Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka-yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja, Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Sekarang, Bentuk perayaan tahun baru di Barat bermacam-macam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja (church servives), maupun aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan (entertaintment), berolahraga seperti hockey es dan American football (rugby), menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga (family time), dan lain-lain.
Di Indonesia, perayaan tahun baru dirayakan bersama keluarga, teman, kolega atau kekasihnya. Bentuk perayaannya dengan mendatangi pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan, tempat wisata, puncak gunung, pantai dan tempat lainnya. Biasanya, di malam tahun baru, mereka membunyikan petasan, terompet, menerbangkan lampu lampion. Kadang dalam acara tersebut mereka menikmatinya dengan bercengkrama, bersenda gurau sambil membakar ikan, jagung dan lainnya.
Perayaan Malam Tahun Baru Dalam Sorotan Tasawuf
Perayaan malam tahun baru identik dengan begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, begadang seperti itu hanya menghabiskan waktu dengan sia-sia dan tidak ada kepentingan yang syar’i sama sekali. Habib Abdullah bin Alawy bin al-Haddad al-Hadromy as-Syafi’i dalam kitab Al-Washoya An-Nafi’ah menjelaskan “Mestinya seorang hamba selalu mengarungi dan mengisi waktunya dengan hal-hal yang berguna, seperti dzikir atau mengingat kepada Allah. Dengan menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat baginya, ia dapat terhindar dari tergelincir melakukan perbuatan dosa dan menyia-nyiakan waktu dengan hal yang tidak bermanfaat”.
Membuang-buang waktu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang, bahkan lebih buruk dari kematian itu sendiri. Ibnu Qoyyim al-Jauziah berkata: “Ketahuilah bahwa menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari pada kematian, menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat, sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya”
Sayyid al-Haddad dalam An-Nashoih Ad-Diniyyah Wal Washoya Al-Imaniyyah juga menerangkan bahwa lalai kepada Allah SWt adalah sifat yang tercela, di mana orang yang hatinya lalai adalah orang yang tidak terbangun hatinya dan tidak memperhatikan ketika datang kepadanya petuah-petuah agama dan ancaman darinya, tidak memperdulikannya karena kelalaiannya, sibuk dengan bermain , mencari hiburan, tersibukkan dengan barang-barang duniawi dan menuruti hawa nafsunya.
Termasuk orang yang lalai terhadap Allah SWT adalah tidak memperbanyak mengingat kematian dan perkara-perkara akhirat lainnya, tidak memperbanyak mengingat kondisi orang-orang yang beruntung dan orang yang celaka, dan tidan selalu mengingat hal-hal tersebut.
Mengingat kematian mempunyai beberapa manfaat, antara lain: pendeknya angan-angan tentang dunia, zuhud tentang dunia, Qona’ah dengan segala pemberian rezeki meskipun sedikit, mencintai akhirat dan selalu berusaha menambah amal-amal kebaiakan.
Dalam Kitab Al-Washoya An-Nafi’ah juga dikatakan dengan selalu memperbanyak mengingat kematian dan urusan-urusan akhirat yang lain, sesungguhnya hal itu membuat hatimu menjadi halus dan lunak serta bersinar, dengannya Allah menerima amal-amal ibadahmu dan membawamu ke rumah yang abadi (Surga).
Perayaan tahun baru biasanya tidak terlepas dari kemaksiatan seperti Ikhtilath (bercampunya laki-laki dengan perempuan), berkholwat (berdua-duaan di tempat sepi) bahkan lebih parah dari itu terjerumus pada perbuatan zina. Kemaksiatan yang merajalela saat perayaan malam tahun baru juga dapat menggoncang prinsip-prinsip Islam yang ia pegang selama ini, sehingga bisa berpotensi akhir hayatnya Su’ul Khotimah. Sayyid al-Haddad sudah mewanti-wanti hal demikian dalam kitabnya, an-Nashoih ad-diniyyah wal washoya al-Imaniyyah, Beliau berkata : “Wajib baginya menjauhi maksiat-maksiat dan dosa, karena itu semua dapat melemahkan dan menghinakan Islam, menggoncang prinsip-prinsip Islam dan mencerabut Islam dari sisinya ketika mati. Sebagaiamana yang terjadi pada orang-orang yang berbuat kemaksiatan dan terus menerus melakukannya. Allah Berfirman :
ثُمَّ كَانَ عَاقِبَةَ الَّذِينَ أَسَاءُوا السُّوأَىٰ أَن كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَكَانُوا بِهَا يَسْتَهْزِئُونَ (10)
Artinya: “Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya.” (QS. ar-Rum: 10).
Lebih lanjut Beliau menambahkan bahwa tanda-tanda orang yang beruntung di akhirat adalah Allah menjadikan hambanya selalu berbuat kebajikan selama hidupnya, sedangkan tanda-tanda orang yang tidak beruntung di akhirat adalah tidak dipermudah baginya melakukan amal-amal kebaikan dan mengujinya dengan amal-amal keburukan.
Beliau menukil hadist Rasulullah SAW yang berbunyi : “Ketahuilah, setiap perkara yang dimudahkan diciptakan untuknya, barang siapa dimudahkan baginya ke Surga, maka ia akan dimudahkan menjalankan amal-amal ahli surga, barang siapa yang diciptakan baginya nereka, maka dimudahkan baginya menjalani amal ahli nerka” (H.R Bukhori, Muslim, Imam Ahmad, Abu Dawud, an-nasa’i, Ibnu Majah).
Orang-orang yang merayakan tahun baru juga mengajak teman Genknya atau pacarnya untuk menikmati dan menyaksian detik-detik pergantian tahun tersebut. Dengan demikian, mereka bersenda gurau dan bercengkrama dengan orang-orang yang berbuat kemaksiatan tanpa disadarinya. Hal demikian bisa membuat hatinya keras. Syaikh Munawwir Abdul Kabir bin Abdullah Bahamid pernah ditanya tentang hukum orang yang bergaul dengan orang-orang maksiat, beliau menjawab: “ ketahuilah, sayogyanya bagi muslim yang menyayangi agamanya, bersemanagat tentang urusan akhiratnya, tidak bergaul, dan duduk-duduk kecuali duduk dengan orang-orang ahli kebajikan dan ketaatan, orang yang bertakwa kepada Allah, orang yang meninggalkan maksiat karena Allah, baik dengan menjauhi segala bentuk kemaksiatan atau bertaubat ketika ia melakukan kemaksiatan”
Beliau beralasan karena jika bergaul dengan orang-orang tersebut, maka hatinya menjadi keras, melemahkan keinginan untuk taat kepada Allah, dan dapat menariknya berbuat kemaksiatan dengan perantara berkumpul dengan orang-orang yang ahli maksiat tersebut.
Habib Abdullah bin Alawy bin al-Haddad al-Hadromy as-Syafi’i dalam kitab an-Nashoih ad-Diniyyah wal Washoya al-Imaniyyah menjelaskan mengenai arti Qiswah yaitu hati yang telah menjadi keras dan membeku sehingga petuah-petuah agama tidak berdampak baginya, hatinya tidak lunak dan lembut ketika mengingat mati, janji surga, ancaman neraka dan beberapa urusan akhirat lainnya. Rasulullah SAW memberi peringatan kepada orang demikian dalam hadisnya; “Orang yang paling jauh dari Allah SWT adalah orang yang hatinya keras.” (HR. ath-Tirmidzi)