Dalil bolehnya tawassul dengan amal shalih diambil dari sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam gua. Salah seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan yang mereka hadapi.
Perbedaan Ulama’ Mengenai Arti Tawassul
Sumber perbedaan dalam masalah tawassul adalah tawassul dengan selain amal yang dilakukan orang yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau orang dengan mengatakan; “Ya Allah, aku bertawassul dengan Nabi-Mu Muhammad SAW, atau dengan Abu Bakar, Umar ibn Khatthab, ‘Utsman, atau Ali RA. Tawassul model inilah yang masih menjadi khilafiyah (perbedaan pendapat) bagi sebagian Ulama.
Kami memandang bahwa pro-kontra menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan substansial. Karena tawassul dengan dzat atau orang pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya yang telah disepakati, dan ini merupakan hal yang boleh.
Akan kami jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang ia nisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Alasan Tawassul
Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang ia jadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang ia jadikan tawassul itu mencintai Allah SWT, orang yang berjihad di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa Allah SWT mencintai orang yang ia jadikan tawassul, sebagaimana firman Allah:
يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَه
Artinya;“Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya,” (Q.S. Al Maidah: 54)
Jika Anda mencermati persoalan ini maka Anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang ia yakini dalam hatinya, yang ia nisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya. Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata;
“Ya Tuhanku, saya mencintai Si Fulan dan saya meyakini bahwa Si Fulan juga mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepada-Mu dan berjihad di jalan-Mu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridho terhadapnya. Maka saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan ini dan ini (sesuai yang ia harapkan).”
Hanya saja mayoritas orang yang bertawassul tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemahatahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata; “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu,” itu sama dengan orang yang mengatakan; “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepada Nabi-Mu.” Orang yang bertawassul tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Berangkat dari penjelasan tersebut, nyatalah bahwa pro-kontra masalah tawassul sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan dan perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam.
Dalil-dalil Tawassul
Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah wasilah (jalan untuk mendekatkan diri) kepada-Nya.” (Q.S.Al-Maidah:35)