Orang-Orang Yang Berhak Memberikan Ta’zir (Hukuman)
-
Pemerintah Kepada Rakyat.
Untuk meningkatkan keamanan suatu negara atau daerah dalam rangka meminimalkan segala tindakan yang berseberangan dengan agama, pemerintah mempunyai wewenang untuk menerapkan ta’zir kepada setiap pelaku tindak kemunkaran. Sebagaimana penjelasan dalam kaidah fikih:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ .
“Kebijakan pemerintah haruslah berpijak pada kemaslahatan.”
Di samping itu ada firman Allah yang mengharuskan kepada semua umat manusia agar taat dan patuh terhadap apa yang telah menjadi ketetapan pemerintah. Selama ketetapan tersebut ada unsur maslahat dan tidak berbenturan dengan syari’at.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul ( Nya ) dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’: 59)
-
Suami Terhadap Istri
Suami merupakan pemimpin dan penanggung jawab utama kehidupan keluarga. Suami mempunyai hak yang harus istri penuhi—sebagaimana istri mempunyai hak yang harus suami penuhi—sebagai pasangan hidupnya.
Nah dalam konteks seperti ini, ketika istri tidak memenuhi hak-hak suami, maka suami mendapat kewenangan dari syari’at untuk mengarahkan atau mendidik istri agar kembali mematuhi atau memenuhi haknya.
Caranya dengan tiga tindakan secara berurutan, yaitu (1) menasihatinya secara baik; (2) bila tidak berhasil maka didiamkan dan tidak diajak tidur bersama; dan (3) langkah terakhir dengan memukulnya.
Secara jelas Al-Qur’an menyatakan:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Istri-istri yang kalian khawatirkan melakukan pembangkangan (tidak memenuhi hak suami), maka nasehatilah mereka, diamkan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Bila mereka menaati kalian, maka jangan kalian cari jalan untuk merugikan mereka.” (Surat An-Nisa’: 34)
-
Guru Terhadap Muridnya
Adalah hal yang wajar dan ideal bila seorang guru mempunyai hak untuk memberikan ta’zir kepada para siswanya. Karena seorang guru secara langsung mempunyai tanggung jawab moral akan keberhasilan prestasi yang siswanya capai. Untuk merealisasikan hal tersebut terbentuklah suatu aturan yang mengikat dan membentuk kepribadian seorang siswa agar kelak menjadi seorang ilmuwan yang religius dan berkualitas. Sebagai siswa haruslah punya komitmen tinggi di dalam menjalankan apa yang telah sang guru gariskan. Sebagaimana penjelasan dalam sebuah hadits :
المسلمون على شروطهم .
“Orang-orang Islam itu terikat dengan janjinya.”
Hak memberikan hukuman (ta’zir) dari guru terhadap muridnya menurut sebagian ulama harus mendapatkan izin dari wali murid.[6] Namun ada sebagian pendapat yang menyatakan hak takzir bagi seorang guru bersifat mutlak, dalam artian tidak harus menunggu adanya izin dari wali. Pendapat ini sebagaimana penjelasan oleh Imam al-Qulyubi, beliau mengatakan:
وَمُعَلِّمٌ لِمُتَعَلِّمٍ مِنْهُ وَلَوْ غَيْرَ صَبِيٍّ وَسَوَاءٌ أَذِنَ لَهُ الْوَلِيُّ، أَوْ لَا إذْ لَهُ التَّأْدِيبُ وَلَوْ بِالضَّرْبِ بِغَيْرِ إذْنِ الْوَلِيِّ عَلَى الْمُعْتَمَدِ
“Seorang guru diperbolehkan mendidik siswanya, meskipun dia bukan anak laki-laki, baik walinya memberikan izin atau tidak, meskipun dengan cara memukul tanpa adanya izin dari wali menurut pendapat yang paling kuat (dalam madzhab).” [7]
Hanya saja pukulan tersebut tidaklah mutlak. Namun hanya sebatas pada kesalahan-kesalahan yang ada kaitannya dengan pengajaran. Karena kapasitas ta’zirnya hanya demi kemaslahatan siswa itu sendiri. Akan tetapi jika siswanya adalah mahjur ‘alaih (misal: anak kecil, ODGJ dan semacamnya) maka seorang guru harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari walinya.[8]
Walhasil, dalam pandangan Islam, guru mendapatkan kehormatan sebagai pembawa kebaikan dan penyebar ilmu yang mulia. Oleh karena itu, perlu kesadaran bersama dan perlindungan hukum yang kuat agar guru dapat mendidik dengan tegas tanpa rasa takut, serta demi kemajuan moral dan intelektual generasi bangsa.
Sumber:
[5] Jamaluddin al-Mizzi,Tahdzibu al-kamal fi asmai ar-rijal, Juz 16, hlm 20.
[6] Khotib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 5, hlm 525
[7] Imam al-Bujairimi, Hasyiyah al-Buajirimi ala al-Khotib, Juz 4, hlm 177
[8] Imam ar-Romli, Nihayatu al-Muhtaj, Juz 8, hlm 22