Tawassul Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah

Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah tawassul adalah salah satu cara berdoa kepada Allah dengan menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara atau wasilah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Seseorang tawassul dengan menyertakan nama-nama orang-orang saleh, seperti Nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluarga Nabi, atau wali-wali Allah, dalam doa dengan harapan doa tersebut menjadi lebih istimewa dan Allah akan menerimanya. Tawassul juga bisa berupa sholawat nabi, yang merupakan sanjungan dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW, agar beliau juga mendoakan kita kepada Allah.

Tawassul menurut pandangan ahlussunnah wal jama’ah adalah sesuatu yang dianjurkan dan boleh, asalkan tidak menyimpang dari ajaran Al-Quran dan Hadits. Ahlussunah wal jama’ah meyakini bahwa tawassul tidak mengandung kemusyrikan, karena tujuan utama dan hakiki dari tawassul adalah Allah, bukan wasilahnya. Wasilah hanyalah sebagai jembatan dan sarana untuk taqarrub atau mendekat kepada Allah, yang merupakan sumber segala kebaikan dan pertolongan. Ahlussunnah wal jama’ah juga meyakini bahwa wasilah yang mereka pilih adalah sesuatu atau seseorang yang Allah cintai dan Allah ridlai, seperti Nabi Muhammad SAW dan para wali-wali-Nya. Ahlussunnah wal jama’ah tidak menganggap bahwa wasilah memiliki daya atau kuasa apa pun selain Allah, karena hanya Allah yang berhak mereka sembah dan mereka mintai pertolongan.

Namun, masih banyak kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki dalam kitabnya menjelaskan beberapa poin terkait substansi tawassul sebagai berikut:

  1. Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah SWT. Maksud sesungguhnya adalah Allah. Objek yang menjadi media tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah musyrik.
  2. Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah mencintainya. Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling menjauhinya dan paling membencinya.
  3. Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa objek yang menjadi media bertawassul kepada Allah itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah atau tanpa izin-Nya, niscaya ia musyrik.
  4. Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya do’a tidaklah tertentu dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah secara mutlak, sebagaimana firman Allah:
BACA JUGA :  Menjaga Hati

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ

Artinya; “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. (Q.S. Al Baqarah: 186)

قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَۗ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۚ

Artinya; Katakanlah (Nabi Muhammad), “Serulah ‘Allah’ atau serulah ‘Ar-Raḥmān’! Nama mana saja yang kamu seru, (maka itu baik) karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmaulhusna). (Q.S. Al Isra’: 110).

Bentuk Tawassul yang Disepakati Ulama

Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca Al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk  Allah terima dan Allah kabulkan harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini.

1
2
3
Artikulli paraprakTahun Baru Masehi dalam Perspektif Islam
Artikulli tjetërFathu Makkah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini