Sejarah Perayaan Tahun Baru Masehi
Kata Masehi (M) berasal dari bahasa Arab المسيح atau dalam bahasa Ibrani adalah ‘Mesias’. Oleh sebagian orang Nasrani, tahun pertama masehi mereka yakini sebagai tahun kelahiran Yesus Kristus (istilah mereka). Terdapat beberapa versi di kalangan sesama penganut Nasrani tentang penetapan tanggal kelahiran Kristus (penamaan mereka).
Sebagian mereka meyakini bahwa Almasih lahir pada tanggal 25 Desember. Versi lain tertanggal 20 Mei. Yang lain lagi mengatakan 20 April. Sementara Kristen Ortodoks meyakini kelahiran Yesus tepatnya pada tanggal 06 Januari 01 Masehi.
Sebelum kelahiran Kristus, tahun-tahun sebelumnya mempunyai sebutan dengan istilah “SM” (Sebelum Masehi). Dengan hitungan mundur hingga bertemu dengan tahun pertama Masehi. Dalam penelitian sejarah, ternyata yang melaksanakan perayaan tahun baru pertama kali adalah Julius Caesar tahun 45 atau 46 SM (sebelum masehi), setelah dia menjadi Kaisar bangsa Romawi.
Orang di belahan eropa dari kalangan Nashoro, Yahudi, Majusi, dan lain-lain merayakan tahun baru dengan berbagai macam kegiatan, di antaranya, meniup terompet (kebiasaan Yahudi), memukul lonceng (kebiasaan Nashoro), menyalakan kembang api (api simbol Majusi dan tuhan mereka), minum minuman keras, keluar rumah memenuhi jalanan, halaman, pantai, dan lain-lain.
Sudah sepatutnya bagi setiap insan beriman, perayaan tahun baru, terlebih tahun baru masehi, bukan sekadar pesta dan hura-hura. Namun ada sebuah prinsip islam yang harus kita tegakkan, yaitu prinsip antipati dan berlepas dari orang-orang kafir yang meliputi seluruh ajaran dan simbol-simbolnya.
Larangan Merayakan Hari Raya Non-Muslim
Tahukah Anda bahwa seseorang yang sudah mengetahui status kalender masehi sebagai syi’ar agama nashara dan romawi kemudian masih nekad menggunakannya sebagai ganti kalender Hijriyyah, hakikatnya itu merupakan bentuk meniru (tasyabbuh) dengan simbol-simbol mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari kaum itu” (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas mengandung larangan tasyabbuh dengan simbol-simbol orang kafir, hari raya, kebiasaan-kebiasaan, dan seragam-seragam khas mereka serta apa-apa yang menjadi kekhususan mereka. Dan tidak diragukan lagi bahwa penggunaan kalender masehi masuk kedalam ciri khas orang kafir.
Nairuz dan Mihrajan
Secara lebih spesifik, terdapat hadits mengenai larangan merayakan hari raya non-muslim, yaitu Nairuz dan Mihrajan yang merupakan hari raya orang kafir. ketika Nabi Muhammad SAW sedang di Madinah. Saat itu mereka mempunyai kebiasaan merayakan hari Nairuz dan Mihrajan. Nairuz adalah hari di awal tahun baru masehi (syamsiyyah) versi Majusi, sedangkan Mihrajan hari raya 6 bulan setelahnya. Mendapati fenomena ini saat di Madinah, Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa umat Islam sudah mempunyai dua hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, tidak perlu ikut-ikutan merayakan hari raya tersebut.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,
لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Dahulu orang-orang Jahiliyyah memiliki dua hari di setiap tahun yang mana mereka biasa bersenang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, beliau bersabda, “Dahulu kalian memiliki dua hari di mana kalian bersenang-senang ketika itu. Sekarang Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari besar yang lebih baik yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (Sunan An-Nasai, Karya Imam Nasai, juz 3, hlm 179)
Sahabat ‘Abdullaah bin ‘Amr radhiallaahu ‘anhuma berkata,
مَنْ بَنَى فِي بِلَادِ الْأَعَاجِمِ فَصَنَعَ نَوْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang membangun negeri-negeri kaum ‘ajam (negeri kafir), meramaikan hari raya Nairuz dan Mihrajan (perayaan tahun baru mereka), serta meniru-niru mereka hingga ia mati dalam keadaan seperti itu, ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” (Sunan Al-Kubro, Karya Imam Al-Baihaqi, juz, 9, hlm, 392)
Hari Nairuz adalah hari raya tahun baru orang Majusi menurut perhitungan kalender masehi (syamsiyah). Masyarakat kota madinah saat itu ikut-ikutan merayakan hari raya Majusi tersebut. Beberapa kamus Arab menjelaskan demikian definisi Nairuz, semisal kamus AL-Lughah Al-Arabiyyah AL-Mu’aashir menjelaskan,
ﺃﻭّﻝ ﻳﻮﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﺴَّﻨﺔ ﺍﻟﺸَّﻤﺴﻴَّﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻔُﺮﺱ
“Nairuz adalah hari pertama pada tahun syamsiyyah versi Persia (bangsa Majusi saat itu).” (AL-Lughah Al-Arabiyyah AL-Mu’aashir, hlm, 2304)
Adz-Dzahabi juga menjelaskan bahwa penduduk Mesir saat itu juga ikut-ikutan merayakan hari Nairuz, beliau berkata,
ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﻨﻴﺮﻭﺯ، ﻓﺈﻥ ﺃﻫﻞ ﻣﺼﺮ ﻳﺒﺎﻟﻐﻮﻥ ﻓﻲ ﻋﻤﻠﻪ ، ﻭ ﻳﺤﺘﻔﻠﻮﻥ ﺑﻪ ، ﻭﻫﻮ ﺃﻭﻝ ﻳﻮﻡ ﻣﻦ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﻘﺒﻂ ، ﻭﻳﺘﺨﺬﻭﻥ ﺫﻟﻚ ﻋﻴﺪﺍً، ﻳﺘﺸﺒﻪ ﺑﻬﻢ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ
“Adapun hari Nairuz, penduduk Mesir berlebih-lebihan melakukan dan merayakannya. Nairuz adalah hari pertama pada tahun Qibhti yang mereka menjadikannya sebagai hari raya (peringatan setiap tahun), kemudian kaum muslimin mengikuti mereka (tasyabbuh).” (At-Tamassuk bis-Sunan wa at-Tahdzir minal bida’I, Karya Imam Adz-Dzahabi. Juz, 1, hlm, 131)
Demikian juga dengan tahun baru masehi saat ini, bukan perayaan kaum Muslimin dan jelas itu adalah perayaan non-muslim serta memiliki sejarah yang terkait dengan agama kuno Romawi.