Sejarah Perayaan Tahun Baru Masehi

Kalender Masehi memiliki akar dari budaya Romawi dan Kristen. Sebagian nama bulan di kalender ini bersumber dari nama dewa-dewi atau tokoh Romawi, seperti: 

– Januari dari Dewa Janus. 

– Februari dari Dewa Februus. 

– Maret dari Dewa Mars, dewa perang Romawi. 

Dan seterusnya

Perayaan Tahun Baru Masehi berasal dari tradisi Romawi Kuno. Perayaan ini pertama kali dilakukan oleh Julius Caesar sekitar tahun 45 atau 46 SM yang kemudian diadopsi oleh bangsa-bangsa Eropa, termasuk kebiasaan meniup trompet (simbol Yahudi), menyalakan kembang api (simbol penyembah api/Majusi), dan meminum minuman keras. 

Sikap Islam terhadap Perayaan Tahun Baru

Dalam Islam, prinsip antipati terhadap simbol-simbol non-Muslim sangat jelas. Seorang Muslim haram menyerupai atau ikut meramaikan tradisi yang menjadi ciri khas agama atau budaya lain. Sebagai umat Islam, kita diingatkan untuk tidak ikut-ikutan merayakan tradisi ini karena memiliki akar sejarah dan simbol yang bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda: 

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari (perayaan) yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha”

Q.S. al-Baqarah: 104

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

 “Ayat ini menjelaskan larangan atas orang mukmin untuk tidak menyerupai orang-orang kafir; entah dalam perkataan mereka  ataupun perbuatan.”

Senada dengan hal itu, Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubro menjelaskan

وَمِنْ أَقْبَحِ الْبِدَعِ مُوَافَقَةُ الْمُسْلِمِينَ النَّصَارَى فِي أَعْيَادِهِمْ بِالتَّشَبُّهِ بِأَكْلِهِمْ وَالْهَدِيَّةِ لَهُمْ وَقَبُولِ هَدِيَّتِهِمْ فِيهِ وَأَكْثَرُ النَّاسِ اعْتِنَاءً بِذَلِكَ الْمِصْرِيُّونَ وَقَدْ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «مَنْ ‌تَشَبَّهَ ‌بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»

BACA JUGA :  KEMATIAN ITU DEKAT

“dan termasuk daripada bid’ah yang terburuk adalah perbuatan orang muslim yang meniru orang-orang nashrani dalam hari raya mereka, seperti meniru makanannya, memberi dan menerima hadiah dalam hari raya mereka, dsb karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa meniru dan menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dalam golongan mereka.”

PENDAPAT IBN HAJJ

بَلْ قَالَ ابْنُ الْحَاجِّ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَبِيعَ نَصْرَانِيًّا شَيْئًا مِنْ مَصْلَحَةِ عِيدِهِ لَا لَحْمًا وَلَا أُدْمًا وَلَا ثَوْبًا وَلَا يُعَارُونَ شَيْئًا وَلَوْ دَابَّةً إذْ هُوَ مُعَاوَنَةٌ لَهُمْ عَلَى كُفْرِهِمْ

Bahkan Ibn Hajj berkata; “Haram hukumnya bagi seorang muslim menjual sesuatu yang digunakan untuk kebutuhan hari raya orang-orang nashrani; entah itu berupa daging, lauk, maupun pakaian. Juga tidak diperkenankan meminjamkan sesuatu apapun walau hanya seekor hewan karena hal tadi termasuk membantu mereka atas kekufurannya.”

Jika kita melihat pada hadits dan pandangan ulama, kita dapat menyimpulkan bahwa merayakan Tahun Baru Masehi termasuk dalam larangan tasyabbuh. Rasulullah  SAW mengingatkan kita untuk menjaga identitas Islam dan tidak ikut-ikutan dalam tradisi yang tidak bermanfaat bagi keimanan. Oleh karena itu, umat Islam tentu tidak sepantasnya menghadiri perayaan dan tradisi orang-orang kafir.

Bukan hanya faktor itu saja, namun juga banyak unsur-unsur keharaman lain seperti tabdzir (berfoya-foya), ikhtilath (campur antara laki-laki dan perempuan bukan mahrom), ghoflah (sengaja lalai terhadap Allah) dan masih banyak hal lain yang sering terjadi dalam perayaan tahun baru.

1
2
3
Artikulli paraprakAl-Malik; Sang Maha Raja dan Penguasa
Artikulli tjetërRESENSI RAWAI’U AL-BAYAN FI TAFSIRI AYATI AL-AHKAM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini