekuasaan-Nya.tidaklah perlu dipermasalahkan mengenai bentuk atau warna lembaran-lembaran kertas surat yang diterima, karena hal terpenting yang harus diperhatikan adalah kandungan yang tertera dalam surat tersebut.

Perumpaan yang lebih jelas bisa digambarkan dengan keadaan seseorang Pak Pos yang datang ke rumahmu. Ia berdiri di depan pintu, sedangkan tangannya memegang sepucuk surat yang sangat penting untukmu. Apakah masuk akal -padahal engkau memiliki pikiran normal- apabila engkau justru memperhatikan perawakan dan bentuk rupa ataupun pakaian yang dikenakan oleh petugas pos tersebut? Apakah engkau malah terpesona oleh wujud Pak pos hingga tidak menyadari tujuan kehadirannya di ambang pintu rumahmu atau bahkan justru lalai dari surat yang akan ia sampaikan unutkmu?

2. Dalil

Agar tidak mengalami kelalaian yan gmenggiring seseorang ke dalam kebingungan yang sama sekali tidak layak bagi orang yang berakal, maka Al Qur’an mengingatkan kita untuk melihat kandungan yang tersimpan dalam wujud alam semesta. Memperingatkan kita supaya untuk hanya menyaksikan bentuk luarnya saja hingga kemudian sibuk bermain-main dan terlena olehnya. Allah SWT berfirman,

“Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.” (QS. Yunus : 101)

Dan Dia tidak berkata: أنظروا إلى السموات و الأرض “lihatlah langit dan bumi.

Apa yang disampaikan Ibnu ‘Athaillah dalam hikmah ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan cukup rumit. Yakni 2 macam cara pandangan terhadap alam semesta yang mengelilingi kita. Cara pandang yang pertama akan menghalangi seseorang dari Allah ‘Azza wa Jalla, melalaikan eksistensi-Nya serta menjauhkan penglihatan dari keagungan sifat dan ayat-ayat-Nya. Lain halnya dengan cara pandang kedua, yang meninggalkan bentuk luar alam semesta dari hadapan penglihatan. Menghancurkan dogma sesat yang itmbul dari wujud fisiknya lalu mengantarkan sang hambake hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Pada akhirnya ia tak akan menyaksikan apapun dalam segala sesuatu yang menjadi sasaran pandangan matanya selain kekuasaan Allah SWT, kebijaksanaan hikmah serta keagungan sifat-sifat-Nya.

Yang pertama adalah pandangan orang lalai, dengan seksama ia memperhatikan perawakan Pak pos dan mengamati secara teliti mulai kepala hingga ujung kaki. Ironisnya, ia enggan dan berpaling dari sepucuk surat penting yang dibawa oleh sang Pak pos.

Seperti inilah keadaan orang-orang yang terpesona oleh dunia dengan segala macam perhiasan dan kemewahannya. Mereka tertawan oleh kilauan dunia sehingga bingung untuk mencerna perkataan dan peringatan yang selalu digembor-gemborkan oleh dunia itu sendiri, yaitu jangan sampai condongdan tertipu oleh dunia. Mereka berpaling dari nasihat Al Qur’an agar melihat kandungan yang tersimpan di dalam duniadan jangan sampai terhenti pada bentuk fisiknya saja.

Orang-orang dari golongan ini hany mampu melihat dunia sebagai sisi luar sebuah wadah yang indah namun terlupa aka nisi yang berada di dalamnya. Akal fikiran mereka terbelenggu dalam fisik alam semesta hingga menganggapnya sebagai substansi yang berdiri sendiri. Akibatnya, mereka lalai dari eksistensi Dzat yang Maha Tunggal, Pencipta segala sesuatu yang ada di dunia. Lebih parah lagi mereka menjadikan dunia sebagai sekutu Allah ‘Azza wa Jalla yang sangat mereka cintai. Allah SWT berfirman,

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (QS. Al Baqarah : 165)

الأنداد yang dimaksudkan tak lain adalah bentuk-bentuk yang ada dalam semesta ini. Dengan penampilan luarnya, benda-benda tersebut membingungkan dan membelokkan mereka untuk bisa sampai kepada esensi pesan penting yang tekandung di dalamnya dan seharusnya mereka terima. Akhirnya mereka tergantung oleh penampilan fisik serta tertawan oleh pesona dunia.

Yang kedua dan terakhir adalah pandangan yang berasal dari insan yang berakal sehat. Ia memusatkan penglihatannya untuk mengamati surat yang dibawa oleh Pak pos tanpa terlalu memperhatikan perawakan atau bentuk rupa wajahnya. Ia selalu berfikir mengenai firman Allah SWT,

“Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.” (QS. Yunus : 101)

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”

BACA JUGA :  HIKMAH KE- 154 Hikmah hijab terhadap makhluq Allah

Mereka berangan-anganmengenai pemandangan bintang yang berkilauan di angkasa malam yang gelap gulita.menembus penampakan fisiknya hingga menemukan tulisan-tulisan yang menyuarakan dalil-dalilkeberadaan Sang Pencipta yang Maha Esa dengan segala kesempurnaan sifat-Nya.

Tak sebatas bentuk lahiriah buni yang terhampar luas dengan aneka warna bunga yang memancarkan semerbak harum serta berbagai corak pepohonan, sayur-sayuran dan buah-buahan. Lebih dari itu, penglihatan mereka menembus semuanya hingga menyaksikan pertanda keagungan hikmah Allah SWT dan keluasan anugerah-Nya.

Mereka melewati segala macam nikmat kenyamanan hidup berumah tangga, kecukupan rizqi dan ketenangan jiwa hingga terhenti dalam pesan-pesan yang terkandung di balik semuanya. Memang pandangan mereka tertuju kepada penampilan luar nikmat yang ada di hadapannya. Akan tetapi mata hati mereka menemukan esensi yang lebih penting, yaitu kekuasaan Dzat yang memberikan nikmat dan karunia.

3. Poin yang tersembunyi

Dari nasihat Ibnu ‘Athaillah ini, kita bisa menemukan 2 poin penting yang harus kita ketahui, yaitu:

a) Dunia dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya adalah perantara yang disediakan untuk kebaikan meskipun terkadang akhirnya disalahgunakan sebagai sarana kejahatan. Jadi, tidak boleh diputuskan bahwa dunia adalah alat kejahatan dan sumber keburukan. Hal ini dkarenakan dunia hanyalah wadah yang menyimpan argumen-argumen ilmiah tentang wujud Allah SWT dan ke Esaan-Nya. Di dalamnya juga terdapat peta-peta jalan yang menyampaikan ke hadirat Allah SWT. Walaupun sering terjadi fitnah karena dunia, namun sebenarnya ia tak pernah keluar dari sifat aslinya sebagai wadah.

Siapa saja yang mau memandang dunia dengan pola pikir yang cerdas, ia tak akan tertipu oleh fitnah yang terjadi, karena sadar bahwa dunia itu tak lain hanyalah wadah. Ia harus membuka tersebut lalu mengeluarkan rahasia-rahasia yang tersimpan di dalamnya. Sebaliknya, sudut fikir yang dangkal akan mengantarkan penglihatan mata kepada bentuk keindahan dunia saja. Akhirnya ia akan tertawan oleh fitnah yang terjadi, sehingga kebingungan untuk mengetahui hakikat yang ada di baliknya lalu kemudian terbelenggu oleh sampul dan penampilan luar.

Yang salah bukanlah dunia, melainkan cara penggunaannya. Hal ini merupakan konsekuensi dari cara pandang yang keliru karena tidak mengetahui hakikat dan substansi dunia yang sebenarnya.

Mungkin saja ada orang yang bertanya-tanya, “mengapa Rasulullah SAW bersabda:

الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلا ذكرالله وما والاه و عالما و متعلما (رواه ابن ماجه والترمذي من حديث ابي هريرة)

“Dunia itu terlaknat, apa yang ada di dalamnya juga terlaknati kecuali dzikrullah dan perkara-perkara yang menyertainya, orang alim dan pencari ilmu.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi dari riwayat Abu Hurairah)?”

Sebenarnya perkataan seperti ini persis seperti kata-kata yang ditujukan kepada seseorang yang dzalim: “Betapa jelek pedang atau senjata yang ada di tanganmu”. Celaan seperti ini bukanlah dimaksudkan kepada pedangnya, melainkan tertuju kepada si dzalim yang memakainya.

Dalam hadits di atas, yang terlaknat adalah buruknya tata cara manusia dalam menggunakan dunia. Hanya saja ungkapan yang ada cuma memberikan sindiran tentang bahaya dunia sebagai sebuah alat yang fleksibel di tangan penggunanya untuk memenuhi segala kebutuhan yang diinginkan. Buktinya bisa dilihat dalam ististna’ atau pengecualian yang ada dalam kalimat إلا ذكرالله وما والاه و عالما و متعلما . Sangat jelas bahwa dzikrullah bukanlah termasuk dunia. Begitu juga orang alim dan pencari ilmu. Akan tetapi, melalui metode dzikrullah yang konsisten dan teratur, seorang insan akan mempergunakan dunia sebagai tangga untuk mendekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Jadi, laknat tidaklah tertuju kepada dunia yang sama sekali tak bisa dipuji atau dicela. Dunia hanyalah sekumpulan perkakas dan peralatan. Sesungguhnya yang terlaknat adalah manusia yang memakainya tidak sesuai dengan prosedur untuk apa dunia tercipta. Selanjutnya dalam hadits di atas, laknat yang ditetapkan kepada duniamerupakan penjelasan mengenai siklus keadaan orang-orang yang menyalahgunakan dunia hingga melalaikan Allah SWT hingga akhirnya dunia itu sendiri terkena percikan laknat tersebut.

b) Meskipun Ibnu ‘Athaillah menganjurkan untuk melihat apa yang ditunjukkan (terkandung dalam) dunia, hal ini bukan berarti harus berpaling dari dunia dan tidak mempergunakannya sama sekali. Kita semua tahu bahwa dunia dan segala isinya ini ditundukkan oleh Allah SWT untuk manusia. Kalau begitu, bukankah semestinya ketentuan Allah SWT ini bertujuan agar menusia bisa mempergunakan dunia dan mengambil manfaat darinya?

Perbedaan mendasar bisa dilihat bahwa hamba yang memandang dunia dengan cara pertama, yakni melihat sisi luarnya saja, akan memposisikan dunia sebagai raja yang harus ditaati. Akibatnya, ia akan melalaikan hukum-hukum yang ditetapkan Allah SWT. Hingga kemudian terhalang untuk mengenal Dzat yang Menciptakannya.

Sebaliknya, cara pandang yang kedua akan mendorong seseorang insan untuk menganggap dirinya sebagai tamu, sementara dunia ini adalah hidangan dari Raja Diraja yang Maha Kaya dan Maha Mulia. Akhirnya ia hanya melihat hidangan itu sebagai anugerah dan karunia berharga. Kalau ia berpaling dari suguhan, sedangkan ia adalah tamu undangan yang didatangkan agar menikmati hidangan tersebut, maka semestinya hal semacam ini bisa disebut sebagai takabbur dan kesombongan atau perbuatan yang tak layak dan bisa mengakibatkan turunnya laknat dan kemarahan Allah SWT.

4. Kesimpulan

Selain berwujud fisik lahiriah dunia semesta ini sebenarnya juga memiliki substansi abstrak yang tak terlihat oleh indra mata. Hal ini kemudian menjadi sebab munculnya 2 konsekuensi berbeda yang berasal dari sebuah sasaran pandang kontradiksi itu terjadi semata-mata karena perbedaan cara pandang.

Melihat wujud fisik dunia saja akan menjadikan seseorang lalai kepada Allah SWT yang menciptakannya. Ia akan tertawan olehnya lalu melupakan undang-undang syariat Allah ‘Azza wa Jalla. Akhirnya kegelapan dan kesesatan akan menyelimuti kehidupannya. Dalam perkataan Ibnu ‘Athailah, cara pandang ini diungkapkan dengan kata-kata انظروا السموات atau dalam bahasa yang lebih mudah disebut melihat semesta.

Selanjutnya, melihat sisi abstrak dunia berarti melewati kerangka-kerangka lahiriah hingga mencapai sebuah intisari yang hakiki. Yakni perwujudan dunia ini hanyalah sebagai pertanda kekuasaan dan keagungan Allah SWT. Inilah yang dimaksud dalam ungkapan انظروا ماذا في السموات. Lihatlah apa yang terkandung di dalamnya dan jangan sekedar melihat sisi luarnya saja.

Pada hakikatnya dunia ini tercipta sebagai sarana kebaikan. Akan tetapi cara pandang yang salah akan menjerumuskan seseorang dalam jurang kesesatan yang amat berbahaya. Jadi baik buruk dunia hanyalah tergantung kepada orang yang memandangnya. Cara pandang yang benar tentu akan memunculkan hasil yang baik dan begitu pula sebaliknya.

Artikulli paraprakSuasana Khataman Tafsir Jalalain di Pesantren Mbah Maimoen Zubair
Artikulli tjetërPentingnya Mempelajari Sejarah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini